KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Assalamu Alaikum dan Selamat Datang…!.

KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Jika ada yang merasa filenya tercopy paste atau materi tidak sesuai, saya dengan penuh hormat meminta maaf.

KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Silahkan Melihat-lihat barangkali saja ada yang menarik, hehehegg….

KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Anda sedang mencari tugas mengenai tugas tarbiyah? Mungkin ini bisa membantu….

KUMPULAN TUGAS TARBIYAH, BAHASA INGGRIS DAN FILE PRIBADI

Kritik dan saran bisa anda kirimkan ke https://plus.google.com/+MarconiKamal/posts atau fadilmarco@yahoo.com .

TAJWID & TILAWAH

1. PENGANTAR SINGKAT ILMU TAJWID

Dalam pengantar singkat ilmu tajwid ini, akan kita bahas beberapa hal antara lain : Pengertian Tajwid, Keutamaan Tajwid, Hukum Tajwid serta Objek Pembahasan Ilmu Tajwid.

a. Pengertian Tajwid & Ilmu Tajwid
Tajwid secara bahasa artinya at-tahsiin wal ijaadah : baik dan membaguskan. Secara Istilah Tajwid berarti :
Tajwid adalah : Memberikan setiap huruf hak-haknya dan susunannya, mengembalikan huruf pada makhrojnya dan asalnya, menghaluskan pelafalan pada kondisi yang sempurna, tanpa berlebihan dan pembebanan.

Sedangkan ilmu tajwid diartikan sebagai : ilmu yang menjelaskan hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang harus dijaga pada saat membaca Al-Quran, sesuai dengan apa yang dipraktekkan kaum muslimin, dari generasi ke generasi , dari Rasulullah SAW.

b. Keutamaan Tajwid
Allah SWt berfirman :
Artinya : Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (QS Az-Zumar 23)

Pada ayat di atas diisyaratkan bahwasanya Al-Quran idealnya dibaca dengan benar, baik agar bisa mempengaruhi hati mereka yang mendengarnya. Sebaliknya, jika al-quran dibaca dengan seenaknya, maka tidak akan berpengaruh apapun bagi hati yang mendengarnya.

Rasulullah SAW bersabda : " seorang yang pandai membaca Al-Quran akan bersama malaikat yang mulia, sedangkan yang membaca Quran dengan terbata-terbata dan kesusahan, maka baginya ada dua pahala " (HR Bukhori & Muslim)

c. Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Para ulama Tajwid bersepakat bahwa setiap muslim dituntut untuk mempelajari hukum-hukum tilawah, dan memperhatikannnya ketika sedang membaca al-quran. Sedangkan lalai dalam masalah ini – tanpa udzur syar'I yang bisa diterima- adalah berdosa.

d. Objek Pembahasan Ilmu Tajwid

Objek pembahasan dalam Ilmu Tajwid, secara garis besar meliputi :
• Hukum-hukum berkaitan dengan Nun ( Ahkamu an-Nuun)
• Hukum-hukum berkaitan dengan Hamzah ( ahkaamu alhamzah)
• Tata Cara Berhenti ( Kaifiyah Al-Waqf )
• Makhorijul Huruf ( Tempat Keluar Huruf)
• Sifat-sifat Huruf
• Ahkamul Mad ( Panjang Pendek Harokah)


2. KESALAHAN-KESALAHAN DALAM PRAKTEK TAJWID

Kesalahan dalam praktek tajwid , secara umum bisa dibagi menjadi dua bagian besar :
a. Kesalahan Al-Lahn ( Kekurangan dalam pelafalan /tanpa tajwid)
Kesalahan al-lahn dibagi menjadi dua bagian ;
• yang pertama adalah kesalahan Al-Jaliyy (yang Jelas) yaitu kesalahan pelafalan / tajwid yang diketahui oleh banyak orang awam secara umum. Misalnya adalah : salah dalam harokat ( I'rob), atau salah dalam tashrif.
• Yang kedua adalah kesalahan Al-Khofiyy (tersembunyi), yang tidak diketahui kecuali oleh mereka yang bergelut lama di ilmu tajwid atau pakar di bidang Qiro'at. Seperti dalam masalah makhorijul huruf dan sifat-sifatnya.

b. Berlebihan dalam Tajwid ( Mubalaghoh wa Ifrooth)
Berlebihan dalam pengucapan dan pelafalan Al-Quran juga sama bahayanya dengan meninggalkan tajwid. Berikut contoh-contoh kesalahan yang berhubungan dengan berlebihan dalam pengucapan al-Quran :
• At-Tar'iid : pembacaan al-quran dengan bergetar secara berlebihan, bagaikan orang yang menggigil kedinginan atau menahan sakit.
• At-Tarqish : berhenti dan diam pada tempat berhenti, untuk kemudian melanjutkan harokah dengan cepat seperti lari dari musuh atau terkejut.
• At-Tathriib : pembacaan seperti musik, khususnya memanjangkan secara berlebihan pada huruf mad
• At-Tahziin : membaca al-Quran dengan nada sedih yang berlebihan dan hampir-hampir menangis berlebihan
• At-Tardiid : pengulangan ayat terakhir yang dibaca seorang qori' oleh sekumpulan orang yang mendengarkannya.

3. KEUTAMAAN TILAWAH

Tilawah Al-Quran adalah ibadah sunnah yang mempunyai banyak keutamaan, diantaranya yang digambarkan dalam hadits sebagai :

a) Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda : " Tidak boleh hasad kecuali pada dua orang, yaitu seorang yang diberikan Allah harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam, dan seorang yang diberikan Allah al-quran, lalu ia membacanya siang dan malam " (HR Bukhori dan Muslim)
b) Dari Ibnu Mas'ud , Rasulullah SAW bersabda : " Barang siapa yang membaca satu huruf dai kitabullah maka baginya satu kebaikan, dan setiap satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipatnya " (HR Tirmidzi)
c) Dari Abu Umamah, Rasulullah SAW bersabda : " Bacalah Al-Quran , karena ia akan datang pada hari kiamat memberi syafaat bagi pembacanya " (HR Muslim)

4. ADAB TILAWAH

Dianjurkan bagi orang yang membaca Quran memperhatikan hal-hal berikut :
a) Hendaknya membaca Quran dalam keadaan berwudlu, karena ia termasuk dzikir yang paling utama, meskipun boleh membacanya bagi orang yang berhadast.
b) Membacanya hanya di tempat yang bersih dan suci, untuk menjaga keagungan Al-Quran.
c) Membacanya dengan khusyuk, tenang dan bersahaja.
d) Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai membaca.
e) Membaca taáwwuz (audzu billahi minasysyaitanir rajim) pada permulaannya, berdasarkan firman Allah SWT :
" dan jika engkau membaca Al-Quran maka berlindunglah kepada Allah dari syaitan yang terkutuk " (QS An-Nahl 98)
f) Membaca basmalah pada permulaan setiap surah, kecuali surah Al-Baraáh.
g) Membacanya dengan tartil yaitu dengan pelan dan terang serta memberikan setiap huruf haknya (betul makhrajul hurf dan tajwidnya), seperti panjangnya, idgamnya, dsb. Allah SWT berfirman :

" Dan bacalah Al-Quran secara tartil " (QS Muzammil 4)

Karena itulah dalam beberapa haditsnya, Rasulullah membatasi keinginan sahabat yang ingin mengkhatamkan Al-Quran dengan cepat. Dari Ibnu Umar, ia bertanya pada Rasulullah SAW : Ya Rasulullah, berapa lama aku seharusnya mengkhatamkan Al-Quran ? .Rasulullah menjawab : dalam satu bulan. Ia berkata : aku kuat kurang dari itu, maka terus saja Abu Musa minta lebih kurang dari itu, hingga Rasulullah SAW menjawab : bacalah dalam tujuh hari. Ia menjawab : aku kuat kurang dari itu . Maka Rasulullah SAW bersabda : " Tidak akan paham (Al-Quran), orang yang mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari " ( HR Abu Daud)

h) Memikirkan dan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Sesuai perintah Allah dalam firmannya :
"Apakah mereka tidak mentadabburi al-Quran ataukah pada hati mereka ada gembok-gemboknya ? " (QS Muhammad 24)
i) Meresapi makna dan maksud ayat-ayat Quran yang berhubungan dengan janji dan ancaman.
j) Membaguskan suara karena itu akan lebih berasa di hati . Rasulullah SAW bersabda : Hiasilah Al-Quran dengan suaramu (HR Ibnu Hibban )
k) Mengeraskan bacaan jika dianggap lebih baik dan tidak menimbulkan riya.

Qiraat & Qurro'

1. PENGERTIAN QIROAT

Al-Qira'aat adalah jamak dari kata qiro'ah yang berasal dari qara'a - yaqra'u - qirâ'atan. Menurut istilah qira'at ialah salah satu aliran dalam pelafalan/pengucapan Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qura' yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Qur'anul Karim. Qira'at ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.

2. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU QIRO'AT

Para sahabat mempelajari cara pengucapan Al-Quran langsung dari Rasulullah SAW, bahkan beberapa dari 'secara resmi' direkomendasikan oleh Rasulullah SAW sebagai rujukan sahabat lainnya dalam pengucapan Al-Quran.
• Dari Abdullah bin Amr bin Ash, Rasulullah SAW bersabda : " Ambillah (belajarlah) Al-Quran dari empat orang : Abdullah bin Mas'ud, Salim, Muadz, dan Ubai bin Ka'b " (HR Bukhori)
• Rasulullah SAW juga bersabda : " Barang siapa yang ingin membaca Al-Quran benar-benar sebagaimana ia diturunkan, maka hendaklah membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas'ud)
Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Ubay bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Ibnu Mas'ud, dan Abu Musa al-Asy'ary. Dari mereka inilah kebanyakan para sahabat dan tabi'in di seluruh daerah belajar. Kemudian para tabi'in tersebut menyebar di kota-kota besar pemerintahan Islam, diantaranya adalah :
a) Madinah : Ibnu Musayyib, Urwah, Salim, dan Umar bin Abdul Aziz
b) Mekah : Ubaid bin Umair, Atho' bin Abi Robah, Thowus, Mujahid, Ikrimah
c) Kufah : ilqimah, al-aswad, masruq, ubaidah, dll
d) Bashroh : abu aliyah, abu roja', qotadah, ibnu siirin
e) Syam : al-mughiroh, shohib utsman, dll

Kemudian pada masa tabi'in awal abad 1 Hijriyah, beberapa kelompok mulai sungguh-sungguh menata tata baca dan pengucapan al-Quran hingga menjadi ilmu tersendiri sebagaimana ilmu-ilmu syariah lainnya. Kemudian muncul pula madrasah-madrasah qiro'ah yang mempelajai ilmu tersebut, yang akhirnya memunculkan keberadaan para qurro', yang hingga hari ini qiroat qur'an banyak disandarkan kepada mereka, khususnya imam qurro yang tujuh.

3. RAGAM QIRO'AT & HUKUM-HUKUMNYA

Sebenarnya Imam atau guru Qiraat itu jumlahnya banyak hanya sekarang yang populer adalah tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang shahih dan memenuhi syarat-syarat disebut qiroaat yang shoih. Syarat tersebut antara lain :


1) Muwafawoh bil Arobiyah ( sesuai dengan bahasa arab)
2) Muwafaqoh bi ahad rosm utsmani ( sesuai dengan salah satu penulisan mushaf Utsmani)
3) Shihhatus Sanad ( bersandarkan dari sanad atau riwayat yang shohih / kuat)

Dengan ketentuan-ketentuan di atas, kemudian para ulama membagi qiro'at menjadi beberapa jenis dilihat dari layak tidaknya untuk diikuti :

1) Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta , dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah Saw. Juga sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam Ustmani
2) Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam Ustmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. qiraat macam ini dapat digunakan.
3) Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasam Ustmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal. Qiraat macam ini tidak dapat diamalkan bacaanya.
4) Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya.
5) Ma'udu, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6) Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran (penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat Quran)

Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.

4. QARI TUJUH YANG MASYHUR

Para Qari yang hafal Al-Qur'an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya, dan menyampaikan qira'at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW. Qira'at yang mutawatir semuanya kita kutip dari para qari yang hafal Al-Qur'an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya.
Mereka ialah imam-imam qira'at yang masyhur yang meyampaikan qira'at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang kitabullah Al-Qur'an sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya".

Berikut sekilas tentang profil mereka :

1) Ibnu 'Amir (118 H)
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi'in, belajar qira'at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam

2) Ibnu Katsir (120 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira'at di Makkah, ia adalah seorang tabi'in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.

3) 'Ashim al-Kufy (128 H)
Nama lengkapnya adalah 'Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi'in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu'bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.

4) Abu Amr (154 H)
Nama lengkapnya adalah Abu 'Amr Zabban ibnul 'Ala' ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
.
5) Hamzah al-Kufy (156 H)
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu 'Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba 'Ikrimah ibnu Rabi' at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu 'Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja'far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.

6) Imam Nafi. (169 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi' ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na'im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi' berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.

7) Al-Kisaiy (189 H)
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H.
Syathiby mengatakan: "Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian ihramnya, Laits Abul Haris perawinya, Hafsah ad-Dury hilang tuturnya.

5. HIKMAH PERBEDAAN DALAM QIROAH SAB'AH

Dalam perbedaan di antara qiroah-qiroah yang shahih, kita dapatkan hikmah sebagai berikut :

1) Bukti yang jelas tentang keterjagaan Al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, meskipun mempunyai banyak qiroat tetapi tetap terpelihara.
2) Keringanan bagi umat serta kemudahan dalam membacanya.
3) Membuktikan kemukjizatan Al-Quran, karena dalam qiroat yang berbeda ternyata bisa memunculkan istinbat jenis hukum yang berbeda pula.
Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam Al-Maidah ayat 6, yang juga bisa dibaca dalam qiroah lain dengan "wa arjulikum ". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki dalam khuf atau sejenis sepatu.
4) Qiroat yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qiroat lain yang masih belum jelas maknanya.
Contoh masalah ini : dalam surat Jumat ayat 9, lafal " Fas'au ", asli katanya berarti berjalanlah dengan cepat, tetapi ini kemudian diterangkan dengan qiroat lain : " famdhou" yang berarti pergilah , bukan larilah.

Turunnya Al-Quran Dengan 7 Huruf

1. PENGANTAR TUJUH HURUF DALAM AL-QURAN

Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah (dialek) yang timbul dari fitrah mereka dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensip dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama sendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah lain.
Namun kaum quraisy mempunyai faktor-faktor yang menyebabkan bahasa mereka lebih unggul daiantara cabang-cabang bahasa arab lainnya. Yang antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jema'ah haji, memakmurkan masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, semua suku bangsa arab menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa induk bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya karak teristik-karakteristik tersebut. Dengan demikian wajarlah jika Qur'an diturunkan dalam logat quraisy, kepada Rasullah yang quraisy pula untuk mempersatukan bangsa arab dan mewujudkan kemukjizatan Qur'an ketika mereka gagal mendatangkan satu surah yang seperti Qur'an.
Apa bila orang arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan perbedaan tertentu, maka Qur'an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad , menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan diantara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca , menghafal dan memahaminya.

2. RIWAYAT / DALIL DITURUNKANNYA AL-QURAN DENGAN TUJUH HURUF

Nash-nash sunah cukup banyak mengemukakan hadis mengenai turunnya Qur'an dengan tujuh huruf. Diantaranya :
a. Dari Ibn Abbas, ia berkata : "Rasulullah berkata: 'Jibril membacakan (Qur'an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan iapun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf." (HR Bukhori Muslim)
b. Dari Ubai bin Ka'ab: "Ketika Nabi berada didekat parit Bani Ghafar, ia didatangi jibril seraya berkata: 'Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur'an kepada umatmu dengan sau huruf,' ia menjawab : 'Aku mohon kepada Allah ampunan dan meghfirah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu,' kemudian jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata : 'Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur'an kepada umatmu dengan dua huruf,' Nabi menjawab : 'Aku memohon kan kepada Allah ampunan dan maghfirahNya umatku tidak kuat melaksanakannya.' Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : 'Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur'an kepada umatmu dengan tiga huruf,' jawab Nabi : 'Aku memohon kepada Allah ampunan dan MaghfirhNya, sebab umatku tidak kuat melaksanakannya.' Kemudian jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya seraya berkata : ' Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur'an kepada umatmu dengan tujuh huruf,' dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar."' ( HR Muslim)
Catatan : Hadis-hadis yang berkenaan dengan hal diatas amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir didalam pengantar tafsirnya. As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu 'Ubaid al Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Qur'an dengan tujuh huruf.

3. PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG PENGERTIAN TUJUH HURUF

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. hingga Ibn Hayyan mengatakan : 'Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat." namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Disini kami akan kemukakan beberapa pendapat diantaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.

Pendapat Pertama : bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna;

Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur'an pun diturunkan dengan sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Qur'an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja. Ini adalah pendapat sebagian besar ulama.

Pendapat Kedua : bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan nama Qur'an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur'an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi.
Yaitu bahasa paling fasih diantara kalangan bangsa arab. Meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin , Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Qur'an mencakup ketujuh macam bahasa tersebut.
Catatan : Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran diberbagai surah Qur'an. Bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.

Pendapat Ketiga : bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah (bentuk/tema), yang meliputi : amr (perintah), nahyu (larangan), wa'd (janji), wa'id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita), dan masal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram ,muhkam, mutasyabih dan amsal.

Pendapat Keempat : Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah : tujuh macam hal yang diantaranya terjadi ihtilaf (perbedaan) dalam tata bahasa.
Tujuh ikhtilaf dalam tata bahasa tersebut meliputi :
1) Ikhtilaful asma'(perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya, seperti tasniyah, jamak dan ta'nis.
2) Perbedaan dalam segi I'rab (harakat akhir kata),
3) Perbedaan dalam tasrif,
4) Perbedaan dalam taqdhim (mendahulukan) dan takhir (mengakhirkan) ,
5) Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf, maupun penggantian pada sedikit perbedaan mahraj atau tempat keluar huruf.
6) Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan. Ihtilaf dengan penambahan (ziyadah) misalnya firman Allah: "Wa 'aaddalahum jannatin tajri tahtahal anhar" (at Taubah:100) yang dibaca juga "Min tahtihal anhar" dengan tambahan "Min" , keduanya merupakan qiraat yang mutawatir.
7) Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan tarqiq (menipiskan), fatah dan imalah , idzhar dan idgham, hamzah dan tashil, isyman dll.

