Faktor-Faktor yang mempengaruhi Bahasa

Peranan bahasa dalam manusia besar sekali. Hampir dalam semua kegiatan, manusia memerlukan bantuan bahasa. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan khusus seperti kesenian dan ilmu. Bahasa merupakan sarana yang tidak dapat ditinggalkan. Dalam kehidupan sehari-hari seperti di rumah, di pasar dan tempat hiburan selalu dpergunakan orang. Sukar kita bayangkan manusia hidup tanpa bahasa. Karena bahasa demikian pentingnya dalam kehidupan manusia, tidaklah mengherankan apabila banyak perhatian yang dicurahkan pada masalah yang berhubungan dengan bahasa.  
Salah satu sistem isyarat yang paling penting bagi manusia adalah bahasa (Littlejohn, 1996). Dalam bahasa, isyarat terdiri dari pengelompokan sesuatu yang memiliki makna. Suara-suara dikombinasikan ke dalam frasa-frasa, klausa-klausa dan kalimat-kalimat, yang menunjukkan objek. Bahasa sebagai alat komunikasi, pada hakekatnya bersifat netral (Heryanto, 1989), tetapi dapat digunakan sebagai sesuatu yang bersifat baik atau tidak baik. Bahasa menjadi memberikan makna yang salah jika pengertian yang kabur tidak bisa dibatasi penggunaannya, terutama yang sering terjadi antara penguasa yang masyarakatnya. Melalui bahasa juga terlihat keinginan dominasi Barat modern atas manyarakat non-Barat, pada abad lalu, atau bahkan hingga saat ini yang terjadi dimanamana, tidak hanya terjadi di kepulauan Nusantara (Heryanto, 1989), yang tidak lain adalah suatu upaya mempertahankan kekuasaan Barat atas non-Barat. Hal ini terlihat secara nyata pada berbagai kajian tentang kolonialisme, imperialisme, underdevelopment dan dependensia yang banyak memberikan sumbangan pemikiran untuk memahami proses dominasi Barat dan atau Utara di bagian besar dunia ini. Berbagai pemikiran tersebut terlalu mendasarkan analisisnya pada bidang politik-ekonomi, bukan bahasa. Bahkan, kajian-kajian tersebut biasanya membuat generalisasi yang sangat luas, yang dapat merupakan pengaruh bahasa sebagai alat komunikasi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya di negara penerima program. Tulisan ini bertujuan memberikan pemahaman dan mengemukakan bagaimana bahasa memiliki berbagai fungsi dalam kaitannya dengan komunikasi, bahkan tidak jarang digunakan sebagai alat komunikasi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

 Faktor-faktor yang mempengaruhi bahasa:
Ø  Faktor Budaya
Para pakar komunikasi terutama dalam hal komunikasi antar manusia selalu melihat budaya sebagai titik tolak bagi orang-orang atau individu saat melakukan komunikasi sesama manusia yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi juga kuat dipengaruhi oleh budaya masing-masing individu yang terlibat baik sebagai komunikator maupun komunikan. Para ahli komunikasi dalam hal penggunaan bahasa berkata bahwa 'bahasa bisa memenjarakan kita, namun bahasa juga bisa membebaskan kita.' Bahasa merupakan atau dapat dianggap selaku benar dalam kehidupan kita. Bahasa memberi kerangka yang akan memberikan harapan-harapan kepada kita dan dengan demikian menimbulkan persepsi bagi para individu yang terlibat dalam komunikasi
Sementara itu, bahasa dan komunikasi lisan bisa menciptakan kesalahpahaman atau salah mengerti, salah tanggap, namun bahasa lisan ini pun ada baiknya pula, yaitu dapat mengklarifikasi kesalahpahaman yang terjadi. Kita maklum bahwa setiap bahasa bisa dikatakan sebagai merefleksikan sistem yang menurut kita logis dan masuk akal. Bahasa sebagai suatu sistem simbol atau lambang bisa berubah kalau berkaitan dengan ide, perasaan, pengalaman, peristiwa dan fenomena lainnya dan dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlapis-lapis yang dikembangkan oleh masyarakat tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh ahli bahasa, bahwa bahasa manusia ini disusun atau ditata berdasarkan pada sekumpulan aturan yang disepakati, seperti fonologi (berkaitan dengan bunyi), morfologi (berkaitan dengan bentuk kata), sintaksis (berkaitan dengan penyusunan kata-kata menjadi suatu kalimat), kemudian semantik (berkenaan dengan arti kata), serta terakhir apa yang dinamakan pragmatis (memandang sesuatu menurut kegunaannya).
