Bani Umayyah Dan Islam Di Andalusia


Sepeninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, kekhalifahan islam dipegang oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Seorang tokoh yang kecewa atas kebijaksanaan yang diambil oleh Ali bin Abi Thalib dalam mengambil keputusan terhadap kasus pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan. Beliau juga merupakan pendiri Daulah Umayyah.
Berbagai peristiwa penting mengikuti perjalanan ini, diantaranya berbagai peristiwa pemberontakan dan peperangan. Bukan hanya terkenal pada ekspansi dan kontroversialnya, bani umayyah juga mampu meraih berbagai prestasi di berbagai bidang terutama dalam hal keilmuan.
Perkembangan Bani umayyah sering digolongkan kedalam dua bagian yakni bagian timur di sekitar kota Damaskus dan di bani umayyah II di sekitar Andalusia. 

1. Latar Belakang Berdirinya Kekuasaan Bani Umayyah
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kekhalifahan islam dipegang oleh Abu Bakar as-Sidiq dan Bani Umayyah merasa bahwa kelas mereka di bawah kelas kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka harus menunjukkan perjuangan mereka dalam membela islam ,untuk memiliki kelas yang setingkat. Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah,mereka dikirim ke Suriah untuk berperang melawan Bizantium. Atas jasanya,Yazid bin Abu Sufyan diangkat menjadi gubernur disana.
Pada masa pemerintahan Usamn bin Affan,Muawiyah bin Abu Sufyan diangkat menjadi gubernur di Suriah menggantikan saudaranya. Selain itu,Bani Umayyah menjadi penguasa disana. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib merupakan awal dari kehancuran umat islam. Hal ini dikarenakan Muawiyah bin Abu Sufyan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika menangani kasus pembunuhan Usman bin Affan. Golongan ini merasa sangat kecewa dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.Akhirnya perselisihan ini memuncak menjadi Perang Jamal. Pereselisihan antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan pihak Muawiyah tidak berakhir sampai disitu,akan tetapi perselisihan ini memuncak menjadi Perang Shiffin. Dalam perang itu terjadi peristiwa Tahkim atau Arbitrase.akan tetapi peristiwa ini memunculkan satu golongan yang disebut dengan golongan Khawarij. Golongan ini adalah orang-orang yang kecewa dengan peristiwa Tahkim tersebut dari pihak Ali bin Abi Thalib.
Ali bin Abi Thalib pun dibunuh oleh salah seorang dari kelompok Khawarij tersebut pada tahun 661 M. Meninggalnya Ali bin Abi Thalib membuat Muawiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah yang baru dengan berpusat di Damaskus,Suriah. Akan tetapi, Hasan bin Ali, putra Ali bin Abin Abi Thalib,tidak mau mengakuinya. Hal ini mulai menyulut pertentangan dikalangan umat islam. Akhirnya Hasan bin Ali membuat perjanjian damai dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa ini dikenal dengan Aumul Jama'ah dan terjadi pada tahun 41 atau 661 M. Perjanjian itu dapat mempersatukan kembali umat Islam dalam suatu kepemimpinan politik,dibawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain perjanjian itu menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolute dalam islam.
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Umayyah Al-Andalus.[1] Nama “Daulah Umaiyah” berasal dari nama “Umaiyah Ibn “ Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, yaitu salah seorang pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman Jahiliyah.
Umaiyah ini senantiasa dengan pamannya untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang memiliki cukup unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa dizaman jahiliyah itu, karena ia berasala dari keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh orang putra-putra yang terhormat dalam masyarakat. Orang-orang yang memiliki ketiga macam unsur-unsur ini di zaman Jahiliyah, berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayah senantiasa bersaing dengan pamannya yaitu Hasim Ibnu Abdi Manaf. Sesudah datang agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum. Bani Umayah baru masuk Islam setelah tidak menemukan jalan lain, ketika Nabi Muhammad Saw dengan beribu pasukannya menyerbu masuk Mekah. Dengan demikian Bani Umayah adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam.
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman politik Mu`awiyah sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya.[2]
Kekuasaan Daulah Umayyah dapat bertahan karena ditopang oleh paham kesukuan yang muncul sejak terjadinya tragedy terbunuhnya Utsman. Kekuasaaan Daulah Umayyah ini selalu membawa bendera suku Quraisy yang tidak dapat dilepaskan. Dan didukung pula adanya pribadi yang tangguh dalam menghadapi berbagai kekacauan yang terjadi dan dapat mengontorol wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pemerintahan ini juga mampu memposisikan paham kekuasaan absolute dalam batas yang masih terkontrol. Hal ini didukung oleh makin koopratifnya kelompok Islam yang lain terhadap pemerintah. Sedangkan dalam kehidupan sosial, kekuatan yang berpaham keislaman yang pada masa Ali berlawanan dengan paham kesukuan, pada masa Daulah Umayyah justru berpaling mendukung Mu`awiyah. Hal ini disebabkan karena Daulah Umayyah tidak menampakkan permusuhan dengan paham-paham keislaman, yang sesungguhnya merupakan strategi penguasa untuk menghindari terjadinya kekacauan akibat berkembangnya paham kesukuan.[3]
Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750) tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.[4]
Walau pada awalnya Daulah Umayyah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun kelompok ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu kekuatan kesukuan, gerakan oposan dan paham keislaman secara umum, yang tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan sosial kemasyarakatan.[5]
Secara garis besar kemunculan hingga kehancuran Bani Umayyah dapat terlihat di kronologi berikut[6]:
    661 M- Muawiyah menjadi khalifah dan mendirikan Bani Ummayyah.
    670 M- Perluasan ke Afrika Utara. Penaklukan Kabul.
    677 M- Penaklukan Samarkand dan Tirmiz. Serangan ke Konstantinopel.
    680 M- Kematian Muawiyah. Yazid I menaiki takhta. Peristiwa pembunuhan Husain.
    685 M- Khalifah Abdul-Malik menegaskan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
    700 M- Kampanye menentang kaum Barbar di Afrika Utara.
    711 M- Penaklukan Spanyol, Sind, dan Transoxiana.
    713 M- Penaklukan Multan.
    716 M- Serangan ke Konstantinopel.
    717 M- Umar bin Abdul-Aziz menjadi khalifah. Reformasi besar-besaran dijalankan.
    725 M- Tentara Islam merebut Nimes di Perancis.
    749 M- Kekalahan tentara Ummayyah di Kufah, Iraq terhadap tentara Abbasiyyah.
    750 M- Damsyik direbut oleh tentara Abbasiyyah. Kejatuhan Kekhalifahan Bani Ummaiyyah.
    756 M- Abdurrahman Ad-Dakhil menjadi khalifah Muslim di Kordoba.Memisahkan diri dari                          Abbasiyyah.