Pendapat Kelima : bahwa yang dimaksud bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah (maksudnya bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab.
Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur'an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab lafaz sab'ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan , seperti kata tujuh puluh' dalam bilangan bilangan puluhan, dan 'tujuh ratus' dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.

Pendapat Keenam : Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
Pendapat ini dapat dijawab bahwa Qur'an itu bukanlah qiraat. Qur'an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedang qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafal-lafal wahyu tersebut, seperti meringankan (takhfif), memberatkan (tasqil) membaca panjang dan sebagainya.
Nampaknya apa yang menyebabkan mereka terperosok kedalam kesalahan ini ialah adanya kesamaan "bilangan tujuh" (dalam hadis ini dengan qiraat yang populer), sehingga permasalahannya menjadi kabur bagi mereka;

Catatan :Setelah menganalisa beberapa pendapat di atas Mannaul Qathan mengatakan : " Dengan demikian , jelaslah bahwa pendapat pertama yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa orang arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai dengan zahir nas-nas dan didukung oleh bukti-bukti yang sahih. "

4. HIKMAH TURUNNYA QUR'AN DENGAN TUJUH HURUF

Hikmah turunnya al-Quran dalam tujuh huruf dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal syari'at, apa lagi mentradisikannya.
2) Bukti kemukjizatan Qur'an bagi naluri atau watak dasar kebahasan orang arab. Qur'an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang arab, sehingga setiap orang arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Qur'an sebagai mukjizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri.
3) Kemukjizatan Qur'an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan dari padanya bebagai hukum. Hal inilah yang mentebabkan Qur'an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.

Pengumpulan dan Penertiban Al-Quran

1. PENGERTIAN JAM'UL QUR'AN / PENGUMPULAN AL-QURAN

Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur'an ( Jam'ul Qur'an ) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut :

Pertama : Pengumpulan dalam arti menghafalkan Hifdzuhu ( menghafalkannya dalam hati).

Jumma'ul Quran artinya huffazuhu ( penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya didalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur'an ketika itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalkannya:
"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk Al Qur'an karena hendak cepat-cepat nya . Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya." (al-Qiyamah:16-19 ).

Kedua : Pengumpulan dalam arti kitabatuhu ( penulisan Qur'an)

Yaitu menuliskannyan baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.

2. PENGUMPULAN QUR'AN DALAM PADA MASA NABI

Realitas penghimpunan Al-Quran pada masa nabi dapat dijelaskan dengan point-point sebagai berikut :

a. Pengumpulan Al-Quran dalam Penghafalan di masa Nabi.

Para sahabat telah dikenal dengan kecintaan mereka dan semangat mereka dalam menghafal Al-Quran. Dalam kitab sahihnya Bukhari telah mengemukakan adanya tujuh huffadzh di masa sahabat, melalui tiga riwayat. Mereka adalah:

? Abdullah bin Mas'ud,
? Salim bin Ma'qal bekas budak Abu Huzaifah,
? Muaz bin Jabal,
? Ubai bin Kaab,
? Zaid bin Sabit,
? Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda'.

Penyebutan para hafiz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Qur'an dan mereka memerintahkan anak-anak dan ister-isteri mereka untuk menghafalkannya.

b. Pengumpulan Qur'an dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi

Beberapa penjelasan terkait penulisan al-Quran dimasa nabi adalah sebagai berikut :

1) Rasulullah meminta beberapa sahabat untuk menuliskan wahyu
Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur'an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, 'Ubai bin K'ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati.

2) Beberapa sahabat berinisiatif menuliskan secara sendiri-sendiri.
Sebagian sahabat menuliskan Qur'an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit mengatakan : " Kami menyusun Qur'an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang "

3) Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur'an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan,

Tulisan-tulisan Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf ; yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Rasulullah berpulang kerahmatullah disaat Qur'an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas; ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi Qur'an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap).

KENAPA AL-QUR'AN TIDAK DIBUKUKAN DALAM SATU MUSHHAF (PADA MASA NABI) ?

Ada beberapa jawaban yang bisa menjelaskan pertanyaan diatas, diantaranya sebagai berikut, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Ali Ash-Shobuni dalam At-Tibyan fii Ulumul Qur'annya.

1) Al-Qur'an diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum secara keseluruhannya selesai.
2) Sebagian ayat ada yang dimansukh. Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bisa dibukukan datam satu buku.
3) Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
4) Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat.Kemudian Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masanya sangat relatif singkat, yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.
5) Belum ada motifasi/ alasan yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam ada dalam keadaan baik, ahli baca qur'an begitu banyak, fitnah-fitnah dapat diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar dimana gejala-gejala telah ada; banyaknya yang gugur, sehingga khawatir kalau Al-Qur'an akan lenyap.

3. PENGUMPULAN QUR'AN PADA MASA ABU BAKAR

a. Latar Belakang Pengumpulan Quran :
Abu Bakar menjalankan pemerintahan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur'an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur'an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qarri'.
Disegi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain akan membunuh banyak qari' pula sehingga Qur'an akan hilang dan musnah, Abu Bakar menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut

b. Pemilihan Zaid bin Tsabit
Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat beberapa hal :
? kedudukannya dalam qiraat dan penulisan al-quran
? pemahaman dan kecerdasannya,
? serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali.

Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur'an itu. Zaid bin Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran ( kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan Hafsah putri Umar. Pada permulaan kekalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan Hafsah.

c. Metode Zaid bin Tsabit & Ketelitiannya dalam Pengumpulan Al-Quran

Dalam usaha pengumpulan Al-Qur'an Zaid bin Tsabit telah mengambil langkah yang tepat, teliti dan mantap. Langkah tersebut adalah suatu jaminan (yang pantas) dalam penulisan Al-Qur'an dengan mantap dan penuh ketelitian.
Zaid bin Tsabit tidak menganggap cukup menurut yang dihafal dalam hati dan yang ditulis dengan tangannya serta hasil pendengaran, tetapi ia bertitik-tolak pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber:
1) Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat; dan
2) Sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.

Dua hal tersebut yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena sangat bersungguh-sungguh dan berhati-hatinya ia tidak menerima data berupa tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan tersebut ditulis di hadapan Rasulullah SAW.
Hal ini dikemukakan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleb Abu Daud dalam kitab sunnahnya; dimana ia berkata: Umar datang seraya mengatakan: "Siapa yang menerima Al-Qur'an dari Rasulullah SAW maka cobalah datangkan, mereka menulisnya dalam lembaran-lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma".
Sekalipun demikian ia (Umar) tidak mau menerimanya begitu saja sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Hadits ini didukung pula oleh hadits lain yang juga diriwayatkan oleb Abu Daud; bahwa Abu Bakar mengatakan kepada Umar dan Zaid: "Duduklah anda berdua di pintu masjid. Bila ada orang yang mendatangimu perihal Al-Qur'an (Kitabullah) dengan membawa dua orang saksi, maka tulislah!"
Ibnu Hajar mengatakan: "Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah hafalan dan tulisan, sedangkan as-Sakhawy mengatakan bahwa yang dimaksud, adalah mereka berdua menyaksikan tulisan tersebut di hadapan Rasulullah SAW itu karena benar-benarnya usaha pemantapan, ketelitian dan kesungguhan yang digariskan oleb Abu Bakar Shiddiq kepada Zaid bin Tsabit.

d. Beberapa Keistimewaan Mushaf Abu Bakar

Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushhaf pada masa Abu Bakar memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting:

1) Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2) Yang tercatat dalam mushhaf banyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
3) Ijma' ummat terhadap mushhaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur'an.
4) Mushhaf mencakup huruf sab'ah (tujuh huruf) yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.

Keistimewaan-keistimewaan tersebut membuat para sahabat kagum dan terpesona terhadap usaha Abu Bakar, dimana ia memelihara Al-Qur'an dari bahaya kemusnahan, dan itu berkat taufiq serta hidayah dari Allah Azza wa Jalla.Ali berkata: "Orang yang paling berjasa dalam hal Al-Qur'an ialah Abu Bakar r.a. ia adalah orang yang pertama mengumpulkan Al-Qur'an/Kitabullah.

4. PENGUMPULAN QUR'AN PADA MASA USMAN
a. Latar Belakang Pengumpulan
Penyebaran Islam bertambah dan para Qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira'at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur'an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan 'huruf ' yang dengannya Qur'an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Sebagian mereka menganggapnya wahar, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Quran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.

b. Metode Pengumpulan Al-Quran masa Utsman
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman memmanggil :
? Zaid bin Sabit al-Ansari,
? Abdullah bin Zubair,
? Said bin 'As, dan
? Abdurrahman bin Haris bin Hisyam.

