Hadis Riwayah dan Dirayah

A. PENDAHULUAN
Perkembangan hadis dari masa ke masa telah menyebabkan munculnya ilmu –ilmu baru yang mempelajari mengenai aspek-aspek yang ada pada hadis atau sering disebut dengan ulumul hadis. Secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis Kata ‘uliim adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu).
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.
Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa juimlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.Hasbi ash-Shiddieqy, tokoh hadis Indonesia, mengatakan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang berpautan dengan hadis Nabi SAW. Pemyataannya ini selain bertolak dari makna lugawi- (bahasa) juga mengisyaratkan bahwa ilmu-ilmu yang bersangkut- paut dengan hadis Nabi SAW itu banyak macam dan cabangnya.Kajian llmu Hadis. Secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah ( ‘ilm al-QadIs riwayah) dan ilmu hadis dirayah (‘ilm al-QadIs dirayah).
Pada makalah ini akan dijelaskan secara lebih lanjut mengenai ilmu-ilmu hadis (ulumul hadis) dengan beberpa pokok persolan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan ilmu hadis riwayah?
2. Bagaimanakah cabang-cabang ilmu yang ada pada ilmu hadisi dirayah?

B. PEMBAHASAN

1. Ilmu Hadis Riwayah
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah: Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya. Sedangkan pengertian menurut Muhammad ‘ajjaj a-khathib adalah: Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau terperinci.
Definisi yang hampir sama senada juga dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘ulum al-Hadist, Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw.
Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
• Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
• Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.

Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw. Tersebut, manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. (“Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 67).

Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd al-Aziz.

Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadis secara besar-besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan dibukukan Hadis-Hadis Nabi saw oleh para Ulama di atas, dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para Ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi berkembang.

Faedah mempelajari Ilmu Hadits Riwayah adalah untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penukilan atau pengutipan sebuah Hadits yang bersumber dari Nabi SAW. Objeknya adalah bagaimana cara menerima Hadits tersebut, menyampaikan dan membukukannya. Baik ditinjau dari segi Matan dan Sanadnya sebuah Hadits. Namun, Ilmu Hadits Riwayah tidak dikonsentrasikan kepada penilaian terhadap sebuah Hadits dari kebenarannya atau sebaliknya. Juga tidak pada penilaian sanadnya, baik berhubungan antar satu sanad dengan lainnya atau terputusnya sanad.

2. Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu Hadis Dirayah oleh para Ulama disebut juga dengan ‘Ilm Mushthalah al-Hadist atau ‘Ilm Ushul al-Hadist. Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya . Ilmu Hadits Diroyah adalah kaidah-kaidah atau undang-undang untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya. Ilmu ini juga dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana caranya untuk mengetahui kedudukan sebuah Hadits.
Hasbi ash Shidiqi mengatakan, Ilmu Hadits Diroyah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari sisi diterima atau ditolaknya sebuah Hadits dan yang berkaitan dengan itu. Ibnu al Akfani berpendapat, Ilmu Hadits yang khusus dengan Diroyah adalah ilmu yang padanya kita mengetahui hakikat Riwayat, syarat-syarat, macam-macamnya, hukum-hukumnya, keadaan perawi, syarat-syarat para perawi, macam-macam yang diriwayatkan, dan segala yang berkaitan dengan itu.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwasannya Ilmu Hadits Diroyah adalah sekumpulan kaidah dan masalah untuk mengetahui keadaan marwi dan perawi, dari segi diterimanya sebuah riwayat atau tidaknya suatu riwayat. Objek kajian Ilmu Hadits Diroyah ini adalah sebuah penelitian terhadap para perawi Hadits dan Keadaan mereka yang meriwayatkan Hadits, begitu juga halnya dengan sanad dan matannya. Faedah dan tujuan Ilmu Hadits Diroyah adalah untuk menetapkan diterimanya atau ditolaknya sebuah Hadits, sebagai pengamalan dari Hadits yang diterima dan meninggalkan dari Hadits yang ditolak.
Uraian dan elaborasi dari definisi di atas diberikan oleh Imam al-Suyuthi, sebagai beikut: Hakikat riwayat, adalah kegiatan sunah (Hadis) dan penyandaran kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau Ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah, (menuliskan hadis untuk seseorang), i’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru). (M.M Azami, Studies ih Hadith Methologi and Literature.16: Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadist, h. 157-164)
Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya. Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
Keadaan para perawi, maksudnya adalah, keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh). Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-adda’).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis Nabi saw. Definisi yang lebih ringkas namun komprehensif tentang Ilmu Hadis Dirayah dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khathib, sebagai berikut : Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marawi dari segi diterima atau ditolaknya.
Al-khatib lebih lanjut menguraikan definisi di atas sebagai berikut: al-rawi atau perawi, adalah orang yang meriwatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw atau kepada yang lainnya, seperti sahabat atau yang lainnya Tabi’in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah, mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan ta’dil ketika tahammul dan adda’ al-Hadist, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadis; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya ‘illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadis.
Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi: (i) segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar: (ii) segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya ); (iii) segi keselamatan dan kejanggalan (syadz); (iv) keselamatan dan cacat (‘illat); dan (v) tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau selamatnya: (i) dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz); (ii) dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan(iii) dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-Hadis yang maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang mardud (yang ditolak).
Ibnu Kholdun dalam kitabnya "Muqoddimah" menyatakan, salah satu faedahnya adalah sebagai penelitian bagi kita pada sisi sanad yang sempurna syarat dan ketentuannya, agar diketahui Hadits yang wajib diamalkan. Sehingga dalam pengamalannya itu tidak menimbulkan keraguan lagi kecuali hanya keyakinan atau Zhonn (dugaan keras) atas kebenaran sebuah Hadits itu yang benar-benar bersandar dari Rasulullah SAW. Maka hendaklah bagi kita untuk berijtihad agar dapat mengahasilkan Zhonn tersebut. Yaitu dengan mengetahui Para Perawi Hadits dalam hal 'adl dan tsiqohnya.
Ilmu Hadis Dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, mushthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama di atas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetaui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan ditolaknya.
Para ulama Hadis membagi Ilmu Hadis Dirayah atau Ulumul Hadis ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas padanya, seperti pembahasan tentang pembagian Hadis Shahih, Hasan, Dan Dha’if, serta macam-macamnya, pembahasan tentang tata cara penerimaannya (tahmmul) dan periwayatan (adda’) Hadis, pembahasan al-jarih dan al-ta’dil serta tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasikasiannya antara yang tsiqat dan yang dha’if, dan pembahasan lainnya. Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam dari Ulumul Hadis, sehingga, karena banyaknya, Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa macam-macam Ulumul Hadis tersebut banyak sekali, bahkan tidak terhingga jumlahnya. Ibn al-Shaleh menyebutkan ada 65 macam Ulumul Hadis, sesuai dengan pembahasannya, seperti yang dikemukakan di atas.