2. Khalifah-Khalifah pada masa Bani Umayyah
a.     Muawiyah ibn Abi Sufyan {661-681 M}
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah kekota Damaskus dalam wilayah Suriah. Ia memerintah selama sembilan belas tahun. Pada masa pemerintahannya islam menyebar kearah barat dan timur.

b.    Yazid ibn Muawiyah {681-683 M}
Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M,Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikannya. Yazid menjabat sebagai khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Pada tahun 680 M, ia pindah ke Kufah atas permintaan golongan Syi'ah yang ada di Irak.
c.     Muawiyah ibn Yazid {683-684 M}
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun.

d.     Marwan ibn Al-Hakam {684-685 M}
Ia pernah menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan. Untuk mengukuhkan jabatannya,maka ia sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid.

e.     Abdul Malik ibn Marwan {685-705 M}
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai khalifah setelah kematian ayahnya,pada tahun 685 M. Pada masa pemerintaha Abdul Malik bin Marwan,pemberontakan-pemberontakan kaum Syi'ah masih berlanjut. Yang termasyhur di antaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685 - 687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali, yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik.

f.     Al-Walid ibn Abdul Malik {705-715 M}
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman,kemakmuran dan ketetertiban. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannyayang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi'ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.

g.     Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Menjadi khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi penasihat-penasihat di sekitar dirinya.

h.      Umar ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Menjabat sebagai khalifah pada usia 37 tahun. Ia terkenal adil dan sederhana.

i.      Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan. Ia adalah seorang penguasa yang sangat gandrung terhadap kekuasaan.

j.       Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Menjabat sebagai khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal sebagai seorang dermawan yang cakap dan ahli militer. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat, khalifah tidak berdaya mematahkannya. Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.

k.      Walid ibn Yazid (743-744 M)
Masa pemerintahannya selama 1 tahun, 2 bulan. Ia adalah salah seorang khalifah yang berkelakuan buruk.

l.       Yazid ibn Walid (Yazid II) (744 M)
Masa pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan dan dia wafat pada usia 46 tahun. Selain itu, masa pemerintahannya penuh kemelut dan kekacauan.

m.    Ibrahim ibn Malik (744 M)
Pada masa pemerintahannya keadaan negara semakin kacau dan dia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.

n.      Marwan ibn Muhammad (745-750M)
Beliau seorang ahli negar yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak berhasil ditumpasnya , tetapi dia tidak mampu menghadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendukungnya.

