KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Assalamu Alaikum dan Selamat Datang…!.

KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Jika ada yang merasa filenya tercopy paste atau materi tidak sesuai, saya dengan penuh hormat meminta maaf.

KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Silahkan Melihat-lihat barangkali saja ada yang menarik, hehehegg….

KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Anda sedang mencari tugas mengenai tugas tarbiyah? Mungkin ini bisa membantu….

KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Kritik dan saran bisa anda kirimkan ke https://plus.google.com/+MarconiKamal/posts atau fadilmarco@yahoo.com .

Tampilkan postingan dengan label psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label psikologi. Tampilkan semua postingan

Body Language and Attraction






Attraction refers to the facility to manifest qualities such as interest, charm, fascination, amusement and generosity such that other seeks your company. Both of women or men will change dramatically when in the presence of the opposite sex. For instance, a man will automatically straighten up his body, stand a little taller, and avoiding all those common slumping or slouching postures. Max. A. Eggert in his book “Brilliant Body Language” has classified the rules of attractiveness in generally.
v  Primacy and recency effect
Primacy is the first impression and recency deals with the last impression of the opposite sex. The people sometimes very stick with their memory when they met us for the first time, because they will judge everything that we wear, everything that we have done and said. Thus, most of people always try to give a good impression to be remembered. Here, Max suggests that begin somewhat nervously but grow in confidence.
v  Propinquity
Attraction also can be trough by propinquity. The people who always meet each other frequently should be more attractive than not. Max cites, “the more we spend with another the more they are likely us and we them”.
v  Endogamy
One factor that sometimes considers as thing to make people more attractive is endogamy. Our color, skin, religion, culture, and social standing are included.
v  Stay around attractive people
Being close with attractive people might make us more attractive. An unattractive man who has married with attractive wife is viewed as more attractive, and vice versa.
v  Height
Women usually like a man who taller than average and taller than themselves. It’s a basic concept which notices that height is a factor of people being attractive or not.
v  Hair
Strong and shiny hair is an indicator of youth for women. Hair has a big influence to the people consider us to be attractive or not. Bad hair and skin is identical for sickness and being worse. Moreover, baldness for men isn’t found attractive by some women.
v  Body shape
Actually, the standard of physical attractiveness is very much affected by culture and era. However nowadays, most men emphasize women who have a good breasts, legs, bottoms, hourglass figure and good skin. Generally, male like slim female. In the other hand, women prefer men who have strong upright shoulders, a strong chin, muscled arms, a trim bottom and strong legs.
v  Faces
More handsome or more beauty signs more attractive we are. That’s why, we find so many women spend a lot of time and money just for being more beauty and youthful. Not only for women, make-up and something to do with fashionable also has influenced men. Psychologists at The University of New Mexico have found that a female prefers in a male whose body odour is symmetry which has a strong jaw line, heavy brows, and broad cheekbones.
v  Eyes
As proverb said, “When a women is talking to you, listen to what she says with her eyes”. It has supported that changing of our pupil size, our eyes color even size and lashed eyes are things that the opposite sex considers to assess us whether being attractive or not.
v  Glasses
Wearing glasses both for men or women in early research found that it has an interesting effect. Men will be look more intelligent, conventional, hardworking and also serious but less of manly.  In another case, women will be assumed as more intelligent, honest, serious but sometimes just make them look older.
v  Breasts
In this part, Max cites that certainly in the western culture, large breasts are attractive to men.
v  Voices
Women with a higher pitched voice are more attractive. Moreover, men with deep voice considers more attractive.
v  Skin
By and large, males prefer a female whose fair skin and females prefer a darker skin for males.
v  Personal Aroma
Body odor has a big effect of attractiveness. Max states that fresh male sweat is arousing women but only for 20 minutes. Therefore, any perfume with musk would be considered.
v  Pheromones
Pheromone actually is a term to animal sex message which is related with animal organ which is called Vomeronasal Organ (VNO). Human also sometime send their non-verbal messages to another that indicate that they are sexy or ready for sex.
v  Legs
Many women want to make their legs look longer, as longer legs equal greater sex appeal. In the fact, almost of men prefer women who have long legs indeed.
v  Male body language and partnering
There are six keywords that Max has cited. They are: looking big, looking strong, powerful protector, gain mate, procreates and gene survival. Men usually don’t have a large inventory of attraction and flirting gestures compared to women. They just focus to be masculine. Male uses in preening behavior by brushing back his hair, straightening his tie or smoothing some other piece of clothing. The acceptance of female to a male can be found at her response. If she finds him attractive the female will turn towards him but if not, he receives the ‘cold shoulder’ treatment and turns to another possible suitor. Eyes especially pupil dilation and blink rate takes a big part of male attraction.
v  Female body language and partnering
Female has a bigger number of body language armories to make her being more attractive. There is a lot of self-touching especially her neck. She also makes herself appear more vulnerable by exposing her neck by stretching it. Moreover, she also highlights her bust, engorges her lips with blood to make it more red and fuller, and enlarges her pupils.
v  Humor
Both of women and men like their partners to have a good sense of humor. Not so clumsy and bored.
v  The company you keep
The people companion also must be considered in a term of attractiveness. Therefore, Max suggests to increase our attractiveness quotient align our self with attractive people.

Touching socially acceptable parts of the body would be a good indication of the desire for intimacy.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Bahasa

Peranan bahasa dalam manusia besar sekali. Hampir dalam semua kegiatan, manusia memerlukan bantuan bahasa. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan khusus seperti kesenian dan ilmu. Bahasa merupakan sarana yang tidak dapat ditinggalkan. Dalam kehidupan sehari-hari seperti di rumah, di pasar dan tempat hiburan selalu dpergunakan orang. Sukar kita bayangkan manusia hidup tanpa bahasa. Karena bahasa demikian pentingnya dalam kehidupan manusia, tidaklah mengherankan apabila banyak perhatian yang dicurahkan pada masalah yang berhubungan dengan bahasa.  
Salah satu sistem isyarat yang paling penting bagi manusia adalah bahasa (Littlejohn, 1996). Dalam bahasa, isyarat terdiri dari pengelompokan sesuatu yang memiliki makna. Suara-suara dikombinasikan ke dalam frasa-frasa, klausa-klausa dan kalimat-kalimat, yang menunjukkan objek. Bahasa sebagai alat komunikasi, pada hakekatnya bersifat netral (Heryanto, 1989), tetapi dapat digunakan sebagai sesuatu yang bersifat baik atau tidak baik. Bahasa menjadi memberikan makna yang salah jika pengertian yang kabur tidak bisa dibatasi penggunaannya, terutama yang sering terjadi antara penguasa yang masyarakatnya. Melalui bahasa juga terlihat keinginan dominasi Barat modern atas manyarakat non-Barat, pada abad lalu, atau bahkan hingga saat ini yang terjadi dimanamana, tidak hanya terjadi di kepulauan Nusantara (Heryanto, 1989), yang tidak lain adalah suatu upaya mempertahankan kekuasaan Barat atas non-Barat. Hal ini terlihat secara nyata pada berbagai kajian tentang kolonialisme, imperialisme, underdevelopment dan dependensia yang banyak memberikan sumbangan pemikiran untuk memahami proses dominasi Barat dan atau Utara di bagian besar dunia ini. Berbagai pemikiran tersebut terlalu mendasarkan analisisnya pada bidang politik-ekonomi, bukan bahasa. Bahkan, kajian-kajian tersebut biasanya membuat generalisasi yang sangat luas, yang dapat merupakan pengaruh bahasa sebagai alat komunikasi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya di negara penerima program. Tulisan ini bertujuan memberikan pemahaman dan mengemukakan bagaimana bahasa memiliki berbagai fungsi dalam kaitannya dengan komunikasi, bahkan tidak jarang digunakan sebagai alat komunikasi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