Di samping kitab ulumul hadis yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab ulumul hadis yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam. Ilmu hadis dirayah memiliki cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadis. Cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad dan rawi yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :
a. ‘Ilm rijal al-hadis, Yakni ilmu yang mengkaji keadaan para rawi hadis dan perikehidupan mereka, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun tabi’ at- tabi’fn, dan generasi sesudahnya. Bagian dari ‘ilm rijal al-hadis ini adalah ‘ilm tarikh rijal al-hadis Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya. Di antara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini ialah al-Isti’ab fi Ma’rifah al- Ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), al-Isab fi Tamyiz as-Sahab dan Tahzib at- Tahzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, serta Tahzib al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusufbin az-Zakki al-Mizzi (w. 742 H).
b. ‘Ilm al-jarh wa at-ta’dil, yakni ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Muhammad Ajaj al-Khatib, ahli hadis kontemporer dari Suriah, mengelompokkan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela para periwayat masing-masing ke dalam enam tingkatan dan setiap tingkatan dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu.Untuk sifat-sifat terpuji digunakan istilah ausaq an-nas (orang yang paling dipercaya, baik kepribadian maupun hafalannya), la yus’al ‘anh (tidak perlu dipertanyakan lagi), siqah-siqah (tepercaya kuat), sabat (kokoh), la ba’sa bih (tidak masalah) dan laisa bi ba’id min as- sawwab (tidak jauh dari kebenaran). Untuk sifat-sifat tercela digunakan istilah akzab an-nas (manusia paling pendusta), muttaham kazib (suka berdusta), muttaham bl al-kai[b (dituduh berdusta). la yuktab hadisuh (tidak perlu ditulis hadisnya), la yuhtajj bih (tidak dapat dijadikan hujah), dan fIhi maqal (dipertanyakan). Untuk periwayat yang memiliki sifat terpuji hadisnya dapat diterima dengan peringkat kehujahan sesuai dengan peringkat sifat terpuji yang dimilikinya. Sebaliknya, periwayat yang memiliki sifat tercela hadisnya ditolak dengan peringkat penolakan sesuai dengan peringkat sifat jelek yang dimilikinya. Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini antara lain al-Jarh wa at- Ta dill karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 328 H) dan al-Jar~ wa at-Ta’di1 karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa ‘id bin Qasim al-Qasimi.
c. ‘Ilm ‘ilal al-hadis, yakni ilmu yang membahas perihal cacat tersembunyi yang mungkin terdapat dalam suatu hadis yang keberadaannya dapat menjatuhkan nilai hadis yang secara lahir tampak sahih. Misalnya, hadis yang tampak muttasil (hadis yang sanadnya menyambung sampai kepada Nabi SAW atau sahabat) setelah diteliti lebih jauh temyata munqati’ (hadis yang salah seorang periwayatnya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada periwayat yang di tengah atau di akhir) .Untuk dapat mempelajari cacat tersembunyi ini diperlukan penguasaan ilmu ‘ilm ‘ilal al-hadis secara mendalam karena masalah yang menjadi objek kajiannya lebih rumit.Kitab-kitab terkenal di cabang ini di antaranya ’1lal al-Hadis oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi, al- ‘I1al oleh Imam at-*Tirmizi, dan al- ‘I1al al-Mutananiyah fI al-Ahadis al-Wahiyah oleh Ibnu al-Jauzi (510-97 H).
d. ‘I1m garib al-hadis, yakni ilmu yang membahas masalah kata atau lafal yang terdapat pada matan hadis yang sulit dipahami, baik karena kata atau lafal tersebut jarang sekali dipakai, nilai sastranya yang tinggi, maupun karena sebab yang lain. ‘I1m garib al-hadis ini mempunyai arti penting dalam memahami maksud hadis dengan baik dan tepat karena sering kali suatu lafal tidak dapat dipahami sesuai dengan maknanya yang umum dikenal (makna lahiriah) sehingga harus dipahami dengan makna tersendiri agar maksud yang dituju oleh hadis tersebut dapat diungkap dengan baik dan tepat. Ilmu inilah yang mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan makna yang tepat tersebut. Ulama perintis di bidang ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Mussana at- Taimi (w. 210 H) dan kemudian Abu al-Hasan an-Nadr bin Syunail al-Mazini (w. 203 H). Keduanya telah menulis kitab tentang garib al-hadis. Namun, Muhammad Adib Salih (ahli hadis kontemporer dari Suriah) mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kitab kecil dan banyak masalah yang belum terdapat di dalamnya. Kitab yang terkenal ialah al-Fa’ iq fiGarib al-hadis karya Abu Kasim Mahmud bin Umar az-*Zamakhsyari dan an-Nihayah ff Gario al-ljadls karya Majduddin Abu as-Sa ‘adah al-Mubarak bin Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Asir (544-606H).