3. Kebijakan dan Karakteristik Daulah Umayyah
Adapun kebijakan para khalifah Daulah Umayyah yang menjadikan Daulah Umayyah maju sekaligus sebagai penciri atau karakter daulah tersebut adalah:
a.     Pada masa Mu'awiyyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dan mengatarkan negara dan rakyatnya kepada kemakmuran serta kekayaan meliputi perluasan wilayah hingga Afrika Utara, wilayah Khurasan dan Bukhara (Turkistan) setelah menyeberangi sungai Oxus .
b.    Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan. . Selain itu, Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
c.     Selain melakukan pembenahan administrasi pemerintahan, Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
d.    Pada masa pemerintahan Walid menampakkan kejayaan Dinasti Umayyah. Wilayah kekuasaannya pun bertambah luas sampai ke Spanyol di Barat dan Sina ( India ) di Timur.. Dia membangun panti untuk orang cacat, juga membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan yang megah dan masjid-masjid.
e.     Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, dia melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, speerti perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur baru, penginapan bagi musafir dan lain-lain..

4. Kemajuan, Kemunduran dan Kehancuran Bani Umayyah
a.     Kemajuan-kemajuan Daulah Umayyah
Di zaman Muawiyah bin Abu Sufyan –radhiyallaahu ‘anhu-, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah –radhiyallaahu ‘anhu- dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan . Dia berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid bin ‘Abdul Malik . Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Maroko dapat ditundukkan, Thariq bin Ziyad –rahimahullah-, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, yang mana disebut sebagai khalifah yang ke lima[7], serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin ‘Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping itu, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (Mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, maka kekuasaan Islam semakin luas yang meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Selain melakukan ekspansi ke berbagai wilayah, ada beberapa hal penting yang di capai Daulah Umayyah, yaitu:
v  Menetapkan Bahasa Arab sebagai Bahasa resmi;
v  Mendirikan masjid Agung di Damaskus;
v  Membuat mata uang bertuliskan kalimat syahadat;
v  Mendirikan rumah sakit di berbagai wilayah;
v  Menyempurnakan peraturan pemerintah;
v  Melakukan pembukuan Hadits Nabi.

Selain itu, Pada masa Daulah Bani Umayyah perkembangan kebudayaan mengalami kemajuan dan juga bidang seni, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (Arsitektur).

b.     Kemunduran Daulah Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
v  Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid'ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
v  Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Abdullah bin Saba' al-Yahudi ) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
v  Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara ( Bani Qays ) dan Arabia Selatan ( Bani Kalb ) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam , makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
v  Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
v  Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib.


c.     Detik-detik kehancuran Bani Umayyah

Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, Mu`awiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukanya jika ia meninggal, pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679. untuk mengamankan pencalonan itu, Mu`awiyah melakukan bebagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh lapisan masyarakat.[8]
Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar, Abdul Rahmn bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.[9]
Setelah Mu`awiyah wafat, Daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang goyah, kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas dengan raja baru yang sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota. Pengangkatan putera mahkota ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan sipil yang menyebabkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkepanjangan.
Maka setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga, kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi`ah (pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husain Ibn Ali pada tahun 680 M. namun tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang tidak seimbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di kubur di Karbala.[10]
Perlawanan kaum Syi`ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi`ah terjadi, diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang mendapat dukungan dari kaum Mawali pada tahun 685-687 M.[11] selain itu Bani Umayyah juga mendapat tantangan dari kaum Khawarij, dan meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan gerakan oposisi dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Dan hubungan pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.[12] tetapi sayang sekali angin kedamain yang berhebus dari pesona kepemimpinan Umar yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama, hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia. Penggantinya adalah Yazid Ibn Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Hisyam Ibn Abd. Malik (724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahahn Bani Umayyah. kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayyah dan mengantinya dengan Daulah baru, yakni Daulah Bani Abbasiyyah.
Sepeniggal Hisyam Ibn Abd. Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani.[13] Marwan Bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh disana.[14]
Dari berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang akhirnya berujung pada kejatuhan Bani Umayyah dapat diidentifikasikan antar lain sebagai berikut:
    Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan Himyariyah yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman  Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
    Ketidak puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu stastus yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa  Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
    Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan  Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani  Umayyah dalam memimpin umat.[15]
Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.[16]
Namun secara garis besar menurut Badri Yatim faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :
v  Sistim pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana
v  Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
v  Pada masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah
v  Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang
Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[17]



5. Kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia (spanyol) / Bani Umayyah II
a. Pendudukan Islam di Spanyol
Al-Andalus[18] adalah Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal termasuk selatan Perancis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam pada zaman khalifah Bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M), dimana tentara Islam yang sebelumnya telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah. Didirikan pada tahu 750 dan Dibubarkan 929 M. Dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa yaitu Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nushair.
Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayah, Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Khalifah ‘Abdul Malik   mengangkat Hasan bin Nu’man al-Ghassani   menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah al-Walid, Hasan bin Nu’man   sudah digantikan oleh Musa bin Nushair. Di zaman al-Walid itu, Musa bin Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko.
Dalam proses penaklukan ini dimulai dengan kemenangan pertama yang dicapai oleh Tariq bin Ziyad membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Kemudian pasukan Islam dibawah pimpinan Musa bin Nushair juga berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Goth, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Zaragoza sampai Navarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Abd al-Aziz tahun 99 H/717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin ‘Abdullah al-Ghafiqi  . Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordreu, Poiter, dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours. Akan tetapi, diantara kota Poiter dan Tours itu ia ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan. Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.
Rakyat dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam. Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam. Awal kehancuran kerajaan Ghoth adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa Rahimahumullah.
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderick yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokon-tokoh pejuang dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
b.    Perkembangan Islam di Spanyol
Perkembangan Islam di Spanyol yang berlangsung lebih dari tujuh setengah abad, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Dengan ditandai berbagai pergantian keamiran dan kekhalifahan disana, yaitu sebagai berikut:
Keamiran di Kordoba[19]
v  Abdur-rahman I, 756-788
v  Hisyam I, 788-796
v  Al-Hakam I, 796-822
v  Abdur-rahman II, 822-888
v  Abdullah bin Muhammad, 888-912
v  Abdur-rahman III, 912-929

Kekhalifahan di Kordoba[20]

v  Abdur-rahman III, 929-961
v  Al-Hakam II, 961-976
v  Hisyam II, 976-1008
v  Muhammad II, 1008-1009
v  Sulaiman, 1009-1010
v  Hisyam II, 1010-1012
v  Sulaiman, dikembalikan, 1012-1017
v  Abdur-rahman IV, 1021-1022
v  Abdur-rahman V, 1022-1023
v  Muhammad III, 1023-1024
v  Hisyam III, 1027-1031

Adapun beberapa kota yang berpengaruh pada masa islam di spanyol yaitu:
v  Cordova
Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibu kota Spanyol Islam itu. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsyik. Di antara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah masjid Cordova. Menurut ibn al-Dala'i, terdapat 491 masjid di sana. Disamping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Cordova saja terdapat sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 Km[21]. Saat Cordoba berada dalam puncak kejayaannya (abad ke 9 dan 10 M) terdapat lebih dari 200 000 rumah di dalam kotanya. Jumlah masjid sebanyak 600 buah, 900 public baths, 50 rumah sakit dan sejumlah pasar besar yang menjadi pusat perdagangan dan sentra perekonomian. Pada saat itu, Cordoba telah mampu menempatkan duta besarnya hingga ke negara yang amat jauh seperti India dan Cina.[22]
v  Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir ummat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana al-Hambra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya. Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan istana az-Zahra, istana al-Gazar, menara Girilda dan lain-lain[23].
 Sejarah panjang yang dilalui Umat Islam di Spanyol ini dapat dibagi menjadi enam periode, dimana tiap periode mempunyai corak pemerintahan dan dinamika masyarakat tersendiri. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol, itu dapat dibagi menjadi enam periode, yaitu :
v  Periode Pertama (711-755 M).
Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Disamping itu, terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairwan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol ini.
Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama, antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus-menerus bersaing, yaitu suku Quraisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini seringkali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang agak lama.
Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah mau tunduk kepada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri. Setelah berjuang lebih dari 500 tahun, akhirnya mereka mampu mengusir Islam dari bumi Spanyol. Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode ini berakhir dengan datangnya Abdurrahman al-Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M.
v   Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini. Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (Yang Masuk ke Spanyol). Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas ketika yang terakhir ini berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Selanjutnya, ia berhasil mendirikan dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abdurrahman al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman al-Ausath, Muhammad bin Abdurrahman, Munzir bin Muhammad, dan ‘Abdullah bin Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abdurrahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam I dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam, dan Hakam I dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abdurrahman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai masuk pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman al-Aushath. Ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terjadi. Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesyahidan. Namun, Gereja Kristen lainnya di seluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada gerakan itu, karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen. Peribadatan tidak dihalangi. Lebih dari itu, mereka diizinkan mendirikan gereja baru, biara-biara disamping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau menjadi karyawan pada instansi militer.
Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Disamping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi.