 Faktor-faktor yang mempengaruhi bahasa:
Ø  Faktor Budaya
Para pakar komunikasi terutama dalam hal komunikasi antar manusia selalu melihat budaya sebagai titik tolak bagi orang-orang atau individu saat melakukan komunikasi sesama manusia yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi juga kuat dipengaruhi oleh budaya masing-masing individu yang terlibat baik sebagai komunikator maupun komunikan. Para ahli komunikasi dalam hal penggunaan bahasa berkata bahwa 'bahasa bisa memenjarakan kita, namun bahasa juga bisa membebaskan kita.' Bahasa merupakan atau dapat dianggap selaku benar dalam kehidupan kita. Bahasa memberi kerangka yang akan memberikan harapan-harapan kepada kita dan dengan demikian menimbulkan persepsi bagi para individu yang terlibat dalam komunikasi
Sementara itu, bahasa dan komunikasi lisan bisa menciptakan kesalahpahaman atau salah mengerti, salah tanggap, namun bahasa lisan ini pun ada baiknya pula, yaitu dapat mengklarifikasi kesalahpahaman yang terjadi. Kita maklum bahwa setiap bahasa bisa dikatakan sebagai merefleksikan sistem yang menurut kita logis dan masuk akal. Bahasa sebagai suatu sistem simbol atau lambang bisa berubah kalau berkaitan dengan ide, perasaan, pengalaman, peristiwa dan fenomena lainnya dan dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlapis-lapis yang dikembangkan oleh masyarakat tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh ahli bahasa, bahwa bahasa manusia ini disusun atau ditata berdasarkan pada sekumpulan aturan yang disepakati, seperti fonologi (berkaitan dengan bunyi), morfologi (berkaitan dengan bentuk kata), sintaksis (berkaitan dengan penyusunan kata-kata menjadi suatu kalimat), kemudian semantik (berkenaan dengan arti kata), serta terakhir apa yang dinamakan pragmatis (memandang sesuatu menurut kegunaannya).
`           Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer (sewenang-wenang) yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
  1. bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
  2. bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyatakan bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Ø  Sosial
Aturan-aturan dalam ranah sosiolinguistik perlu menjadi pertimbangan dalampengajaran bahasa. Penggunaan bahasa dalam suatu komunitas termasuk dalam lingkupsosial. Artinya pengaruh faktor-faktor sosial berpengaruh pada perilaku tutur (speechbehavior) (Holmes, 2001: 366). Aspek yang berbeda dan beragam khasanah pengetahuan diperoleh seorang individu pada suatu kelompok masyarakat yang berbeda diperoleh saat mereka (individu) tersebut belajar menggunakan bahasa (tuturan) yang sesuai dalam komunitasnya. Pengetahuan dan kemampuan inilah yang disebut kompetensi sosiolinguistik. Dalam masyarakat yang multilingual, pemilihan variety atau kode bahasa untuk digunakan dalam berkomunikasi melibatkan pemilihan akan menggunakan bahasa yang berbeda, seperti style (gaya bahasa). Misalnya pada anak-anak umumnya pertama-tama akan mempelajari bahasa pertama mereka – bahasa ibu, lalu ditambahkan dengan bahasa lain karena satu dan lain hal. Sebutlah pemerolehan itu karena pendidikan, dan untuk dapatberkomunikasi dengan lingkup masyarakat yang lebih luas. Jadi, secara bertahap anak-anakmengembangkan “linguistic repertoire” yang sesuai untuk lingkup (domain) yang berbedadalam komunitasnya. Peralihan kode (bahasa) ini terlihat jelas dalam masyarakat multilingual, karena inilah menjadi pembeda bahasa. “Linguistic repertoire” (Holmes, 2001) pada generasi yang berbeda mungkin berbedapula. Ini terjadi pada masyarakat dimana language shift-nya sedang berkembang. Misalnya,kompetensi linguistik seorang anak transmigran akan sangat berbeda dari kakeknya. Sangat dimungkinkan dia akan mengalami kendala dengan bahasa ibunya.
 Mengembangkan “style” yang lebih luas dalam komunitas barunya. Contoh lainnya, anak-anak orang Batak yang berada di Jakarta, sejauh pengamatan saya, banyak mengalami kendala dalam berbahasa Batak artinya tidak sebatas pada pemahaman saja tetapi selayaknyadapat pula bercakap-cakap. Bagaimana “language shift” ini berubah secara cepat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor status sangat berperan. Brown (2007: 215)menyebutnya dengan jarak sosial,merujuk kepada kedekatan kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu di dalam diriseseorang. Maka ia harus memiliki standar berbahasa yang berlaku pada satu komunitas yang dianggapnya lebih tinggi agar dia bisa masuk pada lingkup baru dimaksud. Bahasa vernacular (daerah) memang tersirat pada umumnya, berbeda dengan bahasa yang dianggapstandar yang tersurat. Karena status ini pun mengharuskan seseorang untuk mau tidak maumemaksa kompetensi sosiolinguistiknya harus dikembangkan. Kompetensi linguistik dalam masyarakat monolingual mengharuskan seseorang untukmengunakan bahasa masyarakat itu dimana terdapat kelompok-kelompok sosial yang beragam. Misalnya, kelompok yang dimasukinya dapat dikenal dari pengucapan, tata bahasa,atau kosakata yang dipergunakan, atau bisa saja dari ketiga hal ini. Kita belajar bagaimanabertutur sesuai dengan gender dan kelompok usia, agar kita berterima dalam kelompokdimaksud. Juga etnis seseorang bisa diketahui (ditebak) dari cara dia bertutur. Memang,sekarang ini umumnya masyarakat multilingual, yang tentu lebih kompleks dari monolingual.Kita masuk pada satu kelompok sosial, etnis, dan wilayah geografis, serta gender dan usia.Sehingga dalam bertutur, kita harus mempertimbangkan hal-hal di atas termasuk pulamengenal lebih awal dengan siapa kita bertutur. Siapa saja yang sering berinteraksi dengankita, bahkan jaringan sosial berpotensi mempengaruhi cara bertutur. Artinya, disadari atau tidak, telah terjadi perubahan bahasa. Ini sebenarnya masih dalam ranah kompetensi sosiolinguistik. Sebagai individu dalamkomunitas yang lebih besar, bahkan lintas gender, usia, wilayah dan lain-lain; selain perlumenyadari dengan siapa kita bertutur, juga perlu tahu apa fungsi bahasa yang kita kehendaki,dan dalam konteks apa. Misalnya, jika seorang Batak bertemu dengan seorang Jawa (yangmasih kuat memegang sopan santun), norma-sorma sosiolinguistiknya sangat mungkinberbenturan. Hasilnya, malu dan salah pengertian. Bahasa akan membawa kita berada pada realitas sosial. Maka dari itu, belajar bahasamembutuhkan suatu pandangan atas dunia sekeliling kita sehingga perlu memiliki kompetensi komunikatif. Menurut para ahli sosiolinguistik, bahasa menyangkut pilihan.