Ketiga orang terkahir ini adalah orang quraisy, lalu Ustman memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam bahasa quraisy, karena Qur'an turun dengan logat mereka.
Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur'an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap wilayah yaitu masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk dimadinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama "mushaf Imam". Kemudian ia memerintahkan untuk membakar mushaf yang selain itu. Umatpun menerima perintah dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditingalkan.

c. Permasalahan seputar penyatuan huruf al-quran dalam Mushaf Ustman

Utsman ra memutuskan untuk menghilangkan enam huruf yang lain. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori keringanan (rukhsoh).

Apa bila sebagian orang lemah pengetahuan berkata : Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu ? maka Jawabnya ialah : 'Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, bertianya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur'an dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.




PERBEDAAN ANTARA PENGUMPULAN ABU BAKAR DENGAN USMAN

Dari teks-teks diatas jelaslah bahwa pengumpulan (mushaf oleh) Abu Bakar berbeda dengan pengumpulam yang dilakukan Usman dalam motif dan caranya. Diantaranya sebagai berikut :
1) Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur'an karena banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para qari. Sedang motif Usman dalam mengumpulkan Qur'an ialah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur'an yang disaksikannnya sendiri didaerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang lain.

2) Pengumpulan Qur'an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau catatan Qur'an yang semula bertebaran dikulit-kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur'an itu diturunkan.
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Usman adalah menyalinnya menjadi satu huruf diantar ketujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya.

5. PENYUSUNAN TERTIB AYAT & SURAT

a. Penyusunan Tertib Ayat

Qur'an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Qur'an. Surah ialah sejumlah ayat Qur'an yang mempunyai permulaan dan kesudahan, tertib atau urutan ayat-ayat Qur'an ini adalah tauqifi, ketentuan dariRasulullah, sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma' diantaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja'far Ibnuz Zubeir dalam munasabahnya.
Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
? Usman bin 'Abil 'As berkata: "Aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba panadangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya 'Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini ditempat anu dari surah ini : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat…..(an-Nahl: 90)
? Terdapat sejumlah hadis yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadis-hadis tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Darda' dalam hadis marfu' : "Barang siapa hafal sepuluh ayat dari awal surah kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal." Dan dalam redaksi lain dikatakan: "Barang siapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surah kahfi…"
? Disamping itu terima pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam salat atau dalam khutbah jumat, seperti surah Baqarah, Ali imran dan Annisa'. Juga hadis sahih mengatakan bahwa Rasulullah membaca surah A'raf dalam salat maghrib dan dalam salat subuh hari jum'at membaca surah Alif Lam Mim, Tanzilul Kitabi La Raibafihi" (as-Sajdah) dan Hal Ata Alal Insani (ad-Dahr) juga membaca surah Qaf pada waktu Kutbah. Surah Jumu'ah dan surah Munafikun dalam salat jum'at.
? Jibril selalu mengulangi dan memeriksa Qur'an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikan tertib ayat-ayat Qur'an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar diantara kita adalah tauqifi. Tanpa diragukan lagi.

b. Penyusunan Tertib Surah

Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Qur'an, sebagai berikut :

Pertama : Bahwa susunan surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan jibril kepadanya atas perintah Tuhan.

Dengan demikian, Qur'an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya. Seperti yang ada ditangan kita sekarang ini. Yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma') atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa pun.

Kedua : Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib didalam mushaf-mushaf mereka.

Misalnya : mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra', kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil, dst hingga akhir surah Makki dan madani.Dalam mushaf Ibn Masu'd yang pertama ditulis adaslah surah Baqarah, Nisa' dan Ali-'Imran. Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah, Niasa' dan Ali-Imran.

Ketiga : Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi.

Mannaul Qatthan menyatakan : Apa bila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai terib mushaf mereka yang khusus, merupakan ihtiyar mereka sebelum Qur'an dikumpulkan secara terib. Ketika pada masa Usman Qur'an dikumpulkan , ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada suatu huruf ( logat) dan umatpun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad , tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.

Sementara itu, pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertin ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu pula yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.

Dengan demikian bahwa tertib surah itu bersifat tauqifi seperti halnya tertib ayat-ayat. Wallahu a'lam.

Asbabun Nuzul

1. PERHATIAN PARA ULAMA TERHADAP ASBABUN NUZUL

Para peneliti ilmu-ilmu Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang Asbabun Nuzul. Untuk menafsirkan Qur’an ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri mengenai pembahasan dalam bidang itu. Yang terkenal diantaranya ialah :
• Ali bin Madini, Guru Bukhari,
• Abul Hasan Ali al-Wahidi (427 H) dalam kitabnya Asbabun Nuzul,
• Burhanuddin al-Ja’bari (732 H) yang meringkaskan kitab al-Wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu.
• Syaikhul Islam Ibn Hajar al-Atsqolani ( 852 H) yang mengarang satu kitab mengenai Asbabun Nuzul.
• Jalaluddin As-Suyuti ( 911 H) yang mengatakan tentang dirinya : ` Dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum aad satu kitab pun menyamainya. Kitab itu aku namakan Lubabul Manqul fi Asbabin Nuzul.

2. PEDOMAN MENGETAHUI ASBABUN NUZUL

Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat ( ra’y ), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah).

Al- Wahidi mengatakan : ` Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar secara langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sunggguh dalam mencarinya.` Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas.

Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah:

1) Riwayat-ucapan ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asababun nuzul.
2) As- Suyuti berpendapat : bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti mujahid, Ikrimah dan Said bin Jubair, serta didukung oleh hadis mursal yang lain.

3. DEFINISI ASBABUN NUZUL

Setelah diteliti sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:

Pertama : Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu.

Contoh dalam hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan :
" Ketika turun, ayat : dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat (QS Hijr 94), nabi pergi dan naik ke bukit safa , lalu berseru : ` Wahai kaumku !". maka mereka berkumpul mendekat ke nabi. Ia berkata lagi : ` bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung itu ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa yang aku katakan ? Mereka menjawab : : kami belum pernah melihat engkau berdusta.` Dan nabi melanjutkan: ‘aku memperingatkanmu tentang siksa yang pedih,’ ketika itu Abu Lahab berkata : `celakalah engkau; apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini ?’Lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini :
Artinya : " celakalah kedua tangan Abu lahab…..(Surat Al-Masad)

Kedua : Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Quran menerangkan tentang hukumnya.

Contoh hal ini seperti ketika Khaulah binti Sa’labah dikenakan Zihar oleh suaminya Aus bin Samit.lalu ia datang kepada Rasulullah SAW mengadukan hal itu.
Aisyah berkata : ‘Maha suci Allah yang pendengarannya meliputi segalanya` aku menden gar ucapan Khaulah binti Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya, ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW , katanya : Rasulullah SAW suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua, dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepdaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu`
Aisyah berkata : ` tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini :
Artinya : Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya ( yakni aus bin samit).`(QS Mujadalah )

Catatan : Tidak setiap ayat Quran diturunkan karena adanya timbul suatu peristiwa dan kejadian yang mendahuluinya, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat Qur’an diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.

4. PERLUNYA MENGETAHUI ASBABUN NUZUL

Pengetahuan mengenai asbabun nuzul mempunyai banyak faedah yang terpenting diantaranya :

1) Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syariat terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa sebagai bentuk rahmat terhadap umat. Ini karena setiap peristiwa penting ternyata mendapat jawaban dari al-Quran.

2) Mengkhususkan ( membatasi ) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi. Bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat bahwa ` yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafal yang umum.`
Sebagai contoh dapat dikemukakan disini firman Allah :
Artinya : Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.` (al-Imran : 188 ).

Ada beberapa sahabat yang khawatir dengan penjelasan ayat diatas lalu menanyakan pada Ibnu Abbas : sekiranya setiap orang diantar kita yang bergembira dengan apa yang telah dikerjakn dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakannya iti akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa.` Ibn Abbas menjawab : ` mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini ? ayat ini turun berkenan dengan ahli kitab.` Kemudian ia membaca ayat sebelumnya yang berkaitan dengan ahli kitab.

3) Apa bila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum ('aam) dan terdapat dalil pengkhususannya maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab.

Contoh yang demikian digambarkan dalam dua firman-Nya:

Pertama : Bahwa orang yang menuduh wanita baik-baik berzina tidak akan diampuni

Allah SWT berfirman : `Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari , lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan .( an-Nur : 23-25 ).

Kedua : Bahwa orang yang menuduh wanita baik-baik berzina, masih bisa diampuni

Allah SWT berfirman : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An-Nuur 4-5)

Sekilas ada pertentangan dari dua ayat di atas, yaitu orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina dikatakan tidak akan diampuni dalam ayat yang pertama, dan masih bisa diampuni pada ayat kedua. Maka Ibnu Abbas memberitahukan asbabun nazal ayat yang pertama : bahwa ayat tersebut turun dalam masalah Aisyah dalam peristiwa Haditsul ifk. Maka mereka yang menuduh Aisyah ra berzina tidak akan diampuni dunia akhirat, sementara ayat kedua hukumnya masih berlaku umum, bahwa mereka yang menuduh wanita baik-baik (secara umum) , masih mempunyai kemungkinan taubat dan diampuni. Wallahu a'lam.
4) Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Al-Quran Al-Karim menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.

Contoh dalam masalah ini adalah ayat:
Artinya : `Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi`ar Allah . Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. ( al-Baqarah : 158 ).