`           Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer (sewenang-wenang) yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
  1. bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
  2. bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyatakan bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Ø  Sosial
Aturan-aturan dalam ranah sosiolinguistik perlu menjadi pertimbangan dalampengajaran bahasa. Penggunaan bahasa dalam suatu komunitas termasuk dalam lingkupsosial. Artinya pengaruh faktor-faktor sosial berpengaruh pada perilaku tutur (speechbehavior) (Holmes, 2001: 366). Aspek yang berbeda dan beragam khasanah pengetahuan diperoleh seorang individu pada suatu kelompok masyarakat yang berbeda diperoleh saat mereka (individu) tersebut belajar menggunakan bahasa (tuturan) yang sesuai dalam komunitasnya. Pengetahuan dan kemampuan inilah yang disebut kompetensi sosiolinguistik. Dalam masyarakat yang multilingual, pemilihan variety atau kode bahasa untuk digunakan dalam berkomunikasi melibatkan pemilihan akan menggunakan bahasa yang berbeda, seperti style (gaya bahasa). Misalnya pada anak-anak umumnya pertama-tama akan mempelajari bahasa pertama mereka – bahasa ibu, lalu ditambahkan dengan bahasa lain karena satu dan lain hal. Sebutlah pemerolehan itu karena pendidikan, dan untuk dapatberkomunikasi dengan lingkup masyarakat yang lebih luas. Jadi, secara bertahap anak-anakmengembangkan “linguistic repertoire” yang sesuai untuk lingkup (domain) yang berbedadalam komunitasnya. Peralihan kode (bahasa) ini terlihat jelas dalam masyarakat multilingual, karena inilah menjadi pembeda bahasa. “Linguistic repertoire” (Holmes, 2001) pada generasi yang berbeda mungkin berbedapula. Ini terjadi pada masyarakat dimana language shift-nya sedang berkembang. Misalnya,kompetensi linguistik seorang anak transmigran akan sangat berbeda dari kakeknya. Sangat dimungkinkan dia akan mengalami kendala dengan bahasa ibunya.
 Mengembangkan “style” yang lebih luas dalam komunitas barunya. Contoh lainnya, anak-anak orang Batak yang berada di Jakarta, sejauh pengamatan saya, banyak mengalami kendala dalam berbahasa Batak artinya tidak sebatas pada pemahaman saja tetapi selayaknyadapat pula bercakap-cakap. Bagaimana “language shift” ini berubah secara cepat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor status sangat berperan. Brown (2007: 215)menyebutnya dengan jarak sosial,merujuk kepada kedekatan kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu di dalam diriseseorang. Maka ia harus memiliki standar berbahasa yang berlaku pada satu komunitas yang dianggapnya lebih tinggi agar dia bisa masuk pada lingkup baru dimaksud. Bahasa vernacular (daerah) memang tersirat pada umumnya, berbeda dengan bahasa yang dianggapstandar yang tersurat. Karena status ini pun mengharuskan seseorang untuk mau tidak maumemaksa kompetensi sosiolinguistiknya harus dikembangkan. Kompetensi linguistik dalam masyarakat monolingual mengharuskan seseorang untukmengunakan bahasa masyarakat itu dimana terdapat kelompok-kelompok sosial yang beragam. Misalnya, kelompok yang dimasukinya dapat dikenal dari pengucapan, tata bahasa,atau kosakata yang dipergunakan, atau bisa saja dari ketiga hal ini. Kita belajar bagaimanabertutur sesuai dengan gender dan kelompok usia, agar kita berterima dalam kelompokdimaksud. Juga etnis seseorang bisa diketahui (ditebak) dari cara dia bertutur. Memang,sekarang ini umumnya masyarakat multilingual, yang tentu lebih kompleks dari monolingual.Kita masuk pada satu kelompok sosial, etnis, dan wilayah geografis, serta gender dan usia.Sehingga dalam bertutur, kita harus mempertimbangkan hal-hal di atas termasuk pulamengenal lebih awal dengan siapa kita bertutur. Siapa saja yang sering berinteraksi dengankita, bahkan jaringan sosial berpotensi mempengaruhi cara bertutur. Artinya, disadari atau tidak, telah terjadi perubahan bahasa. Ini sebenarnya masih dalam ranah kompetensi sosiolinguistik. Sebagai individu dalamkomunitas yang lebih besar, bahkan lintas gender, usia, wilayah dan lain-lain; selain perlumenyadari dengan siapa kita bertutur, juga perlu tahu apa fungsi bahasa yang kita kehendaki,dan dalam konteks apa. Misalnya, jika seorang Batak bertemu dengan seorang Jawa (yangmasih kuat memegang sopan santun), norma-sorma sosiolinguistiknya sangat mungkinberbenturan. Hasilnya, malu dan salah pengertian. Bahasa akan membawa kita berada pada realitas sosial. Maka dari itu, belajar bahasamembutuhkan suatu pandangan atas dunia sekeliling kita sehingga perlu memiliki kompetensi komunikatif. Menurut para ahli sosiolinguistik, bahasa menyangkut pilihan.