 Misalnya pemerintah; juga dalam bentuk silabus dan metode serta ancangan yang sesuaidengan kebutuhan dan kekhasan suatu kelompok pemelajar. Perspektif psikologi pedagogikal yang mumpuni perlu dimiliki oleh pengajar bahkanpara pengambil keputusan dalam pengembangan dunia pendidikan umumnya dan pengajaranbahasa pada khususnya. Terutama pengajar, dia harus berfungsi sebagai inisiator bagaimana menciptakan suasana belajar yang baik, fasilitator pembelajaran, negosiator (Brown 2007:104). Apabila ini terpenuhi, besar kemungkinan akan proses pembelajaran itu dapat dikatakan berhasil. Tentu keberhasilan pembelajaran itu ditentukan oleh banyak komponen. Misalnya,pengajar, pemelajar, tujuan pembelajaran, materi, metode dan teknik, evaluasi serta saranauntuk mendukung proses pembelajaran. Psikologis pemelajar perlu mendapat perhatian. Inilah yang menjadi ranah daripsikolinguistik khususnya dalam pengajaran bahasa. Karena fokusnya adalah pemelajardengan semua perilaku berbahasanya, maka tepat kiranya saya mengutip pendapat Field(2003: 2) bahwa psycholinguistics explores the relationship between the human mind andlanguage. Artinya, ada hubungan antara bahasa dan pikiran (lihat Aitchison, 2008:1; Yule,2006: 137). Pemelajar sebelum menggunakan bahasa sebetulnya melakukan suatu proses memahami ujaran dulu “acoustic image”, dan dia harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang ujaran itu (old and given topic) sehingga akan mudah dalam merespons (Stimulus –Response – Stimulus – Response, dan seterusnya). Artinya terjadi proses mengubah pikiranmenjadi kode (S-R). Ini juga yang dinyatakan Osgood dan Sebeok (dalam Pateda: 1990)“psycholinguistics deals directly with the processes of encoding and decoding as they relatestates of communicators”. Berarti ada proses “encoding” (sintesa) dan “decoding”(rekognisi). Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh pemelajar,hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, danmenulis. Semua keterampilan ini memiliki titik akhir untuk berkomunikasi dengan manusialain. Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi(Pateda, 1990: 13). Field (2003: 2) mengemukakan psikolinguistik mencakup languageprocessing, language storage and access, comprehension theory, language and the brain,language in exceptional circumstances, frst language acquisiton (pemrosesan bahasa,penyimpanan dan akses bahasa, pemahaman, bahasa dan otak, bahasa lingkup tertentu, danpemerolehan bahasa). Pemelajar adalah subjek pembelajaran. Maka pemelajar merupakanorganisme yang beraktifitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak danmembaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi(Lisnawati, 2010). Dari paparan perspektif sosiologi dan psikologi di atas, kehadiran materi ini dalampembelajaran bahasa sangat penting. Kelompok pemelajar merupakan representasi dirimereka, lingkungan dan sosio-kultural, sosio-ekonomi, sosio-edukasi, dan faktor lain yangberperan dalam membentuk seseorang itu untuk berperilaku termasuk perilaku tutur. Faktor-faktor yang sifatnya eksternal tadi tidak dapat dipisahkan dari pembentukan psikologipemelajar. Untuk dapat menggunakan bahasa secara lancar dan komunikastif pemelajar tidakhanya cukup memahami kaidah bahasa, tetapi diperlukan kesiapan kognitif (penguasaankaidah bahasa dan materi yang akan disampaikan), afektif (tenang, yakin, percaya diri,mampu mengeliminasi rasa cemas, ragu-ragu, waswas, dan sebagainya), serta psikomotor(lafal yang fasih, keterampilan memilih kata, frasa, klausa, dan kalimat). Dengan demikian,jelaslah bahwa betapa penting peranan psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa. Bagi para pengemban pendidikan di Indonesia, khususnya pengajaran bahasa,mungkin ini juga perlu dipertimbangkan. Pengajaran bahasa yang product oriented danlearning centered, dan ancangan yang aplikatif selaras dengan local exigencies perlu dihasilkan. Yang pasti, ketika dalam pengajaran bahasa terdapat kendala yang sulitdipecahkan, mungkin perspektif sosial dan psikologi dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah.
Ø  agama
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang paling sering digunakan. Dengan bahasa kita dapat memahami sesuatu. Dengan bahasa kita dapat memahami keinginan orang lain. Dengan bahasa kita bisa mempelajari sesuatu. Demikian pula dalam mempelajari agama. Kita mengetahui apa itu agama, seluk beluk agama, aturan aturan dalam agama dan segala sesuatu yang berhubungan dengan agama dapat kita pelajari dengan menggunakan bahasa. Misalnya agama Islam, kita tidak bisa memahami apa yang diterangkan dalam ajarannya apabila kita tidak mengerti bahasa. Agama Islam diturunkan di tanah Arab dengan menggunakan bahasa Arab, Namun berkat jasa jasa orang yang mengerti bahasa Arab sehingga kita yang hidup dizaman sekarang bisa memahami tentang apa yang diajarkan dalam agama Islam itu. Jadi hubungan antara bahasa dan agama adalah dengan bahasa kita dapat memahami agama, atau, agama tidak dapat difahami tanpa adanya bahasa.
Ø  Politik
Bahasa merupakan kekuasaan (language is power) dan sangat berperan dalam mencapai tujuan nasional maupun internasional suatu bangsa. Bahasa membentuk suatu ikatan sosial melalui interaksi dan proses saling mempengaruhi penggunanya (Kurniawan, 2003). Disebutkan pula bahwa penyebaran bahasa (di dunia) menunjukkan bahwa bangsa tersebut telah menguasai (dunia). Terkait dengan bahasa Indonesia, pada jaman penjajahan Jepang, pengerahan segala orang dan tenaga dari bangsa Indonesia dalam sebuah peperangan, membuat bangsa Jepang menggunakan bahasa Indonesia untuk propaganda guna mencapai tujuan dengan cepat. Saat itu, dengan menyisihkan bahasa daerah, penggunaan bahasa Indonesia mencapai masyarakat sampai ke pelosok desa-desa di pegunungan dan pulau-pulau terpencil (Kurniawan, 2003). Bahasa juga merupakan sarana komunikasi budaya yang penting karena menggambarkan kebudayaan pemakai bahasa tersebut dan membudayakannya melalui penggunaannya (Kurniawan, 2003). Apapun tradisi, apapun kreasi, apapun hasil kebudayaan yang kita miliki, dapat segera punah dan berganti, kecuali satu yaitu bahasa. Bahasa memiliki durasi yang jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan produk-produk peradaban lainnya. Dengan bahasalah, suatu bangsa mengemukakan seluruh harapan, obsesi/mimpi, kenyataan, ketakutan, maupun protes-protesnya dalam kehidupan, sehingga bahasa menjadi vital dalam hidup kita. Bahkan kini menjadi senjata karena kita dapat menentukan bahkan menguasai seseorang atau sebuah bangsa, hanya dengan berkomunikasi melalui bahasa. Anderson (1996) juga mengemukakan bahwa yang luar biasa, karakter bahasa politik Indonesia modern lahir dari kenyataan tak terelakkan bahwa ia adalah ahli waris dari tiga bahasa yang berbeda dan dua tradisi budaya-linguistik yang berbeda pula. Tiga bahasa tersebut adalah Belanda, Jawa dan Melayu revolusioner, sedangkan tradisinya dalah Belanda-Barat dan Jawa. Dalam perpolitikan, tokoh-tokoh politik mempergunakan dan mendayagunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan ide, pendapat atau pikirannya, tetapi juga menyembunyikan pikirannya yang mengandung kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan. Namun demikian dalam pelaksanaannya dapat saja berbeda antar rezim pemerintahan atau antar tokoh politik tertentu.