Lafal ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa’i itu wajib, sebab ketiadaan dosa untuk mengerjakan hal itu menunjukkan `kebolehan` dan bukannya ` kewajiban` sebagian ulama juga berpendapat demikian, karena berpegang kepada arti tekstual ayat itu.
Padahal hukum sebenarnya dari sa'I adalah wajib, bukan sekedar boleh. Lafal ayat di atas turun karena para sahabat awalnya merasa keberatan bersa’i antara safa dan marwa karena perbuatan itu berasal dari perbuatan jahiliyah. Mereka takut itu masuk pada perbuatan dosa, karenanya Al-Quran turun dengan lafad "tidak ada dosa", untuk menjelaskan tentang bahwa sa'I bukan seperti apa yang mereka takutkan/khawatirkan.Jadi bukan untuk menjelaskan bahwa hukum sa'I itu 'boleh', karena sa'I adalah wajib.

5) Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.

Contoh adalah : Bahwa ketika Marwan meminta agar Yazid di baiat, ia berkata: ‘( pembaiatan ini adalah ) tradisi Abu Bakar dan Umar.’ Abdurrahman menolak dan menentang seraya mengatakan : ‘Tradisi Hercules dan kaisar’. Maka kata Marwan ; Inilah orang yang dikatakan Allah dalam Qur’an :
Artinya : Dan orang yang berkata kepada ibu bapaknya: cis bagi kamu berdua….(Al-Ahqof 17)

Maksudnya adalah Marwan menuduh Abdurrahman durhakan dengan menyandarkan pada ayat di atas. Kemudian perkataan Marwan yang demikian itu sampai kepada Aisyah, maka kata Aisyah: ‘Marwan telah berdusta.demi Allah, maksud ayat itu tidaklah demikian, sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa ayat itu turun, tentulah aku sudah menyebutkannya.`

5. BEBERAPA PERMASALAHAN SEPUTAR ASBABUN NUZUL

Dalam pembahasan tentang asbabun nuzul, ada juga permasalahan-permasahan lain yang berkaitan dengannya, yang masing-masing mempunyai bahasannya secara khusus, misalnya :

? Pembahasan Kaidah : Al-Ibroh bi umumi al-lafdhi Laa bi khususi as-sababi ( Yang Menjadi Pegangan Adalah Lafal yang Umum, Bukan Sebab yang Khusus )
? Pembahasan seputar redaksi periwayatan asbabun nuzul
? Pembahasan seputar banyaknya riwayat dalam asbabun nuzul sebuah ayat
? Pembahasan seputar banyaknya ayat yang turun dengan satu sebab yang sama
? Pembahasan seputar beberapa ayat yang turun pada seorang yang sama.
Catatan : Karena waktu yang terbatas dan untuk memudahkan santri, maka untuk pembahasan asbabun nuzul ini yang kita bahas dalam perkuliahan (dirosah) adalah yang berkaitan dengan kaidah : Al-Ibroh bi umumi al-lafdhi Laa bi khususi as-sababi ( Yang Menjadi Pegangan Adalah Lafal yang Umum, Bukan Sebab yang Khusus ). Sehingga diharapkan mahasiswa/santri bisa memperdalam pembahasan lainnya di buku-buku Ulumul Quran yang ada.

KAIDAH : AL-IBROH BI UMUMI AL-LAFDHI LAA BI KHUSUSI AS-SABAB
( YANG MENJADI PEGANGAN ADALAH LAFAL YANG UMUM, BUKAN SEBAB YANG KHUSUS ).


Pertama kali, mari kita membedakan antara dua hal, yaitu antara LAFADZ ayat dan SEBAB turunnya ayat. Begitu pula kita perlu membedakan dengan UMUM dan KHUSUS, yang disebut "umum" dalam pembahasan ini adalah ('aam) yaitu yang mencakup seluruh manusia atau kaum muslimin, sedangkan "khusus" yang berkaitan dengan person-person tertentu dan terbatas.
Karenanya, dalam kaitan antara LAFAL ayat dan SEBAB turunnya ayat, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi yang masih-masing mempunyai konsekwensi atau hukumnya masing-masing. Tiga kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama : Apa bila lafal ayat bersifat umum dan sebab turunnya pun secara umum. Maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat tersebut bersifat UMUM

Contoh dalam masalah ini adalah seperti firman Allah SWT :
Artinya : `Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . ..`( al-Baqarah : 222 )

Lafadz " al-mahiid" di atas bersifat umum yang berarti semua wanita yang haid, begitu pula sebab turunnya ayat itu bersifat umum, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik : bahwa orang-orang Yahudi pada waktu itu, ketika istri-istri mereka sedang haidh mereka mengusirnya dari rumah, dan tidak memberi mereka makan minum dan tidak berhubungan badan dengan mereka. Maka Rasulullah pun ditanya masalah ini. Maka turunlah ayat di atas, dan Rasulullah SAW bersabda : " Lakukan apa saja selain jimak " .
Jadi peristiswa atau pertanyaan dari sahabat kepada Rasul bersifat umum, mereka menanyakan secara umum tentang bergaul dengan istri-istri mereka yang haid secara umum, bukan satu dua perempuan atau istri mereka secara khusus. Karenanya, hukum ini juga berlaku umum bagi semua wanita haid.

Kedua : Apabila lafal ayat bersifat khusus dan sebab turunnya pun khusus pada perseorangan tertentu, maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat tersebut bersifat KHUSUS

Contoh dalam hal ini adalah firman Allah SWT:
Artinya : `Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu ni`mat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha TInggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.` ( al-Lail : 17-21 )

Ayat-ayat diatas diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata al-atqa ( orang yang paling taqwa ) menurut tasyrif terbentuk af’al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah ( kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya ), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Jadi secara lafal memang khusus dan sebabnya adalah khusus, karena itu ayat ini harus ditafsiri khusus tentang Abu Bakar As-Shiddiq, bukan umum kepada kaum muslimin.

Ketiga : Jika sebab ayat itu adalah hal khusus berkaitan dengan orang tertentu, sedang lafal ayat yang turun berbentuk umum.

Dalam kasus inilah, kaidah diatas menjadi perdebatan di antara ulama ushul, apakah yang dijadikan pegangan adalah "lafal yang umum" ataukah "sebab yang khusus" . Berikut masing-masing pendapat dan dalil-dalinya.

1) Jumhur ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus, sehingga hukum/pelajaran yang diambil adalah umum berlaku pada semua orang.

Misalnya : ayat Li’an (prosesi sumpah antara suami istri untuk menolak dari tuduhan zina) yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umaah kepada isterinya : `

Dari Ibn Abbas, Hilal bin Umayah menuduh isterinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma dihadapan Nabi.
Maka Nabi berkata : ‘ Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’
Hilal berkata : ‘Wahai Rasulullah , apa bila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi isterinya; apakah ia harus mencari bukti `.
Rasulullah menjawab : ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu akan yang didera.’
Hilal berkata :Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnya perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.’

Maka turunlah Jibril as dan menurunkan kepada Nabi ayat :
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS Nuur 6-9)
Hukum yang diambil dari lafal yang umum ini : " walladzi yarmuuna azwajahum" ( dan orang-orang yang menuduh isterinya ) tidak hanya khusus mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula pada kasus yang serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Inilah pendapat yang kuat dan paling sahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman ( universalitas ) hukum-hukum syariat.

Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu berbeda-beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer dikalangan ahli.

2) Segolongan ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum, karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.

Ayat Al-qur'an yang pertama dan terakhir tuun

1. YANG TURUN PERTAMA KALI.

Ada dua pendapat yang dikenal tentang ayat yang turun pertama kali, masing-masing dengan dalil sbb:

Pendapat Pertama : Surat Al-Alaq 1-5

Yang paling sahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah :
Artinya : `Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaran kalam , Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.` (al-`Alaq : 1-5 ).

Pendapat ini didasarkan pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh dua syeikh ahli hadis dan yang lain, dari Aisyah r.a yang mengatakan :
` Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar diwaktu tidur. Dia melihat dimimpi itu datangnya bagaikan terangnya dipagi hari. Kemudian dia suka menyendiri, dia pergi kegua Hira` untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu ia membawa bekal, kemudian ia pulang kepada Khadijah r.a maka Khadijah membekali seperti bekal yang dulu. Di gua Hira` dia dikejutkan oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat datan kepadanya dan mengatakan : ` Bacalah` Rasulullah SAW menceritakan, maka akupun menjawab `aku tidak pandai membaca` . malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi ` Bacalah`! maka akupun menjawab `Aku tidak pandai membaca`. Kemudian dia merangkulku dengana kedua kali, sehingga aku merasa amat payah. Kemudian ia lepaskan lagi, dan berkata ` Bacalah` Aku menjawab ` aku tidak pandai membaca` maka ia merangkulku untuk ketiga kali, sehinggga aku kepayahan, kemudian ia berkata ` Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan…` samapi dengan ….` Apa yang tidak diketahuinya`, ( Hadis ).

Pendapat Kedua : Surat Al-Muddattsir

Dikatakan pula, bahwa yang pertama kali turun adalah firman Allah :
( wahai orang yang berselimut ).

Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis :
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman; dia berkata : Aku telah bertanya kepada Abu Jabir bin Abdullah; yang manakah diantara Qur`an itu yang turun pertama kali ? dia menjawab : Yaa ayyuhal mudassir. Aku bertanya lagi : ataukah Iqra` Bismi rabbik ? dia menjawab : Aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepada kami : ` Sesungguhnya aku berdiam diri di gua hira`. Maka ketika habis masa diamku, aku turun dan aku telusuri lembah. Aku lihat kemuka, kebelakang, kekanan dan kekiri. Lalu aku lihat kelangit, kemudian aku melihat jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan ` Wahai orang yang berselimut; bangkitlah lalu berilah peringatan.`

Catatan : selain pendapat di atas ada juga pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama kali turun adalah surat al-fatihah dan lafal basmallah, tapi dalil kedua pendapat ini lemah dan kurang berdasar.

Perbandingan dua Pendapat :
Para ulama ulumul quran dengan kesungguhan mereka mencoba mempertemukan pendapat di atas, dan menjelaskan beberapa hal sebagai berikut :

a) Maksud Jabir dalam hadits di atas adalah surah yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan bahwa surah al Mudassirlah yang turun secara penuh sebelum surah Iqra` selesai diturunkan. Karena yang turun pertama sekali dari surah Iqra` itu hanya permulaan saja.
b) Atau maksud Jabir bahwa surat Mudassir itu adalah surah pertama yang diturunkan setelah masa terhentinya wahyu.
c) Ada yang mengatakan maksud Jabir ra : Surat al-muddatsir adalah yang pertama turun berkaitan dengan kerasulan (risalah) atau perintah berdakwah. Sedangkan ayat pertama surat al-alaq adalah yang pertama turun berkaitan dengan kenabian (nubuwwah), atau pelantikan menjadi nabi.
d) Ada yang mengatakan juga bahwa maksud Jabir ra : surat al-mudattsir adalah yang pertama kali turun yang disebabkan dengan peristiwa khusus (asbabun nuzul).
e) Ada juga yang menyatakan : Jabir telah mengeluarkan yang demikian ini dengan ijtihadnya. Akan tetapi riwayat Aisyah lebih mendahuluinya. Jadi jika ada riwayat-riwayat lain yang shohih mendukung riwayat Aisyah, maka sebagai hasil ijtihad pendapat Jabir ra bisa ditinggalkan.

2. YANG TERAKHIR KALI DI TURUNKAN

Pendapat ulama seputar ayat yang terakhir kali diturunkan begitu banyak, diantaranya sebagai berikut.

1) Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai riba.
Ini didasarkan pada hadis yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas, yang mengatkan : ` Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba`. Yang dimaksdukan ialah firman Allah :
`Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba.` ( al-Baqarah : 278 ).

2) Dan dikatakan pula bahwa ayat Qur`an yang terakhir turun adalah firman Allah :
`Dan peliharalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.` (al-Baqarah : 281 ).
Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa`i dan lain-lain, dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubair: ` Ayat Qur`an terakhir turun ialah : `Dan peliharalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.` ( al-Baqarah : 281 ).

3) Juga dikatakan bahwa yang terakhir turun ialah ayat mengenai utang .
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Said bin al-Musayyab: ` Telah sampai kepadanya bahwa ayat Qur`an yang paling muda di arsy ialah ayat mengenai utang.` Yang dimaksudkan ialah ayat :
`Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.`( al-Baqarah : 282 ).

Catatan : Ketiga riwayat di atas dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat tersebut diatas diturunkan sekaligus seperti tertib urutannya didalam mushaf. Ayat mengenai riba, ayat pelihara dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari kemudian ayat mengenai utang, karena ayat-ayat itu masih satu kisah. Setiap perawi mengabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagian yang terakhir kali, dan itu memang benar. Dengan demikian maka ketiga ayat itu tidak saling ber tentangan.

4) Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali diturunkan ialah ayat mengenai kalalah.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Barra` bin `azib ; dia berkata : ` ayat yang terakhir kali turun ialah :
`Mereka meminta fatwa kepadamu . Katakanlah : `Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah ( an-Nisa`: 176 ).

Banyak ragam pendapat lain tentang masalah ayat yang terakhir kali turun, seperti :
• Dikatakan pula bahwa Ayat surat ( at-Taubah : 128-129 ) sampai akhir surah.
• Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surah al-Maidah.
• Juga dikatakan bahwa yang terkhir kali turun ialah ayat surat ( al-Imran : 195 ).
• juga dikatakan bahwa ayat terakhir yang turun ialah ayat : ( an-Nisa`: 93 ).
• Dari Ibn Abbas dikatakan ; Surah terakhir yang diturunkan ialah: surat An-Nashr

Qadi Abu bakar al Baqalani dalam kitab intisar ketika mengomentari berbagai riwayat mengenai yang terakhir kali diturunkan menyebutkan : Pendapat-pendapat ini sama sekali tidak di sandarkan kepada Nabi saw. Boleh jadi pendapat itu diucapkan orang karena ijtihad atau dugaan saja. Mungkin masing-masing menreitahukan mengenai apa yang terakhir kali didengarnya dari Rasulullah SAW pada saat ia wafat atau tak seberapa lama sebelum ia sakit. Sedang yang lain mungkin tidak secara langsung mendengar dari Nabi. Mungkin juga ayat itu yang dibaca terakhir kali oleh Rasulullah SAW bersama-sama dengan ayat yang turun diwaktu itu. Sehingga disuruh untuk menuliskan sesudahnya, lalu dikiranya ayat itulah yang terakhir diturunkan menurut tertib urutannya.`
3. FAEDAH MENGETAHUI PEMBAHASAN INI

Pengetahuan mengenai ayat-ayat yang pertama kali dan terakhir kali diturunkan itu mempunyai banyak faedah. Yang terpenting diantaranya ialah.

1) Menjelaskan perhatian yang diperoleh Al-Quran Al-Karim guna menjaganya dan menguatkan ayat-ayatnya.

Para sahabat telah menghayati Qur`an ini ayat- demi ayat. Sehingga mereka mengerti kapan dan dimana ayat itu diturunkan, mereka telah menerima ayat-ayat dari Rasulullah SAW yang diturunkan kepadanya dengan sepenuh hati, hati-hati dan percaya bahwa Al-Quran adalah dasar agama, penggerak iman dan sumber kemuliaan dan kehormatannya. Dan ini membawa akibat positif yaitu bahwa Al-Quran Al-Karim selamat dari perubahan dan kekacau balauan.
Allah SWT berfirman : `Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.` ( al-hijr: 9)

2) Mengetahui rahasia perundang-undangan Islam menurut sumbernya yang paling pokok, yaitu ayat-ayat al-Quran.

Sesungguhnya ayat-ayat al-Quran mengatasi persoalan kejiwaan manusia dengan petunjuk Ilahi, dan mengantarnya dengan cara-cara yang bijaksana dan menempatkan mereka ketingkat kesempurnaan. Ia dapat bertahan dalam menetapkan hukum-hukum, sehingga dengan demikian cara hidup mereka menjadi benar dan urusan masyarakat berada pada jalan yang lurus
.
3) Membedakan yang nasikh dan yang mansukh,

Terkadang terdapat dua ayat atau lebih dalam satu masalah, tetapi ketentuan hukum dalam satu ayat berbeda dengan ayat lain, apa bila diketahui mana yang pertama kali diturunkan kemudian menasakh ( menghapus ) ketentuan ayat yang diturunkan sebelumnya.

Makkiyah Dan Madaniyah

1. PERHATIAN ULAMA TERHADAP MAKKIYAH & MADANIYAH

Para ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah makki dan madani. Mereka meneliti Qur`an ayat demi ayat dan surah-demi surah untuk ditertibkan, sesuai dengan nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Bahkan lebih dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan pada peneliti obyektif, gambaran mengenai penyelidikan, ilmiah tentang ilmu makki dan madani. Dan itu pula sikap ulama kita dalam melakukan pembahasan-pembahasan terhadap aspek kajian Qur`an lainnya.

Yang terpenting dipelajari para ulama dalam pembahasan ini adalah :
1) Yang diturunkan di mekkah,
2) Yang diturunkan di madinah,
3) Yang diperselisihkan,
4) Ayat-ayat makiah dalam surah-surah madaniah,
5) Ayat-ayat madinah dlam surat makkiah,
6) Yang diturunkan di mekkah sedang hukumnya madani,
7) Yang diturunkan di mekkah sedang hukumnya madani,
8) Yang serupa dengan yang diturunkan di mekkah ( makki ) dalam kelompok madani,
9) Yang serupa dengan yang diturunkan di madinah ( madani ) dalam kelompok makki;
10) Yang dibawa dari mekkah ke madinah,
11) Yang dibawa dari madinah ke mekkah,
12) Yang turun di waktu malam dan siang,
13) Yang turun dimusim panas dan dingin,
14) Yang turun diwaktu menetap dan dalam perjalanan.

Inilah macam-macam ilmu Qur`an yang pokok, berkisar disekitar makki dan madani, oleh karena dinamakan ` ilmul makki dan madani` .