v  Periode Ketiga (912-1013 M)
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar An-Nasir sampai munculnya “raja- raja kelompok” yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaij. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah, penggunaan gelar khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Al-Muktadir, Khalifah daulat Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang paling tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah, gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada tiga orang, yaitu Abdurrahman al-Nashir (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman al-Nashir mendirikan universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada masa ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.
Awal dari kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Bin Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
v  Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al-Mulukuth Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
v  Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan daulah Murabithun (860-1143 M) dan daulah Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan politik yang didirikan oleh Yusuf bin Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakisy. Ia masuk ke Spanyol atas “undangan” penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia.
Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil untuk itu. Akan tetapi, penguasa-penguasa sesudah bin Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh daulah Muwahhidun. Pada masa daulah Murabithun, Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M. Di Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali dinasti-dinasti kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad bin Tumart (w. 1128). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan ‘Abdul Mun’im. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya.
Untuk jangka beberapa dekade, daulah ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. Keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh tahun 1248 M. Seluruh Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuatan Islam.
v  Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nashir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Abu ‘Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad bin Sa’ad. Abu ‘Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu ‘Abdullah naik tahta.
Tentu saja, Ferdinand dan Isabella yang mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup merasa puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Abu ‘Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya mengaku kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdinand dan Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggal Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.
c.     Kemunduran dan kehancuran islam di Andalusia (Spanyol)
Beberapa penyebab kemunduran dan kehancuran umat Islam di Spanyol di antaranya konflik Islam dengan Kristen, tidak adanya ideologi pemersatu, kesulitan ekonomi, tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan, dan keterpencilan.
1. Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa muslim tidak melakukan islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan negara Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan Kristen. Pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.
2. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau di tempat-tempat lain para muallaf diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini menunjukkan tidak adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan, disamping kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.
3. Kesulitan Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat “serius”, sehingga lalai membina perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan menpengaruhi kondisi politik dan militer.
4. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan diantara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk al-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan permasalahan ini.
5. Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana. Wallahul musta’an.







REFERENSI:

Al-Wakil, DR. Muhammad Sayyid. 2005. Wajah Dunia Islam. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, cet: V

Ghazali, Drs. Adeng Muchtar, M.Ag, 2004. Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah. Bandung: CV.Pustaka setia

Mufrodi, Dr. Ali.1999. Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Cet: II

Sawiy, Khairudin Yujah. 2005. Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, Jogjakarta : Safria Insani Press, Cet.II

Tim Penyusun. 2003. Ensiklopedi Islam Vol. 3 . Jakarta : Ichtiar Van Hove. Cet: XIII

Yatim, Dr. Badri, M.A. 2001. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. XII




Internet.: ilmupedia.com

Internet : inpasonline.com




[2] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, (Cet.II, Safria Insani Press: Yogyakarta: 2005), h. 11
[3]Ibid,
[4]Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia; Bandung: 2004), h. 52
[5] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, … Op. Cit h. 12
[7] Imam As-Suyuthi, Taarikh Khulafa’, cet. th. 1409H/1989M, hal 261.

[8] Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003), h. 248
[9] Ibid.,
[10] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001), h. 45
[11] Ibid., h. 46
[12] Ibid., h. 47
[13] Ibid., h. 48
[14] Ibid., h. 47
[15] Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M) h. 83-84
[16] Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia; Bandung: 2004), h. 52
[17] Dr. Badri Yatim, M.A,…Op. Cit., h. 49
[18] L. Esposito, John, Ed. Oxford University Press. 2003. Oxford Reference Online. Oxford University Press.
[20] Ibid.,
[21] Ibid.,