DAFTAR PUSTAKA


Lupa dalam psycholinguistic

Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
1. Lupa Versus Hilang
Kerapkali pengertian “lupa” dan “hilang” secara spontan di anggap sama, padahal apa yang dilupakan belum tentu hilang dari ingatan begitu saja. Hasil penelitian dan refleksi atas pengalaman belajar di sekolah, memberikan petunjuk bahwa sesuatu yang pernah dicamkan dan dimasukkan dalam ingatan (long-term-memory) tetap menjadi milik pribadi dan tidak menghilang tanpa bekas.
Lupa adalah fenomena psikologis, suatu proses yang terjadi di dalam kehidupan mental. Hilangnya informasi dari ingatan jagka pendek disebabkan oleh dua hal, yaitu karena gangguan dan waktu. Mengingat al-hal yang batu dapat menggangu mengingat hal-hal yang lama.gangguan-gangguan yang menyebabkan terjadinya lupa, baik dalam ingatan jangka panjang maupun dalam ingatan jangka pedek ditunjang oleh ahsil-hasil penelitian, bahwa informasi-informasi yang baru dapat membingungkan informasi-informasi yang lama, yang baru menyulitkan orang untuk mengingat kembali informasi-informasi yang lama disebut ‘inhibisi retroaktif’ atau gangguan retroaktif. Sebaliknya bila informasi-informasi yang lama menyulitkan orang untuk mengingat kembali informasi-informasi yang baru dinamakan “inhibisi proaktif ” atau gangguan proaktif (Mahmud, 1990: 136).
Dengan kata lain kenyataan bahwa seseorang tidak dapat mengingat sesuatu, belum berarti hal itu hilang dari ingatannya, seolah-olah yang pernah dialami atau dipelajari sama sekali tidak mempunyai efek apa-apa.
2. Lupa-Lupa Ingat
Lupa-lupa ingat berlainan dengan lupa-lupaan, dan tidak sama dengan melupakan. Lupa-lupa berarti pura-pura lupa. Melupakan berarti melalaikan, tidak mengindahkan . baik lupa-lupaan maupun melupakan mengandung kesengajaan. Pengorganisasian struktur kognitif yang kurang baik dan sistematik berpotensi ke arah lupa-lupa ingat. Kerancuan struktur kognitif menyebabkan sejumlah kesan menjadi samar-samar; kesan berbentuk baying-bayang dalam ketidak pastian. Sesuatu hal yang direpresentasikan dalam bentuk kesan mengapung di antara alam ambang sadar dan alam bawah sadar.
3. Faktor-faktor Penyebab Lupa
a. Lupa dapat terjadi karena sebab gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam system memori siswa. Dalam interference theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua, yaitu: 1)practice interference; 2) retroactive interference (Reber 1988; Best 1989; Anderson 1990)
Seorang siswa akan mengalami gangguan proactive apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini materi yang baru saja dipelajari akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali.
Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami ganguan retroactive apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa tersebut. Dalam hal ini, materi pelajarn lama akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain siswa tersebut lupa akan materi peajaran lama itu.
b. Lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena sebab adanya tekanan terhadap item yang telah ada baik sengaja maupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
 Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan, dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran.
 Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retroactive.
 Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan.
c. Lupa dapat terjadi karena sebab perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu. Jadi, meskipun seorang siswa telah mengikuti proses belajar-mengajar dengan tekun dan serius, tetapi karena sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan terhadp guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.
d. Menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena sebab materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunaakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.
e. Lupa tentu saja dapat terjadi karena sebab perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alcohol, dan geger otak akan kehilangan ingatan atau item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.
B. Transfer Belajar
1. Pengertian Transfer Belajar
Transfer belajar adalah sebuah frase yang terdiri dari kata yaitu transfer dan belajar. Transfer dipungut dari bahasa Inggris yaitu “ transfer “ yang berarti pergantian, serahterima, atau pemindahan. Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa-raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah lakuh sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Rumusan Transfer belajar menurut para pakar psikologi :
a. Salmeto mengatakan bahwa transfer adalah pengaruh hasil belajar yang telah diperoleh pada waktu yang lalu terhadap proses dan hasil belajar yang dilakukan kemudian.
b. Muhibbin Syah menyatakan bahwa trasfer belajar terjadi bila pengetahuan dan keterampilan anak didik sebagai hasil belajar pada masa lalu seringkali mempengaruhi proses belajar yang sedang dialaminya sekarang.
c. Menurut W.S Winkel dalam bukunya “ Psikologi Pengajaran “ bahwa transfer belajar berasal dari bahasa inggris “ Transfer of Learning “ atau “transfer of Training “ yang brarti pemindahan atau pengalihan hasil belajar yang diperoleh dari bidang studi yang satu ke bidang studi yang lain atau kehidupan sehari-hari di luar lingkup pendidikan sekolah.
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat diambil kesimpulan bahwa transfer belajar yaitu pemindahan. Pemindahan disini jangan dikonotasikan sebagai hilangnya suatu kemampuan atau keterampilan yang sudah dimiliki pada masa lalu, karena diganti dengan kemampuan atau keterampilan yang baru pada masa sekarang. Agar tidak terjadi kesalahan persepsi, transfer belajar disini sebagai “ pemindahan Pengaruh “ atau pengaruh kemampuan atau keterampilan melakukan sesuatu yang dikuasai terhadap kemampuan atau keterampilan melakukan sesuatu yang lain yang akan dikuasai.
2. Beberapa Teori Transfer Belajar
Teori transfer belajar adalah pemikiran atau pendapat mengenai bagaimana transfer belajar itu sendiri.
a. Teori Disiplin Formal
Teori ini didasari oleh ilmu jiwa daya. Menurut teori ilmu jiwa itu tersusun dari beberapa macam daya ( pikiran, ingatan, perasaan, dll. ) masing-masing daya itu dapat diperbaiki melalui latihan-latihan. Teori transfer belajar menurut psikologi daya adalah bahwa baiknya setiap fungsi sebagai akibat mempelajari bahan tertentu akan tertransfer dalam mempelajari bahan apapun juga yang tidak ada hubungannya dengan bahan latihan itu.
b. Teori Komponen-Komponen Identik
Menurut teori ini transfer terjadi, jika antara situasi yang lalu atau hasi belajar yang lalu dengan situasi yang dihadapi atau bahan pelajaran yang dihadapi terdapat aspek-aspek yang sama.
c. Teori Generalisasi
Pandangan ini dikemukakan oleh Charles Judd ( 1873-1946 ) yang berpendapat bahwa transfer belajar lebih berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menangkap struktur pokok, pola, dan prinsip-prinsip umum.
3. Ragam Transfer Belajar
Muhibbin syah ( 1999 : 14 ) dengan mengutip pendapat Robert M.Gagne mengemukakan empat macam tansfer belajar yaitu transfer Positif, transfer negatif, transfer vertikal dan transfer lateral.
a. Transfer Positif
Yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Misalnya keterampilan mengendarai sepeda motor, akan mempermudah belajar mengendarai kendaraan bermotor roda empat.
b. Transfer Negatif
Transfer atau pemindahan berefek buruk yaitu mempersukar dan mempersulit dalam kegiatan belajar selanjutnya. Misalnya keterampilan mengemudikan kendaraan bermotor dalam arus lalu lintas yang bergerak disebelah kiri jalan, yang diperoleh seseorang selama tinggal di Indonesia, akan menimbulkan kesulitan bagi orang itu bila ia pindah kesalah satu Negara Eropa Barat, yang arus lalu lintasnya bergerak disebelah kanan jalan.
c. Transfer Vertikal (tegak lurus)
Dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila pelajaran yang telah dipelajari dalam situasi tertentu mebantu siwa tersebut dalam menguasai pengetahuan atau keterampilan yang lebih tinggi atau rumit. Misalnya seorang siswa SD yang telah menguasai prinsip penjumlahan dan pengurangan pada waktu duduk dikelas II akan mudah mempelajari perkalian pada waktu di duduk dikelas III.
d. Transfer Lateral (ke arah samping)
Dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila ia mampu menggunakan materi yang telah dipelajarinya untuk mempelajari materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Misalnya seorang lulusan STM yang telah menguasai teknologi “X” dari sekolahnya dapat menjalankan mesin tersebut ditempat kerjanya. Disamping itu, ia juga mampu mengikuti pelatihan menggunakan teknologi kurang lebih sama dengan mesin “X” tadi.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya transfer belajar :
a. Intelegensi
Individu yang lancer dan pandai biasanya akan mampu menganalisa dan melihat hubungan-hubungan logis, ia segera melihat unsur-unsur yang sama serta pola dasar atau kaidah hukum, hingga sangat mudah terjadi transfer.
b. Sikap
Meskipun orang mengerti dan memahami sesuatu serta hubungannya dengan yang lain, tetapi kecendrungan atau pendiriannya menolak/ sikap negative, maka transfer tidak akan terjadi, demikian sebaliknya.


c. Materi pelajaran
Biasanya mata pelajaran yang mempunyai daerah berdekatan misalnya matematika dengan statistic, ilmu jiwa sscial dengan sosiologi, lebih mudah terjadi transfer.
d. Sistem penyampaian Guru
Pendidik yang senantiasa menunjukkan hubungan antara pelajaran yang sedang dipelajari dengan meta pelajaran lain atau dengan menunjuk ke kehidupan nyata yang dialami anak, biasanya lebih membantu terjadinya transfer.

TEORI SIGMUND FREUD

Kepribadian sebagai hasil dari memperjuangkan dan mempertahankan.

Beberapa teori kepribadian yang berpengaruh telah menekankan alasan orang melakukan perbuatan yang telah diperbuatnya, pada bagian 7 telah dijelaskan mengenai sistem motivasi sosial, seperti kebutuhan manusia yang di gambarkan oleh Murrary (1938) dan Mcclelland (1971), yang telah memainkan peran penting dalam teori kepribadian. Membutuhkan penghargaan, kekuasaan, afiliasi, dan dominasi, sebagai contohnya, adalah motivator penting yang menghasilkan perbedaan individu dalam berperilaku. Ada beberapa cara dimana orang-orang menangani kekecewaan dan konflik, wilayah dimana banyak diantara para ahli psikologi sepakat akan teori ini.

Sejauh ini yang paling lengkap, yang populer, dan teori yang paling berpengaruh terhadap kepribadian tetapi hanya dalam beberapa hal, yang paling memberikan gambaran adalah psikoanalisis. Jauh sebelum psikologi yang memberikan banyak perhatian terhadap kepribadian, Sigmund Freud yang bekerja sebagai psikiater di Wina membuat konsepsi kepribadian berdasarkan perhatian terhadap pasien. Dia mampu menjelaskan aspek membingungkan dari banyak aspek perilaku orang biasa yang terganggu dan tidak konsisten dengan apa yang orang rasional akan lakukan. Versi-versi teori Freud menyebar di seluruh dunia barat dan telah menjadi salah satu pengaruh kuat yang pernah di rasakan oleh psikologi dan psikiater. Meskipun hari ini teorinya tidak lagi begitu populer atau berpengaruh dalam bidang psikologi seperti sebelumnya, tetapi kita harus menyadari bahwa teori kepribadian adalah kontribusi besar dari Freud untuk pemahaman umum kita tentang perilaku manusia.

Teori Freud tentang psikoanalisis
Psikoanalisis adalah satu set ide teori tentang kepribadian dan metode psikoterapi. Teori ini memiliki 3 bagian:
1. Teori tentang struktur kepribadian, dimana id, ego dan superego adalah konsep-konsep yang utama.
2. Teori perkembangan psikoseksual, dimana motif yang berbeda dan perkembangan tubuh mendominasi pada anak pada berbagai tingkat pertumbuhannya, dengan efek bertahan dalam fitur kepribadian orang dewasa.
3. Teori dinamika kepribadian, manajemen sistem energi kepribadian, dimana motivasi sadar dan tak sadar dan mekanisme pertahanan ego merupakan konsep penting

Struktur kepribadian
Freud mengembangkan model kepribadian dengan 3 bagian:
Id, ego, dan superego. Id dapat di anggap sebagai gudang unsur biologis dalam diri manusia berdasarkan motif-motif (dengan keseluruhan jenis kelamin) dan 'instinctual' (yang tidak melalui proses pembelajaran, biasanya tidak verbal) bereaksi untuk motif pemuasan diri, energi dari motif disebut libido. Di bahasakan, id adalah keinginan mendasar yang muncul, tanpa memperhatikan kenyataan hidup atau dengan moral apapun.
Id, bagaimana pun, biasanya di kekang dan di kendalikan ego. Ego terdiri dari cara-cara rumit dalam bersikap dan berpikir yang merupakan "fungsi eksekutif" seseorang. (Seperti yang akan kita lihat dalam bab ini, konsep ego hampir mirip dengan konsep "diri" yang beberapa teorinya telah memberikan peran penting dalam kepribadian). Ego menunda kepuasan dari motif id dan perilaku ke penerimaan secara sosial. Itu membuuat orang bekerja untuk hidup, bergaul dengan orang, dan umumnya beradaptasi dengan realitas kehidupan. Memang, Freud menunjukkan bahwa ego bekerja dalam "pelayanan dari prinsip realitas".