2. PENGERTIAN MAKKIYAH & MADANIYAH SERTA PERBEDAANNYA

Cara menentukan Makki dan Madani :
Untuk mengetahui dan menentukan makki dan madani para ulama bersandar pada dua cara utama :
• Manhaj sima`i naqli ( metode pendengaran seperti apa adanya ) dan
• Manhaj qiyasi ijtihadi ( menganalogikan dan ijtihad ).

Cara sima'i naqli : didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu. Atau dari para tabi`in yag menerima dan mendengar dari para sahabat sebagaiamana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan makki dan madani itu didasarkan pada cara pertama. Dan cotoh-contoh diatas adalah bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil ma`tsur. Kitab asbabun Nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur`an.

Cara qiysi ijtihadi : didasarkan pada ciri-ciri makki dan madani. Apa bila dalam surah makki terdapat suatu ayat yang mengandung ayat madani atau mengandung persitiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani. Dan sebaliknya. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makki. Juga sebaliknya. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi.

Perbedaan Makki dan Madani
Untuk membedakan makki dan madani, para ulama mempunyai tiga cara pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri.

1) Pertama: Dari segi waktu turunnya.
Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan dimekkah. Madani adalah yang turun sesudah hijrah meskipun bukan di madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun dimekkah atau Arafah adalah madani
Contoh : ayat yang diturunkan pada tahun penaklukan kota makkah , firman Allah: `Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak…` ( an-Nisa` : 58 ). Ayat ini diturunkan di mekkah dalam ka`bah pada tahun penaklukan mekkah. Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikut. Karena ia lebih memberikan kepastian dan konsisten.

2) Kedua : Dari segi tempat turunnya.
Makki adalah yang turun di mekkah dan sekitarnya. Seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di madinah dan sekitarnya. Seperti Uhud, Quba` dan Sil`. Pendapat ini mengakibatkn tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua. Sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabukh atau di Baitul Maqdis tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan makki ataupun madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan dimakkah sesudah hijrah disebut makki.

3) Ketiga : Dari segi sasaran pembicaraan.
Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk mekkah dan madani ditujukan kepada penduduk madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur`an yang mengandung seruan yaa ayyuhannas ( wahai manusia ) adalah makki, sedang ayat yang mengandung seruan yaa ayyu halladziina aamanuu ( wahai orang-orang yang beriman ) adalah madani.
Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Qur`an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu, dan ketentuan demikianpun tidak konsisten. Misalnya surah baqarah itu madani, tetapi didalamnya terdapat ayat makky.

3. KETENTUAN & CIRI-CIRI KHAS MAKKI DAN MADANI

Para ulama telag meneliti surah-surah makki dam madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.

1) Ketentuan Surat Makkiyah .

a) Setiap surah yang didalamnya mengandung `sajdah` maka surah itu makki.
b) Setiap surah yang mengandung lafal ` kalla` berarti makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur`an dan di sebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
c) Setiap surah yang mengandung yaa ayyuhan naas dan tidak mengandung yaa ayyuhal ladzinaa amanuu, berarti makki. Kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ayat yaa ayyuhal ladziina amanuur ka`u wasjudu. Namaun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah makki.
d) Setiap surah yang menngandung kisah para nabi umat terdahulu adalah makki, kecuali surah baqarah.
e) Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah makki, kecuali surat baqarah.
f) setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti alif lam mim, alif lam ra, ha mim dll, adalah makki. Kecuali surah baqarah dan ali-imran, sedang surah Ra`ad masih diperselisihkan.

2) Tema & Gaya Bahasa Surat Makkiyah

Dari segi ciri tema dan gaya bahasa, ayat makky dapatlah diringkas sebagai berikut :

a) Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi dengan orang musyrik dengan menggunkan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
b) Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan ahlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim. Penguburan hidup-hidup bayi perempuan dn tradisi buruk lainnya.
c) Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelaran bagi mereka sehingga megetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah SAW sehingga ia tabah dalam mengadapi gangguan dari mereka dan yakin akan menang.
d) Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras. Menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek-pendek . dan perkecualiannya hanyasedikit.

3) Ketentuan Surat Madani yah

a) Setiap surah yang berisi kewajiban atai had ( sanksi ) adalah madani.
b) Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah madani, kecuali surah al-ankabut adalah makki.
c) Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah madani.

4) Tema dan Gaya Bahasa surat Madaniyah

Dari segi ciri khas, tema dan gaya bahasa, dapatlah diringkaskan sebagai berikut :

a) Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasiaonal baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
b) Seruan terhadap ahli kitab, dari kalangan yahudi dn nasrani. Dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka, terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
c) Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisi kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
d) Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.

4. FAEDAH MENGETAHUI MAKKI DAN MADANI
Pengetahuan tentang makkiyah dan madani banyak faedahnya diantaranya:

Pertama : Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur`an,

Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menmafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yangmenjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu.

Kedua : Meresapi gaya bahasa Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah.

Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti peling khusus dlam retorika. Karakteristik gaya bahasa makki dan madani dalam Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.

Ketiga : Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur`an.

Sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode mekkah maupun madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur`an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah SAW, peri hidup beliau yang diriwayatka ahlli sejarah harus sesuai denga Quran; dan Qur`an pun memberikan kata putus terhadapa perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.

turunnya Al-Qur'an

1. TAHAPAN TURUNNYA AL-QURAN

Allah SWT menjelaskan secara umum tentang turunnya Al-Quran dalam tiga tempat dalam Al-Quran, masing-masing :

a) Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur`an ( al-Baqarah: 185 ).

b) Al-Quran diturunkan pada malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam lailatul qadar.` ( al-Qadr : 1 )

c) Al-Quran diturunkan pada malam yang diberkahi

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya ( Qur`an ) pada malam yang diberkahi.` (QS ad-Dhukhan: 3 ).

Ketiga ayat diatas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan ramadhan. Tetapi lahir ( zahir ) ayat-ayat itu bertentangan dengan kehidupan nyata Rasulullah SAW , dimana Qur`an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun.
Dalam hal ini para ulama mempunyai dua madzab pokok , dan satu madzhab lainnya:

1) Madzhab pertama yaitu, pendapat Ibn Abbas dan sejumlah ulama serta yang dijadikan pegangan oleh umumnya para ulama.

Yang dimaksud dengan turunnya Qur`an dalam ketiga ayat diatas adalah turunnya Qur`an sekaligus di Baitul `Izzah dilangit dunia agar para malaikat menghormati kebesarannya. Kemudian sesudah itu Qur`an diturunkan kepada rasul kita Muhammad saw. Secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sejak dia diutus sampai wafatnya.
Pendapat ini didasarkan pada berita-berita yang sahih dari Ibn Abbas dalam beberapa riwayat. Antara lain:

a. Ibn Abbas berkata: ` Qur`an sekaligus diturunkan ke langit dunia pada malam lailatul qadar, kemudian setelah itu ia diturunkan selama dua puluh tahun.` Lalu ia membacakan: `Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya .`( al-Furqan : 33 ).
`Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.` (al-Isra` : 106 ).
b. Ibn Abbas r.a berkata: ` Qur`an itu dipisahkan dari az-Zikr, lalu diletakkan dai baitul Izzah di langit dunia. Maka jibril mulai menurunkannya kapada Nabi saw.`
c. Ibn Abbas r.a mengatakan : ` Allah menurunkan Qur`an sekaligus kelangit dunia , temmponya turunnya secara berangsur-angsur. Lalu Dia menurunkannya kepada Rasulnya bagian demi bagian.`
d. Ibn Abas r.a berkata : `Qur`an diturunkan pada malam lailatul qadar, pada bulan ramadhan ke langit dunia sekaligus; lali ia diturunkan secara berangsur-angsur.`

2) Madzhab kedua, yaitu yang diriwayatkan oleh as-Sya`bi .

Bahwa yang dimaksud dengan turunnya Quran dalam ketiga ayat diatas adalah permulaan turunnya Qur`an pada Rasulullah SAW. Permulaan turunnya Quran itu di mulai pada malam lailatul qadar di bulan ramadhan, yangv merupakan malam yang di berkahi. Kemudian turunnya berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selam kurang lebih dua puluh tiga tahun.
Dengan demikian Qur`an hanya satu macam cara turun, yaitu turun secara bertahap kepada Rasulullah SAW seba yang demikian inilah yang dinyatakan dalam Qur`an :
`Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.` (al-Isra`: 106 )

3) Madzhab ketiga

Bahwa Qur`an diturunkan kelangit dunia selama dua puluh tiga malam lalilatul qadar yang pada setiap malamnya selama malam-malam lailatul qadar itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan jumlah wahyu yang diturunkan kelangit dunia pada malam lailatul qadar , untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW sepanjang tahun. Madzab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufasir.. pendapat ini tidak mempunyai dalil.

KESIMPULAN :
Adapun madzab kedua yang diriwayatkan dari as-Sya`bi , dengan dali-dalil yang sahih dan dapat diterima,tidaklah bertentang dengan madzab yang pertama yang diriwayatkan dari Ibn Abbas. Dengan demikian maka pendapat yang kuat ialah bahwa Al-Quran Al-Karim itu dua kali diturunkan:
• Pertama: diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar ke baitul Izzah di langit dunia.
• Kedua: diturunkan kelangit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.