e. ‘IIm asbab al-wurud al-hadis, yakni ilmu yang membahas sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Sebab atau hal tersebut adakalanya berupa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat, lalu Rasulullah SAW memberikan jawabannya, dan adakalanya berupa peristiwa yang disaksikan atau dialami sendiri oleh Rasulullah SAW bersama sahabatnya, kemudian beliau menjelaskan hukumnya.Hadis-hadis yang mempunyai * asbab al- wurud ini harus dipahami sesuai dengan keter- ikatannya dengan sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut. Ilmu ini bertujuan mengantarkan seseorang untuk dapat memahami hadis sesuai konteksnya. Ulama yang dipandang sebagai perintis dalam bidang ilmu ini adalah Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari (380-458 H), dan kitab yang terkenal dalam bidang ini ialah al-Bayan wa at- Ta ‘rif fi Asbab Wurud al-hadis asy-Syarlf karya Syarib lbrahim Muhammad bin Kamaluddin al-Husaini al-Hanafi ad-Dimasyqi yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Hamzah ( 1054 -1112 H).
f. ‘IIm mukhtalif al-hadis, yakni ilmu yang mem- bahas hadis-hadis yang secara lahir tampak saling bertentangan. Ilmu ini mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang untuk dapat menyelami makna filosofis suatu hadis, karena pada tingkat makna filosofis tidak mungkin hadis-hadis Rasulullah SAW benar-benar bertentangan satu sama lain. Apabila tampak bertentangan, maka pertentangan itu hanyalah pada makna lahiriahnya, bukan pada maksud sesungguhnya yang dituju.Ulama perintis di bidang ini ialah Imam asy-Syafi ‘i dengan karyanya Mukhtalif al-hadis. Kemudian muncul pula Abu Muhammad Abdullah bin Muslim ad-Dinawari bin Qutaibah atau Ibnu Qutaibah (213 H/828 M-276 H/889 M) dengan kitabnya Ta’wi1 Mukhtalif al-Hadis dan Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad at- Tahawi (239-321 H) dengan kitabnya Musykil al-ljadls.
g. ‘IIm nasikh wa mansukh al-hadis, yakni ilmu yang membahas penyelesaian hadis-hadis yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ilmu ini mempelajari sejarah munculnya hadis-hadis yang bertentangan tersebut untuk mengetahui mana di antaranya yang lebih dahulu muncul dan yang kemudian. Penyelesaian dilakukan dengan kaidah an-nasikh, yaitu hadis yang datang kemudian membatalkan ha- dis yang datang lebih dahulu. Selanjutnya, hadis yang membatalkan dijadikan hujah dan diamalkan,sedangkan hadis yang dibatalkan/dihapus ditinggalkan. Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain NasiKh al-hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I’tibar fi an-NasiKh wa al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).
h. ‘I1m takhrij al-Qadis,yakni ilmu yang membahas kualitas hadis. Ilmu ini membicarakan cara yang harus ditempuh dalam mencari dan menemukan hadis di dalam kitab-kitab sumber asli yang memuatnya serta menerangkan kualitas sanad yang mendukung periwayatan hadis tersebut.Yang dimaksud dengan kitab hadis sumber asli adalah kitab hadis yang ditulis langsung oleh periwayat dengan memaparkan jalur sanadnya secara utuh, seperti al-kutub as-sittah (kitab hadis yang enam, yaitu sahih al-Bukhari -sahih -mus lim, Sunan Abi Dawud, sunan at- Tarmizi Sunan an- Nasa’i dan Sunan Ibn Majah), al-Muwatta’ oleh Imam *Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan ad-Darimi ‘I1m takhrij al-Hadis bertujuan mengantarkan seseorang untuk menelusuri kualitas sanad hadis dengan meneliti nama-nama periwayat yang terdapat dalam jalur sanadnya.Kitab-kitab penting di bidang ini di antaranya Turuq Takhrij hadis Rasulillah karya Abu Muhammad Abdul Hadi (ahli hadis kontemporer dari Mesir) dan Usul at- Takhrij wa at- Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud at- Tahhan (ahli hadis kontemporer dari Mesir).

C. PENUTUP
Mempelajari ilmu hadis mengantakan kita kepada pengetahuan yang mendalam mengenai hadis dimana Para ulama Hadis membagi Ilmu Hadis Dirayah atau Ulumul Hadis ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas padanya, seperti pembahasan tentang pembagian Hadis Shahih, Hasan, Dan Dha’if, serta macam-macamnya, pembahasan tentang tata cara penerimaannya (tahmmul) dan periwayatan (adda’) Hadis, pembahasan al-jarih dan al-ta’dil serta tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasikasiannya antara yang tsiqat dan yang dha’if, dan pembahasan lainnya. Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam dari Ulumul Hadis, sehingga, karena banyaknya, Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa macam-macam Ulumul Hadis tersebut banyak sekali, bahkan tidak terhingga jumlahnya.
DAFTAR PUSTAKA:
• http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:zB3oNZpnshYJ:www.canboyz.co.cc/2010/02/ulumul-hadits.html+ulumul+hadis&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id&source=www.google.co.id
• http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:Dq26AXeLOJ8J:attanzil.wordpress.com/category/ilmu-ilmu-hadits/+ilmu-imu+hadis&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a&source=www.google.co.id