Superego keterkaitan erat dengan apa yang biasanya kita sebut hati nurani. Terutama terdiri dari larangan belajar dari orang tua dan otoritas yang lain, dan sering terlalu ketat. Superego mungkin mengutuk hal-hal tertentu yang salah yang ego sebaliknya akan lakukan untuk memuaskan id. Itu juga menjaga orang yang berusaha menuju cita-cita yang di sebut ambisi ego yang biasanya di peroleh di waktu kecil.

Dinamik
Freud tidak menekankan untuk membagi untuk kepribadian pada tiga bagian yang terpisah, melainkan ingin menyampaikan dinamika hidup, saling berkelanjutan menjadi komponen aktif. Salah satu fungsi utama dari sistem kepribadian adalah mengelola energi psiskis (libido). Ini, untuk memuaskan tempat instinktual dengan cara yang kompatibel dengan tuntutan lingkungan dan standar nurani seseorang. Ini hanya dapat terjadi dengan pengendalian aktif dan kompromi, dan hal ini tidak selalu terjadi dengan lancar.

Salah satu kontribusi besar dari Freud adalah pengertian motivasi tak sadar, yang membantu untuk menjelaskan mengapa seorang individu sering bertindak dengan cara yang tampaknya tidak rasional, Freud mengembangkan 3 bagian dari kesadaran atau kewarasan yaitu conscious (sadar), preconscious (prasadar) dan unconscious (tanpa sadar). Dalam keadaan sadar, kita menyadari hal-hal di sekitar kita dan pikiran kita. Bagian prasadar terdiri dari kenangan atau pikiran yang mudah dengan cepat diingat --apa yang kita makan untuk sarapan, sebagai contohnya atau nama depan orang tua kita. Sebaliknya alam bawah sadar mengandung kenangan dan pikiran yang kita tidak dapat sentuh dengan mudah. Beberapa diantaranya tidak tersedia karena kekanak-kanakan, ide verba yang tidak pernah menjadi sadar dan mungkin sulit untuk kita sadari, untuk menerimanya secara rasional. Kesadaran lainnya telah di tolak dari kesadaran (repressed) karena tidak diinginkan dan mengganggu. Semua id dan banyak ego dan superego termasuk kedalam unconscious.

Aspek lain dari komponen interaksi dinamis kepribadian dilihat dalam mekanisme pertahanan yang kita gunakan untuk melindungi diri terhadap emosi yang tidak menyenangkan yang dapat membangkitkan id sebagai dorongan alamiah mengeluarkan emosi.
kita akan melihat lebih dekat mekanisme pertahanan setelah kita menyelesaikan garis besar psikoanalisis dengan membahas tahapan perkembangan psikosexual dan teori-teori dari beberapa pengikut faham Freud.

Perkembangan psikoseksual_ Freud menempatkan penekanan berat pada perkembangan biologis secara umum dan perkembangan seksual pada khususnya. Salah satu konstribusi utama adalah dengan mengenali pentingnya masa kecil. Hingga sekarang, waktu kanak-kanak telah dianggap cukup banyak masalah yang menunggu sampai dewasa, dan tingkah laku kanak-kanak telah disertai dengan sedikit pemikiran.

Dalam teorinya tentang perkembangan anak, Freud menekankan proses perkembangan psikoseksual dalam menyukseskan tingkat pemfokuskan pada perkembangan tubuh. Freud percaya bahwa jika kebutuhan anak-anaknya entah tidak dipuaskan atau terlalu berpuas diri selama tahap tertentu dari Pengembangan, fiksasi akan mengambil tempat disini. Sebagai sebuah hasil fiksasi, pola berperilaku akan terus terpaku di dalam perilaku orang dewasa. Salah satunya mungkin dapat mengenali tingkat dimana telah terjadi masalah saat kecil oleh perilaku orang dewasa.

Di dalam teori oral stage (infancy), bayi memperoleh kesenangan pertama dengan menetek dan lalu kemudian menggigit. Diberi makan dan kontak dengan ibu, mengeksplorasi objek mulut, menghilangkan sakit dari pertumbuhan gigi melalui menggigit --semua untuk membuat mulut fokus untuk menyenangkan bayi selama tahun pertamanya. Seorang bayi diberikan terlalu sedikit kesempatan untuk menghisap (atau terlalu banyak), atau terlalu mencemaskan hal ini, mungkin dapat memperoleh suatu fiksasi oral, pada orang dewasa, mungkin termasuk perilaku oral yang berlebihan, keserakahan, ketergantungan, dan pasif. Fiksasi selama tahap pengekangan, di sisi lain, dapat menghasilkan sebuah kritik, "kepribadian yang terkekang".

Tingkat anal (waktu balita) terjadi ketika orang tua melatih anak-anak mereka di toilet dan mengajarkan mereka untuk menghindari perilaku "nakal" yang berhubungan dengan pengeluaran kotoran badan. Dalam masyarakat kita, hal ini adalah pertemuan pertama biasanya anak dengan daya dan pertama kalinya id harus dibawa di bawah kontrol ego muncul. teori psikoanalitik mengatakan bahwa bagian pertama periode ditandai dengan kesenangan dari mengeluarkan kotoran; tahap akhir, dimana anak akan dengan senang mengingatnya. Freud menyatakan bahwa fiksasi pada hasil sub pertama tahapan di fitur dewasa dari kekacauan dan gangguan, fiksasi pada tahap kedua mengakibatkan dorongan berlebihan, adaptasi berlebihan, dan kontrol diri yang berlebihan.

Setelah mereka tahu mengenai tahapan di toilet, minat anak-anak berubah kepada alat kelamin mereka. Di tingkat phallic, seorang anak usia prasekolah mengembangkan "sisi romantis" dari perasaannya terhadap orang tua yang berlawanan jenis. Freud menyebut perasaan ini pada anak laki-laki kompleks Oedipus, setelah kisah mitos Oedipus, yang tanpa disadari membunuh ayahnya dan menikahi ibunya (aplikasi 9), dan perempuan, kompleks Electra, setelah putri Agamemnon yang menyuruh saudara laki-lakinya membunuh ibunya. Menurut Freud, tahap phallic adalah tahap yang krusial. Anak laki-laki merasa cemburu dengan ayahnya dan mulai membuat perlawanan. Pertahanan yang biasanya muncul adalah identifikasi: anak laki-laki mencoba untuk menjadi seperti ayahnya. Kegelisahan mereka berkurang karena mengancam Ayah tidak akan mungkin menyakiti orang sepertinya -- sudah merupakan cerita lama. selain itu, dengan menjadi lebih seperti bapak, anak laki-laki tanpa sadar percaya bahwa mereka akan dapat memenangkan perhatian sang ibu. Di proses identifikasi dengan pola perilaku ayah mereka, tidak hanya perilaku sang ayah tetapi juga ide-ide ayah baik yang benar maupun yang salah. Faktanya, dalam identifikasi, superego mulai dari suatu pembentukan. Untuk gadis ceritanya seperti ini: ketika mereka melihat bahwa mereka tidak memiliki organ seksual seperti ayah saudara-saudara laki-lakinya, mereka dengan tidak sadar percaya bahwa mereka telah dikekang oleh ibunya, mereka marah dengan ini dan mulai bergeser kasih sayangnya kepada sang ayah. Namun, walaupun mereka tertarik kepada ayah mereka, gadis-gadis kecil masih berkata untuk mengidentifikasi dengan ibu mereka karena mereka tidak sadar merasa bahwa, jika mereka mengambil sifat ibu mereka dan menjadi lebih seperti mereka, mereka akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik dalam "hubungan yang lebih romantis dengan sang ayah". Faktanya, walaupun kasih sayang mereka untuk ayah mereka, gadis kecil itu terus mengidentifikasi dengan ibu mereka, menjadi seperti mereka dan ibu mereka mengadaptasi nilai-nilai dalam proses ini. Di dalam kasus ini gadis mengembangkan superego mereka dari ibu mereka.