Catatan : Imam Al-Qurtubi telah menukil dari Muqatil bin Hayyan riwayat tentang kesepakatan ( ijma`) bahwa turunnya Qur`an sekaligus dari lauhul mahfuz ke baitul izzah di langit dunia. Ibn Abbas memandang tidak ada pertentangan antara ke tiga ayat diatas yang berkenaan dengan turunnya Qur`an dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah SAW bahwa Qur`an itu turun selam dua puluh tiga tahun yang bukan bulan ramadan.


2. HIKMAH TURUNNYA QUR`AN SECARA BERTAHAP

Kita dapat menyimpulkan hikmah turunnya Qur`an secara bertahap dari nash-nash yang berkenaan dengan hal itu. Dan kami meringkaskannya sebagai berikut :

1) Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah SAW .

Rasulullah SAW telah menyampaikan dakwahnya kepada menusia, tetapi ia menghadapi sikap mereka yang membangkang dan watak yang begitu keras. Ia ditantang oleh orang-orang yang berhati batu, berperangai kasar dan keras kepala. Mereka senantiasa melemparkan berbagai macam gangguan dan ancaman kepada Rasul. Wahyu turun kepada Rasulullah SAW dari waktu kewaktu sehingga dapat meneguhkan hatinya atas dasar kebenaran dan memperkuat kemauannya untuk tetap melangkahkan kaki dijalan dakwah tanpa menghiraukan perlakuan jahil yang dihadapinya dari masyarakatnya sendiri.

Contoh dari ayat-ayat tersebut, diantaranya sebagai berikut:
a) Ayat yang berisi anjuran langsung untuk bersabar
`Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.`(al-Muzammil:10-11 )
b) Ayat dari kisah-kisah nabi dan ajakan mengambil contoh keteguhan mereka
Demikianlah hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi yang terdapay dalam Qur`an: `Dan kisah rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami terguhkan hatimu.` (Hud : 120 )
c) Ayat yang berisi janji-janji kemenangan
`Allah telah menetapkan: `Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang`. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.` (al-Mujadalah: 21 ).

Setiap kali penderitaan Rasulullah SAW bertambah karena didustakan oleh kaumnya dan merasa sedih karena penganiayaan mereka, maka Qur`an turun untuk melepaskan derita dan menghiburnya serta mengancam orang-orang yang mendustakan bahwa Allah mengetahui hal ihwal mereka dan akan membalas apa yang melakukan hal itu.

2) Menjawab Tantangan dan sekaligus Mukjizat.

Orang-orang musyrik senantiasa berkubang dalam kesesatan dan kesombongan hingga melampaui batas. Mereka sering mangajukan pertanyaan-pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menentang. Untuk menguji kenabian Rasulullah. Mereka juga sering menyampaikan kepadanya hal-hal batil yang tak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat, lalu turunlah ayat :

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui". (Al-A'roof 187)

Jadi hikmah yang bisa kita tangkap disini adalah, bahwasanya turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur juga agar bisa menjawab tantangan-tantangan yang senantiasa dimunculkan oleh kaum kafir qurays, yahudi, bahkan juga kaum munafik.
Hikmah seperti ini telah diisyaratkan oleh keterangan yang terdapat dalam beberapa riwayat dalam hadis Ibn Abbas mengenai turunnya Qur`an : `Apa bila orang-orang musyrik mengadakan sesuatu, maka Allah pun mengadakan jawabannya atas mereka.`

3) Mempermudah Hafalan dan Pemahamannya.

Al-Quran Al-Karim turun ditengah-tengah umat yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis, catatan mereka adalah daya hafalan dan daya ingatan. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang tata cara penulisan dan pembukuan yang dapat memungkinkan mereka menuliskan dan membukukannya, kemudian menghafal dan memuhaminya. Umat yang buta huruf itu tidaklah mudah untuk menghafal seluruh Qur`an apa bila Al-Quran Al-Karim diturunkan sekaligus, dan tidak mudah pula bagi mereka untuk memahami maknanya serta memikirkan ayat-ayatnya, jelasnya bahwa Al-Quran Al-Karim secara berangsur itu merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan memahami ayat-ayatnya.
Setiap kali turun satu atau beberapa ayat, para sahabat segara menghafalkannya. Memikirkan maknanya dan memahami hukum-hukumnya. Tradisi demikian ini menjadi suatu metode pengajaran dalam kehidupan para Tabi`in.
• Abu Nadrah berkata,`Abu Saad al-Khudri mengajar kan Qur`an kepada kami, lima ayat diwaktu pagi, dan lima ayat di waktu petang. Dia memberitahukan bahwa jibril menurunkan Al-Quran Al-Karim lima ayat-lima ayat.`
• Dari Khalid bin Dinar dikatakan, `Abul `Aliyah berkata kepada kami `Pelajarilah Qur`an itu lima ayat demi lima ayat; karena Nabi saw mengambil dari jibril lima ayat demi lima ayat.`
• Umar berkata, `Pelajarilah Quran itu lima ayat demi lima ayat, karena jibril menurunkan Quran kepada Nabi saw. Lima ayat demi lima ayat.`

4) Kesesuaian dengan Peristiwa-peristiwa Pentahapan dalam Penetapan Hukum.
Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama yang bau ini seandainya Al-Quran Al-Karim tidak menghadapi mereka dengan cara yang bijaksanadan memberikan kepada mereka beberapa obat penawar yang ampuh yang dapat menyembuhkan mereka dari kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali terjadi suatu peristiwa, diantara mereka , maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang menjelaskan statusnya dan penunjuk serta meletakkan dasar-dasar perundang-undangan bagi mereka, sesuai dengan situasi dan kondisi, satu demi satu. Dan cara ini menjadi obat bagi hati mereka.

Tahapan Pengharaman Khamr
Contoh yang paling jelas mengenai penetapan hukum yang berangsur-angsur itu ialah diharamkannya minuman keras, mengenai hal ini pertama-tama Allah berfirman :
a) Pertama, Allah SWT berfirman : Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang yang memikirkan.`(an-Nahl: 67).
Ayat ini menyebutkan tentang karunia Allah apa bila yang di maksud dengan `sakar` ialah khamr atau minuman keras dan yang dimaksud dengan `rezeki` ialah segala yang dimakan dari kedua pohon tersebut seperti kurma dan kismis-dan inilah pendapat jumhur ulama- maka pemberian predikat `baik` kepada rezeki sementara sakar tidak diberinya, merupakan indikasi bahwa dalam hal ini pijian Allah hanya ditujukan kepada rezeki dan bukan kepada sakar, kemudian turun firman Allah:
b) Kedua, Allah SWT berfirman : `Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: `Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya`.(al-Baqarah:219).
Ayat ini membandingkan antara manfaat minuman keras (khamr) yang timbul sesudah memminumnya seperti kesenangan dan kegairahan atau keuntungan karena memperdagangkannya, dengan bahaya yang diakibatkannya seperti dosa, bahaya bagi kesehatan tubuh, merusak akal, menghabiskan harta dan membangkitkan dorongan-dorongan untuk berbuat kenistaan dan durhaka. Ayat tersebut menjauhkan khamr dengan cara menonjolkan segi bahayanya dari pada manfaatnya, kemudian turun firman Allah:
c) Ketiga : Allah SWT berfirman : `Wahai orang-orang yang beriman , janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk.`(an-Nisa`: 43 ).
Ayat ini menunjukkan larangan minuman khamr pada waktu-waktu tertentu bila pengaruh minuman itu akan sampai kewaktu salat, ini mengingat adanya larangan mendekati salat dalam keadaan mabuk, samppai pengaruh minuman itu hilang dan mereka mengetahui apa yang mereka baca dalam salatnya, selanjutnya firman Allah:
d) Keempat : Firman Allah :`Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu.`(al-Maidah:90-91)
Ini merupakan pengharaman secara pasti dan tegas terhadap minuman dalam segala waktu.

Hikmah penetapan hukum dengan sistem bertahap ini lebih lanjut diungkapkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a ketika mengatakan : `Sesungguhnya yang pertama kali turun dari Qur`an ilah surah Mufassal yang didalamnya disebutkan surga dan neraka, sehingga ketika manusia telah berlari kepada Islam, maka turunlah hukum haram dan halal. Kalau sekiranya yang turun pertama kali adalah `jJanganlah kamu meminum khamr` tentu meraka akan menjawab: ` Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.` Dan kalau sekiranya yang pertama kali turun ialah ; janganlah kamu berzina, tentau mereka akan menjawab: `Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.`

5) Bukti Yang Pasti Bahwa Al-Quran Al-Karim Diturunkan Dari Sisi Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

Qur`an yang turun secara berangsur kepada Rasulullah SAW dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini ayat-ayatnya turun dalam selang waktu tertentu, dan selama ini orang membacanya an mengkajinya surah demi surah. Ketika ia melihat rangkaiannya begitu padat, tersusun cermat sekali dengan makna yang saling bertaut, dengan gaya yang begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surah demi surah saling terjalin bagaikkan untaian mutiara yang indah yang belum ada bandingannya dalam perkataan manusia .
Seandainya Qur`an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah didalamnya terjadi ketidak serasian dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, serta sulit terjadi keseimbangan.
`Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an ? Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.`(an-Nisa`:82 ).