 Misalnya pemerintah; juga dalam bentuk silabus dan metode serta ancangan yang sesuaidengan kebutuhan dan kekhasan suatu kelompok pemelajar. Perspektif psikologi pedagogikal yang mumpuni perlu dimiliki oleh pengajar bahkanpara pengambil keputusan dalam pengembangan dunia pendidikan umumnya dan pengajaranbahasa pada khususnya. Terutama pengajar, dia harus berfungsi sebagai inisiator bagaimana menciptakan suasana belajar yang baik, fasilitator pembelajaran, negosiator (Brown 2007:104). Apabila ini terpenuhi, besar kemungkinan akan proses pembelajaran itu dapat dikatakan berhasil. Tentu keberhasilan pembelajaran itu ditentukan oleh banyak komponen. Misalnya,pengajar, pemelajar, tujuan pembelajaran, materi, metode dan teknik, evaluasi serta saranauntuk mendukung proses pembelajaran. Psikologis pemelajar perlu mendapat perhatian. Inilah yang menjadi ranah daripsikolinguistik khususnya dalam pengajaran bahasa. Karena fokusnya adalah pemelajardengan semua perilaku berbahasanya, maka tepat kiranya saya mengutip pendapat Field(2003: 2) bahwa psycholinguistics explores the relationship between the human mind andlanguage. Artinya, ada hubungan antara bahasa dan pikiran (lihat Aitchison, 2008:1; Yule,2006: 137). Pemelajar sebelum menggunakan bahasa sebetulnya melakukan suatu proses memahami ujaran dulu “acoustic image”, dan dia harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang ujaran itu (old and given topic) sehingga akan mudah dalam merespons (Stimulus –Response – Stimulus – Response, dan seterusnya). Artinya terjadi proses mengubah pikiranmenjadi kode (S-R). Ini juga yang dinyatakan Osgood dan Sebeok (dalam Pateda: 1990)“psycholinguistics deals directly with the processes of encoding and decoding as they relatestates of communicators”. Berarti ada proses “encoding” (sintesa) dan “decoding”(rekognisi). Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh pemelajar,hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, danmenulis. Semua keterampilan ini memiliki titik akhir untuk berkomunikasi dengan manusialain. Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi(Pateda, 1990: 13). Field (2003: 2) mengemukakan psikolinguistik mencakup languageprocessing, language storage and access, comprehension theory, language and the brain,language in exceptional circumstances, frst language acquisiton (pemrosesan bahasa,penyimpanan dan akses bahasa, pemahaman, bahasa dan otak, bahasa lingkup tertentu, danpemerolehan bahasa). Pemelajar adalah subjek pembelajaran. Maka pemelajar merupakanorganisme yang beraktifitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak danmembaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi(Lisnawati, 2010). Dari paparan perspektif sosiologi dan psikologi di atas, kehadiran materi ini dalampembelajaran bahasa sangat penting. Kelompok pemelajar merupakan representasi dirimereka, lingkungan dan sosio-kultural, sosio-ekonomi, sosio-edukasi, dan faktor lain yangberperan dalam membentuk seseorang itu untuk berperilaku termasuk perilaku tutur. Faktor-faktor yang sifatnya eksternal tadi tidak dapat dipisahkan dari pembentukan psikologipemelajar. Untuk dapat menggunakan bahasa secara lancar dan komunikastif pemelajar tidakhanya cukup memahami kaidah bahasa, tetapi diperlukan kesiapan kognitif (penguasaankaidah bahasa dan materi yang akan disampaikan), afektif (tenang, yakin, percaya diri,mampu mengeliminasi rasa cemas, ragu-ragu, waswas, dan sebagainya), serta psikomotor(lafal yang fasih, keterampilan memilih kata, frasa, klausa, dan kalimat). Dengan demikian,jelaslah bahwa betapa penting peranan psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa. Bagi para pengemban pendidikan di Indonesia, khususnya pengajaran bahasa,mungkin ini juga perlu dipertimbangkan. Pengajaran bahasa yang product oriented danlearning centered, dan ancangan yang aplikatif selaras dengan local exigencies perlu dihasilkan. Yang pasti, ketika dalam pengajaran bahasa terdapat kendala yang sulitdipecahkan, mungkin perspektif sosial dan psikologi dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah.