PENGARUH FAKTOR PSIKOLOGIS TERHADAP KEMAHIRAN MEMBACA SISWA

Perkembangan dunia pendidikan berbanding lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Hal ini menyebabkan adanya tuntutan kepada masyarakat untuk selalu tanggap terhadap isu-isu global, utamanya bagi kalangan siswa. Siswa yang merupakan pelaku utama dalam pendidikan haruslah berusaha ekstra keras untuk menyelaraskan diri dan menyeleksi segala isu dan paradigma yang disodorkan kepadanya, terutama ketika dalam proses belajar mengajar.

Oleh karena itu demi meningkatkan eksistensi siswa di dalam proses belajar mengajar, maka sangatlah diperlukan adanya budaya membaca bagi para pelajar, karena selain mengefektifkan proses belajar mengajar, siswa juga dapat memperoleh pengetahuan dan wawasan baru yang akan semakin meningkatkan kecerdasannya sehingga mereka lebih mampu untuk menjawab tantangan hidup pada masa-masa yang akan datang.

Burns, dkk (1996) mengemukakan bahwa kemampuan membaca merupakan sesuatu yang vital dalam suatu masyarakat terpelajar. Namun, anak-anak yang tidak memahami pentingnya belajar membaca tidak akan termotivasi untuk belajar. Belajar membaca merupakan usaha yang terus-menerus , dan anak-anakyang melihat tingginya nilai (value) membaca dalam kegiatan pribadinya akan lebih giat belajar dibandingkan dengan anak-anak yang tidak menemukan keuntungan dari kegiatan membaca.

Dr. Farida Rahim, M.Ed. (2007) mengemukakan bahwa pada dasarnya membaca tidak hanya sekedar menyuarakan bunyi-bunyi bahasa atau mencari arti kata-kata sulit dalam suatu teks bacaan. Akan tetapi, lebih dari itu, membaca melibatkan pemahaman memahami apa yang dibacanya, apa maksudnya, dan apa implikasinya. Bayangkan jika seorang anak (SD) hanya bisa melafalkan kata-kata tanpa bisa memahami apa maksud dari kata-katanya maka kegiatan yang dilakukannya kurang bermakna.

Membaca semakin penting dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Setiap aspek kehidupan melibatkan kegiatan membaca. Di samping itu, kemampuan membaca merupakan tuntutan realitas kehidupan sehari-hari manusia. Beribu judul buku dan jutaan koran diterbitkan setiap hari. Ledakan informasi ini menimbulkan tekanan pada guru untuk menyiapkan bacaan yang memuat informasi yang relevan untuk siswa-siswanya. Walaupun tidak semua informasi perlu dibaca, tetapi jenis-jenis bacaan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan patutnya perlu dibaca.

Walaupun informasi bisa ditemukan dari media lain seperti televisi dan radio, namun peran membaca tak dapat tergantikan sepenuhnya. Membaca tetap memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari karena tidak semua informasi bisa didapatkan di televisi dan radio.

Melihat sangat pentingnya kemampuan membaca bagi para siswa , maka memang sangat perlulah kita selalu membudidayakan membaca di sekolah.Tetapi permasalahan yang dihadapi sekarang terutama di Indonesia, realitas membuktikan bahwa masih ada orang yang sudah duduk di bangku SMP ataupun di SMA tetapi belum terlalu mahir dalam membaca. Sebenarnya apa yang menjadikan hal tersebut ? Apakah sistem yang menjadikan hal tersebut ? Ataukah kurangnya kesadaran siswa akan pentingnya untuk mahir dalam membaca, ataukah adanya faktor psikis yang membuat siswa memiliki kemampuan yang rendah dalam membaca, faktor kemalasan misalnya.

Benarkah seseorang yang mempunyai sifat pemalas, lebih susah untuk mahir dalam membaca ketimbang orang yang rajin belajar? Atau apakah seseorang yang cenderung memiliki emosi yang labil lebih susah untuk mahir dalam membaca? Itu semua adalah pernyataan yang masih perlu dikaji kebenarannya.

Berkaca pada persoalan ini , maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian mengenai penyebab rendahnya kemampuan membaca seseorang jika ditinjau dari psikologis.

A. MEMBACA
1. Pengertian dan hakikat membaca
Menurut S.J Crawley dan L Mountain (Crawley, 1995) dalam bukunya "Strategies for Guiding Content Reading", mengatakan bahwa membaca adalah suatu proses berfikir yang mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif. Lebih lanjut Crawley juga membahas mengenai tiga komponen dasar dalam proses membaca yakni proses recording (mengasosiasikan kata-kata atau kalimat dengan bunyi-bunyi yang sesuai dengan sistem tulisan yang digunakan), decoding (penyandian), dan meaning (pemahaman makna). Sedangkan menurut Wikipedia berbahasa Indonesia Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Membaca melibatkan pengenalan simbol yang menyusun sebuah bahasa. Membaca dan mendengar adalah dua cara paling umum untuk mendapatkan informasi. Informasi yang didapat dari membaca dapat termasuk hiburan, khususnya saat membaca cerita fiksi atau humor. Sebagian besar kegiatan membaca sebagian besar dilakukan dari kertas. Batu atau kapur di sebuah papan tulis bisa juga dibaca. Tampilan komputer dapat pula dibaca. Membaca dapat menjadi sesuatu yang dilakukan sendiri maupun dibaca keras-keras. Hal ini dapat menguntungkan pendengar lain, yang juga bisa membangun konsentrasi bagi orang yang membaca.

Membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia. Secara teoritis, membaca adalah suatu proses rumit yang melibatkan aktivitas auditif (pendengaran) dan visual (penglihatan), untuk memperoleh makna dari simbol berupa huruf atau kata. Aktivitas membaca meliputi 2 proses, yaitu proses membaca teknis dan proses memahami bacaan. Proses membaca teknis adalah suatu proses pemahaman hubungan antara huruf dan bunyi atau suara dengan mengubah simbol-simbol tertulis berupa huruf atau kata menjadi sistem bunyi. Proses ini disebut sebagai pengenalan kata. Misalnya anak mengucapkan, baik dalam hati maupun bersuara, seperti kata "adik minum", yang tercetak merupakan proses membaca teknis. Proses memahami bacaan merupakan kemampuan siswa untuk menangkap makna kata yang tercetak. Pada waktu melihat tulisan "adik minum", anak tahu bahwa yang minum bukan ayah, atau adik dalam tulisan itu tidak sedang makan. Penguasaan kosakata sangat penting dalam memahami kata-kata dalam bacaan.
Membaca pada hakikatnya adalah suatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya melafalkan tulisan, akan tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir,psikolinguistik dan metakognitif. sebagai proses visual membaca merupakan proses menterjemahkan simbol tulis (huruf) ke dalam kata-kata lisan. Sebagai suatu proses berfikir, membaca mencakup pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis dan pemahaman kreatif. Pemahaman kata bisa berupa aktifitas membaca kata-kata dengan menggunakan kamus.

2. Tekhnik dan komponen membaca
P.C. Burns (Burns, 1996) dalam bukunya yang berjudul "Teaching Reading in Today's Elementary Schools", mengemukakan bahwa komponen kegiatan membaca terdiri atas proses dan produk. Dalam bukunya Burns juga memaparkan bahwa kemampuan membaca merupakan sesuatu yang vital dalam suatu masyarakat terpelajar.

Menurut Makhrif, seorang blogger berkebangsaan Malaysia dalam situsnya mahirkb.tripod.com mengemukakan bahwa Seseorang pelajar umumnya terpaksa banyak membaca. Dalam konteks sekolah, pelajar digalakkan mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber. Mereka membaca untuk berbagai tujuan. Ada waktunya mereka perlu membaca secara meluas atau ekstensif. Ada waktunya pula mereka perlu membaca secara intensif atau mendalam. Untuk menjadi seorang pembaca yang berkesan, pelajar perlu menguasai dan mengamalkan beberapa teknik membaca. Oleh itu guru perlu membimbing para pelajar menguasai teknik-teknik tersebut yang dimulai dari tingkat sekolah dasar. Dalam konteks sekolah, pelajar membaca untuk berbagai tujuan-tujuan seperti yang berikut; untuk mendapatkan pengetahuan atau fakta berkaitan dengan sesuatu tema atau persoalan untuk mendapatkan gambaran keseluruhan tentang suatu tema atau masalah untuk memahami suatu masalah untuk mengumpulkan berbagai pendapat berkaitan dengan suatu persoalan. Secara umumnya seseorang perlu menguasai dua teknik membaca, yaitu; membaca seksama (intensif) dan membaca kritis (ekstensif). Untuk membaca intensif seseorang dapat menggunakan teknik skimming dan scanning, sedangkan membaca kritis seseorang dapat menggunakan teknik seperti KWLH dan SQ3R. Teknik Membaca KWLH adalah singkatan dari; K (know) Apa yang telah diketahui (sebelum membaca) W (want) Apa yang hendak diketahui (sebelum membaca) L (learned). Apa yang telah diketahui (setelah membaca) H (how) Bagaimana untuk mendapat pengetahuan tambahan yang berkaitan (untuk membaca seterusnya). Tekhnik KWLH adalah suatu teknik membaca kritis di mana pembaca perlu mengingat terlebih dahulu apa yang telah diketahui; membayangkan atau menentukan apa yang ingin diketahui; melakukan pembacaan (bahan yang telah dipilih) untuk mengetahui apa yang telah diperoleh dari membaca yang baru saja dilakukan; kemudian menentukan lagi yang perlu diperoleh. Teknik membaca akan memudahkan pelajar mengaitkan pengetahuan yang tersedia dengan apa yang telah dibaca kemudian menentukan apa yang telah diperoleh dari hasil membacanya, lalu menentukan lagi bahan yang perlu dibaca setelahnya untuk mendapatkan pengetahuan tambahan. Dalam konteks pengajaran, pelajar dibiasakan menggunakan teknik KWLH. Know (K) Apa yang sudah diketahui, Want (W) Apa yang hendak diketahui, Learned (L) Apa yang telah dipelajari/diperoleh. How (H) Bagaimana memperoleh pengetahuan tambahan. Teknik Membaca SQ3R ialah teknik membaca kritis yang telah diperkenalkan oleh Robinson (1961), merupakan sistem membaca yang memerlukan seseorang mempersoalkan kesesuaian pengetahuan yang terdapat dalam suatu bahan yang dibaca dengan materi yang perlu diselesaikan.
SQ3R adalah singkatan bagi; S (survey), Q (question), R (read), R (recite), R (review). Survey (meninjau) adalah langkah membaca untuk mendapatkan gambaran keseluruhan tentang apa yang terkandung di dalam bacaan. Ini dilakukan dengan meneliti tema bacaan, ide-ide pokok, gambar-gambar atau ilustrasi, grafik, membaca daftar pustaka, dan indeks. Di sini juga pelajar sebenarnya menggunakan teknik membaca intensif yaitu skimming dan scanning.

Question (soal atau tanya) dimana memerlukan pelajar mencari suatu masalah yang berkaitan dengan teks. Soal-soal tersebut menunjukkan keinginan pembaca untuk memperoleh pengetahuan dari bahan bacaan tersebut, dan dapat menjadi acuan ketika proses membaca kemudian pelajar akan mencoba mencari jawaban soal-soal tersebut. Read (baca) adalah suatu tingkatan dimana pelajar membaca bahan atau teks secara aktif serta mencoba mendapatkan jawaban terhadap soal-soal yang telah dibuat sebelumnya. Ketika membaca, pelajar mungkin juga akan membuat soal-soal tambahan, berdasarkan perkembangan kefahaman dan keinginannya sepanjang membaca. Pelajar juga mempersoalkan pendapat atau pengetahuan yang didapatinya. Recite (mengingat kembali) Setelah selesai membaca, pelajar coba mengingat kembali apa yang telah dibaca dan meneliti segala Review (menganalisa kembali) merupakan tahap yang terakhir dimana pelajar membaca bagian-bagian buku atau teks secara selektif untuk mendapatkan jawaban-jawaban terhadap soal yang dibuatnya di langkah ketiga.

Teknik skimming dan scanning digunakan untuk membaca bahan yang ringkas seperti suatu petikan maupun bahan bacaan yang lebih panjang seperti buku, jurnal dan majalah. Dalam membaca suatu petikan, kita perlu memperhatikan ide penting setiap teks untuk mendapatkan gambaran umum, Ide- ide khusus sengaja diabaikan. Dalam membaca sebuah buku, fokus kita diberikan kepada bagian tertentu di dalam buku seperti pendahuluan, prakata, isi kandungan, tema utama, rumusan masalah dan indeks rujukan untuk mendapat gambaran umum tentang teks yang dibaca. Scanning ialah pembacaan cepat untuk mendapat pengetahuan yang khusus dan bukan untuk mendapat gambaran keseluruhan dari suatu teks. cara ini dapat menghilangkan bagian-bagian tertentu yang kurang penting. Secara rinci, tujuan
yang ingin dicapai yaitu :Menjelaskan hakikat dan proses membaca; Menjelaskan jenis-jenis
membaca; Menjelaskan langkah-langkah kegiatan membaca; Menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan
membaca; Menjelaskan membaca intensif dan ekstensif; Menjelaskan pengembangan kemampuan membaca skimming dan scanning.

3. Faktor yang mempengaruhi kegiatan membaca
Menurut Drs.Kholid Al Haras (Haras, 2009) dalam bukunya "Membaca 1", mengemukakan bahwa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan
Membaca dan pemahaman terhadap teks yang dibaca di antaranya faktor karakteristik materi bacaan dan karakteristik pembaca itu sendiri. Teks bacaan sangat berpengaruh
terhadap pemahaman pembaca, ada teks yang tingkat kesulitannya rendah, sedang, dan tinggi. Oleh karena itu, tingkat keterbacaan teks (readibility) adalah salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam memilih teks. Selain itu kemenarikan dan keotentikan teks juga merupakan syarat untuk memilih teks yang baik.
Karakteristik pembaca juga dapat mempengaruhi pemahaman pembaca terhadap teks. Karakteristik pembaca yang dapat mempengaruhi pemahaman teks adalah: IQ minat baca, kebiasaan membaca yang jelek, dan minimnya pengetahuan tentang cara membaca cepat dan efektif.

Lamb dan Arnold Richard (Lamb, 1976) dalam bukunya "Reading Foundations and Introductional Strategies",membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca seseorang yakni faktor fisiologis, faktor intelektual, faktor lingkungan dan faktor psikologis.

B. ASPEK-ASPEK DASAR YANG MENDORONG PENINGKATAN KEMAHIRAN MEMBACA DITINJAU DARI SEGI PSIKOLOGIS

Pengertian psikologi berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa. Dalam kaitannya dengan kemampuan membaca seseorang Ditinjau dari faktor psikologi maka Dr. Farida Rahim (Rahim, 2007) dalam bukunya "Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar", mengemukakan bahwa ada 3 aspek dasar yang mendorong peningkatan kemahiran membaca seseorang yakni:

1. Motivasi
Motivasi adalah faktor kunci dalam belajar membaca. Eanes (1997) mengemukakan bahwa kunci motivasi itu sederhana, tetapi tidak mudah untuk mencapainya. Kuncinya adalah guru harus mendemostrasikan kepada siswa praktik pengajaran yang relevan dengan minat dan pengalaman anak sehingga anak memahami belajar itu sebagai kebutuhan.

Tindakan membaca bersumber dari kognitif. Namun, semua aspek kognisi tersebut bersumber dari aspek afektif seperti minat, rasa percaya diri, pengontrolan perasaan negatif, serta penundaan dan kemauan untuk mengambil resiko.

Crawley dan Mountain (1995) mengemukakan bahwa motivasi ialah sesuatu yang mendorong seseorang belajar atau melakukan suatu kegiatan. Motivasi belajar mempengaruhi minat dan hasil belajar siswa. Menurut Frymier (dalam buku Farida Rahim berjudul "Pengajaran membaca di Sekolah Dasar"), ada lima ciri siswa yang mempunyai motivasi yang bisa diamati guru, yakni:
a. Persepsinya terhadap waktu: siswa menggunakan waktu secara realistis dan efesien; mereka sadar tentang masa sekarang, masa lalu, dan masa yang akan datang.
b. Keterbukaannya pada pengalaman: siswa termotivasi mencari dan terbuka pada pengalaman baru.
c. Konsepsinya tentang diri sendiri: siswa mempunyai konsepsi diri yang lebih jelas dibandingkan dengan siswa yang tidak termotivasi dan merasa seolah-olah dirinya orang penting dan berharga.
d. Nilai-nilai: siswa cenderung menilai hal-hal abstrak dan teoritis.
e. Toleransi dan ambiguitas: siswa lebih tertarik pada hal-hal yang kurang jelas yang belum diketahui, tetapi berharga untuk mereka.

Terkait dengan pendapat Crawley dan Mountain (1995) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang sangat penting bagi kesuksesan belajar ialah motivasi, keinginan, dorongan dan minat yang terus-menerus untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Dengan kata lain guru mempunyai tanggung jawab untuk selalu memotivasi siswa agar berhasil menyelasaikan tugas belajar mereka dengan baik.
Sehubungan dengan yang dikemukakan Rubin (1993), Depdiknas (2003) mengemukakan beberapa prinsip motivasi dalam belajar antara lain:
a. kebermaknaan;
b. pengetahuan dan keterampilan prasyarat;
c. model;
d. komunikasi terbuka;
e. keaslian dan tugas yang menantang, latihan yang tepat dan aktif;
f. kondisi dan konsekuensi yang menyenangkan;
g. keragaman pendekatan;
h. mengembangkan beberapa kempuan;
i. melibatkan sebanyak mungkin indra.