Ø  agama
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang paling sering digunakan. Dengan bahasa kita dapat memahami sesuatu. Dengan bahasa kita dapat memahami keinginan orang lain. Dengan bahasa kita bisa mempelajari sesuatu. Demikian pula dalam mempelajari agama. Kita mengetahui apa itu agama, seluk beluk agama, aturan aturan dalam agama dan segala sesuatu yang berhubungan dengan agama dapat kita pelajari dengan menggunakan bahasa. Misalnya agama Islam, kita tidak bisa memahami apa yang diterangkan dalam ajarannya apabila kita tidak mengerti bahasa. Agama Islam diturunkan di tanah Arab dengan menggunakan bahasa Arab, Namun berkat jasa jasa orang yang mengerti bahasa Arab sehingga kita yang hidup dizaman sekarang bisa memahami tentang apa yang diajarkan dalam agama Islam itu. Jadi hubungan antara bahasa dan agama adalah dengan bahasa kita dapat memahami agama, atau, agama tidak dapat difahami tanpa adanya bahasa.
Ø  Politik
Bahasa merupakan kekuasaan (language is power) dan sangat berperan dalam mencapai tujuan nasional maupun internasional suatu bangsa. Bahasa membentuk suatu ikatan sosial melalui interaksi dan proses saling mempengaruhi penggunanya (Kurniawan, 2003). Disebutkan pula bahwa penyebaran bahasa (di dunia) menunjukkan bahwa bangsa tersebut telah menguasai (dunia). Terkait dengan bahasa Indonesia, pada jaman penjajahan Jepang, pengerahan segala orang dan tenaga dari bangsa Indonesia dalam sebuah peperangan, membuat bangsa Jepang menggunakan bahasa Indonesia untuk propaganda guna mencapai tujuan dengan cepat. Saat itu, dengan menyisihkan bahasa daerah, penggunaan bahasa Indonesia mencapai masyarakat sampai ke pelosok desa-desa di pegunungan dan pulau-pulau terpencil (Kurniawan, 2003). Bahasa juga merupakan sarana komunikasi budaya yang penting karena menggambarkan kebudayaan pemakai bahasa tersebut dan membudayakannya melalui penggunaannya (Kurniawan, 2003). Apapun tradisi, apapun kreasi, apapun hasil kebudayaan yang kita miliki, dapat segera punah dan berganti, kecuali satu yaitu bahasa. Bahasa memiliki durasi yang jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan produk-produk peradaban lainnya. Dengan bahasalah, suatu bangsa mengemukakan seluruh harapan, obsesi/mimpi, kenyataan, ketakutan, maupun protes-protesnya dalam kehidupan, sehingga bahasa menjadi vital dalam hidup kita. Bahkan kini menjadi senjata karena kita dapat menentukan bahkan menguasai seseorang atau sebuah bangsa, hanya dengan berkomunikasi melalui bahasa. Anderson (1996) juga mengemukakan bahwa yang luar biasa, karakter bahasa politik Indonesia modern lahir dari kenyataan tak terelakkan bahwa ia adalah ahli waris dari tiga bahasa yang berbeda dan dua tradisi budaya-linguistik yang berbeda pula. Tiga bahasa tersebut adalah Belanda, Jawa dan Melayu revolusioner, sedangkan tradisinya dalah Belanda-Barat dan Jawa. Dalam perpolitikan, tokoh-tokoh politik mempergunakan dan mendayagunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan ide, pendapat atau pikirannya, tetapi juga menyembunyikan pikirannya yang mengandung kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan. Namun demikian dalam pelaksanaannya dapat saja berbeda antar rezim pemerintahan atau antar tokoh politik tertentu.




DAFTAR PUSTAKA