Eanes (1998) menyarankan berbagai kegiatan yang bisa memotivasi siswa membaca. Kegiatan yang dimaksud mencakup sebagai berikut:
a. Menekankan kebersamaan dan kebaruan (novelty).
b. Membuat isi pelajaran relevan dan bermakna melalui kontroversi.
c. Mengajar dengan fokus antarmata pelajaran.
d. Membantu siswa memprediksi dan melatih mereka membuat sendiri pertanyaan tentang bahan bacaan yang dibacanya.
e. Memberikan wewenang kepada siswa dengan memberikan pilihan-pilihan.
f. Memberikan pengalaman belajar yang sukses dan menyenangkan.
g. Memberikan umpan balik positif sesegera mungkin.
h. Memberikan kesempatan belajar mandiri.
i. Meningkatkan tingkat perhatian.
j. Meningkatkan keterlibatan siswa dalam belajar.

Lebih lanjut menurut Eanes (1998) bahwa kunci motivasi instrinsik sederhana, tetapi tidak mudah mendapatkannya. Cara yang paling penting untuk mendapatkan pengaruh positif pada sikap membaca dan belajar siswa ialah dengan memberikan model membaca yang menyenangkan dan memperlihatkan antusias guru dalam mengajar.

2. Minat
Minat adalah keinginan yang kuat disertai usaha-usaha seseorang untuk membaca. Orang yang mempunyai minat membaca yang kuat akan diwujudkannya dalam kesediaannya untuk mendapat bahan bacaan dan kemudian membacanya atas kesadarannya sendiri.

Frymeir mengidentifikasi tujuh faktor yang mempengaruhi perkembangan minat anak. Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut:
a. Pengalaman sebelumnya; siswa tidak akan mengembangkan minatnya terhadap sesuatu jika mereka belum pernah mengalaminya.
b. Konsepsinya tentang diri; siswa akan menolak informasi yang dirasa mengancamnya, sebaliknya siswa akan menerima jika informasi itu dipandang berguna dan membantu meningkatkan dirinya.
c. Nilai-nilai; minat siswa timbul jika sebuah mata pelajaran disajikan oleh orang yang beribawa.
d. Mata pelajaran yang bermakna; informasi yang mudah dipahami oleh anak akan menarik minat mereka.
e. Tingkat keterlibatan tekanan; jika siswa merasa dirinya mempunyai beberapa tingkat pilihan dan kurang tekanan, minat membaca mereka mungkin akan lebih tinggi.
f. Kekompleksitasan materi pelajaran; siswa yang lebih mampu secara intelektual dan fleksibel secara psikologis lebih tertarik kepada hal yang lebih kompleks.

3. Kematangan Sosio dan Emosi serta Penyesuaian diri

Menurut Dr. Farida Rahim, M. Ed (2007) ada tiga aspek kematangan emosi dan sosial, yaitu:
a. Stabilitas emosi,
b. Kepercayaan diri, dan
c. Kemampuan berpartisipasi dalam kelompok.
Seorang siswa harus mempunyai pengontrolan emosi pada tingkat tertentu. Anak-anak yang mudah marah, menangis, dan bereaksi secara berlebihan ketika mereka tidak mendapatkan sesuatu, atau menarik diri, atau mendongkol akan kesulitan dalam pelajaran membaca. Sebaliknya, anak-anak yang lebih mudah mengontrol emosinya, akan lebih muda pula memusatkan perhatiannya pada teks yang dibacanya. Pemusatan perhatian pada kemampuan siswa dalam memahami bacaan akan meningkat.

Percaya diri sangat dibutuhkan oleh siswa, bagi yang memiliki rasa kurang percaya diri tidak akan bisa mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik walaupun tugas tersebut sesuai dengan kemampuannya. Mereka sangat bergantung kepada orang lain sehingga bisa mengikuti kegiatan mandiri dan selalu meminta untuk diperhatikan guru.

Glazer dan Searfoss (1988) mengemukakan bahwa siswa perlu menghargai segi-segi positif dalam dirinya, sehingga mereka menjadi yakin, percaya diri, dan bisa melaksanakan tugas dengan baik. Sebaliknya, siswa yang mempunyai harga diri (self esteem) rendah, selalu takut berbuat salah, dia tidak akan berusaha untuk mencoba berulang kali menyelesaikan tugasnya sampai tuntas.

Untuk menyelesaikan tugas apa pun, siswa harus berusaha mencobanya walaupun gagal atau mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan salah satu bagian dari proses belajar. Siswa yang mempunyai harga diri dan percaya diri, akan mencoba dan mencoba lagi apabila mengalami kegagalan. Siswa yang merasa bahwa belajar adalah tanggung jawabnya sendiri akan memahami bahwa kegagalan adalah bagian proses belajar. Misalnya siswa yang lancar membaca memperlihatkan rasa percaya diri dan harga diri, mempunyai hasrat dan minat membaca, dan akan terus menerus menguasai keterampilan membaca dan menulis.

Terkait dengan pendapat Glazer dan Searfoss (1998), Harris dan Sipay (1980) mengemukakan bahwa siswa yang kurang mampu membaca merasakan bahwa dia tidak mempunyai kemampuan yang memadai, tidak hanya dalam pelajaran membaca, tetapi juga pelajaran yang lainnya. Dari sudut pandang ini, salah satu fungsi membaca adalah membantu siswa mengubah perasaannya tentang kemampuan belajar membacanya dan meningkatkan rasa harga dirinya (self esteem).

Program yang bertujuan untuk mencapai tujuan tersebut menurut Harris dan Sipay (1980) mempunyai empat aspek utama, yakni:
1. Pembaca yang lemah (poor reader) harus dibantu agar dia merasakan bahwa dia disukai, dihargai dan difahami.
2. Pengalamannya tentang keberhasilan mengerjakan tugas harus dirasakannya sebagai suatu kemampuan.
3. Anak-anak yang berusaha dengan semangat harus diberi dorongan untuk mencapainya dengan menggunakan bahan bacaan yang menarik.
4. Siswa bisa dilibatkan dalam menganalisis masalah yang mereka temui dalam membaca, kemudian merencanakan kegiatan-kegiatan membaca, dan menilai kemajuan membaca mereka.

C. TEORI-TEORI PSIKOLOGI BELAJAR BERKAITAN DENGAN PENINGKATAN KEMAHIRAN MEMBACA SISWA

Menurut Burden & Byrd (1999) perencaan bisa membantu guru melakukan hal-hal berikut:
a. Memberikan arah yang hendak dituju, rasa percaya diri, dan rasa aman;
b. Menyusun, mengurutkan, dan mengakrabi isi pelajaran;
c. Mengumpulkan dan mempersiapkan materi pengajaran, serta merencanakan berbagai media yang akan digunakan;
d. Menggunakan berbagai strategi dan kegiatan pengajaran;
e. Mempersiapkan diri untuk berinteraksi dengan siswa selama pengajaran;
f. Menggabungkan teknik memotivasi siswa belajar dalam setiap pelajaran;
g. Mempertimbangkan perbedaan setiap individu ketika memilih tujuan pembelajaran khusus (objective), isi pelajaran, strategi, materi pelajaran, dan persyaratan-persyaratan yang diperlukan;
i. Menjadi pembuat keputusan yang reflektif tentang kurikulum dan pengajaran;
j. Menyediakan guru-guru pembantu dan tim pengajar dengan suatu perencanaan khusus apabila guru kelas tidak hadir;
k. Memuaskan persyaratan administratif;
l. Menggunakan perencanaan tertulis sebagai sumber perencanaan berikutnya.

Perencanaan pembelajaran diawali dengan penyusunan silabus (Depdiknas, 2003). Silabus merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran, pengelolaan kelas, dan hasil belajar. Silabus berisikan komponen pokok, yaitu (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) indikator, (4) materi pokok, (5) pengalaman belajar, (6) alokasi waktu, (7) sumber belajar, dan (8) penilaian.

Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar, yaitu:

a. Teori belajar psikologi Behaviouristik
Teori belajar psikologi behaviouristik dikemukakan oleh para "contemporary behaviourists" atau juga disebut "S-R psychologists". Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi behavioral dengan stimulasinya.

Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat, bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.

b. Teori-teori belajar psikologi kognitif
Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh "reward" dan "reinforcement", tetapi tingkah laku seseorang didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh "insight" untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih daripada bagian-bagiannya. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.

c. Teori-teori belajar dari psikologis humanistis
Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi yang ada pada diri mereka (Hamachek, 1977).