Alih Kode dan Campur Kode

Sejak awal mula Allah telah mengajari umat manusia melalui Adam AS menyebutkan nama-nama hewan dan tumbuhan. Inilah petunjuk pertama bahwa manusia dianugerahi kemampuan berbahasa. Bahasa kemudian sedemikian berkembang, melintasi beribu-ribu dekade waktu dan mencakup seluruh lintasan penduduk di dunia. Tak heran, ada begitu banyak bahasa di dunia. Pada perkembangannya, pengguna bahasa menyadari akan kemampuannya untuk berbahasa lebih dari satu, mereka mentransfer bahasa dengan proses decoding. Tetapi kemudian muncul istilah mengalih kodekan dan ada pula istilah mencampur kode-kode yang ada. Apakah gerangan istilah-istilah tersebut?
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak). Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
A.    Pengertian Alih kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Sunda beralih menggunakan bahasa Makassar, atau penutur menggunakan bahasa Jawa kemudian beralih menggunakan bahasa Bugis. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa karena kita ketahui bahwa dalam suatu masyarakat terdapat lebih dari satu suku. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya suatu situasi. Sedangkan Hymes menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi juga dapat terjadi antara ragam - ragam bahasa atau gaya – gaya yang terjadi dalam suatu bahasa.
Ada beberapa pendapat  mengenai hakekat alih kode :
  •   Scotton menganggap bahwa alih kode merupakan penggunaan dua varian atau varietas linguistik atau lebih dalam percakapan atau interaksi yang sama.
  •   Nababan berasumsi konsep alih kode ini mencakup juga kejadian di mana kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain atau dari satu dialek ke dialek yang lain. Sebagaimana kita bisa mencontohkan perlaihan yang terjadi dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, atau mungkin dari ragam resmi ke ragam yang tidak resmi atau sebaliknya. Dari contoh tersebut dapat kita tarik garis lurus, bahwa alih kode merupakan peralihan kode bahasa dalam satu peristiwa komunikasi verbal.

Alih kode pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek. Rujukannya adalah komunitas bahasa atau dialek. Para penutur yang sedang beralih kode dari minimum dua komunitas dari bahasa-bahasa (dialek) yang sedang mereka praktekkan. Sebaliknya pergantian (alih) ragam bukan berarti berganti komunitas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alih kode hanya dilakukan oleh dua pihak yang memiliki dua komunitas bahasa yang sama. Sedangkan alih ragam hanya terjadi di satu komunitas dan satu bahasa saja.[1]

B.     Penyebab terjadinya alih kode
Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode, maka maka kita kembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang di kemukakan fishman (1976 : 15), yaitu’’ siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa’’. Namun dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab terjadinya alih kode itu karena ada beberapa faktor, yaitu :
1.      pembicara atau penutur
seorang penutur atau pembicara terkadang melakukan alih kode terhadap mitra tuturnya karena ada maksud dan tujuan tertentu.Misalnya, seorang mahasiswa setelah beberapa saat berbicara dengan dosennya mengenai nilai mata kuliahnya yang tundah dan  dia baru tahu bahwa dosennya itu berasal dari daerag yang sama dan juga mempunyai bahasa ibu yang sama pula. Agar urusannya cepat beres, maka mahasiswa tersebut melakukan alih kode dari bahasa indonesia ke bahasa daerahnya agar semuanya bisa berjalan lancar dalam mengurus nilainya.
2.      Pendengar atau lawan tutur
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa  lawan bicaranya. Misalnya, penutur bugis berusaha mengimbangi lawan bicaranya yang kebetulan orang mandar dengan menggunakan bahasa mandar pula.
3.      Perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga
Kehadiran orang ketiga yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan yang di gunakan oleh penutur dan lawan bicara yang sedang berbicara. Misalnya, si A dan si B sementara bercakap bugis, kemudian si C tibab – tiba datang dan tidak menguasai bahasa bugis. Maka si A dan si B beralih  kode dari bahasa bugis ke bahasa indonesia.
4.      Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
Situasi  ini biasanya terjadi di sekolah, kampus, atau kantor, karena ketika kita sementara kuliah bahasa yang di gunakan itu adalah bahasa formal, begitupun ketika kita berada di kantor. Akan tetapi setelah perkuliahan selesai, itu berarti  berakhir juga situasi formal, begitupun di kantor ketika yang di bicarakan tentang surat menyurat maka situasinya itu formal, tetapi ketika pribadi seseorang yang di surati, maka situasinya berubah menjadi tidak formal, dan saat itulah terjadi alih kode dari bahasa indonesia diganti dengan  bahasa daerah.
5.      Perubahan topik pembicaraan
Topikn  pembicaraan merupakan hal dominan yang menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya di ungkapakan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius. Sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal di sampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
6.      Untuk sekedar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara,  topik, dan faktor sosio – siuasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadinya alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, hal tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
Dari kelima faktor diatas ,itulah yang secara umum lazim di kemukakan sebagai penyebab terjadinya alih kode.

C.     Macam macam alih kode :
Suwito (1983 : 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu
1.      Alih kode intern
Dikatakan alih kode intern karena  berlangsung antar bahasa senidiri, seperti dari bahasa indonesia ke bahasa jawa, atau sebaliknya.
2.      Alih kode ekstern
Alih  kode yang terjadi antar bahasa sendiri ( salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
Souepomo poedjosoedomo (1979 : 38) membagi alih kode menjadi dua macam pula, yaitu:
1.      Alih kode permanen
Dalam alih kode ini seorang penutur secara tetap mengganti kode tutur terhadap lawan bicaranya (mitra tuturnya).
2.      kode sementara
Alih kode sementara merupakan alih kode yang dilakukan seorang penutur pada saat bicara dengan menggunakan kode tutur yang biasa dipakai dengan berbagai alasan.
Peralihan menggunakan kedua kode tutur  ini terjadi begitu saja di tengah – tengah kalimat atau bagian wacananya dan peralihan kode tutur ini tidak berlangsung lama karena penutur kembali menggunakan kode tuturnya seperti semula.

D.    Campur kode
Diantara sesama penutur bilingual atau multilingual, sering dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan atau interferensi berbahasa (performance interference). Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam suatu kalimat atau wacana bahasa lain. Kita namai gejala ini campur kode (code mixing). Menurut Nababan dalam Arthur Yap (1978) Campur kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam suatu wacana menurut pola-pola yang belum jelas. Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode juga ditandai oleh adanya pemakaian dua bahasa (ragam bahasa) atau lebih oleh seorang penutur dalam suatu peristiwa tutur .Oleh karena itu,campur kode merupakan salah satu aspek dari saling ketergantungan bahasa( language dependency ) di dalam masyarakat multilingual.
Di dalam masyarakat multilingual tidak mungkin seorang penutur akan menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain.

Masyarakat di filiphina menyebut gejala ini “halo-halo” atau “mix-mix”, yakni campuran antara bahasa inggris dengan salah satu bahasa daerah di filipina. Di Indonesia dikenal bahasa “gado-gado” yang diibaratkan sebagai sajian gado-gado, yakni campuran dari berbagai macam sayur-sayuran. Dengan bahasa gado-gado, yakni campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa salah satu daerah.[2]

Menurut Fasold campur kode ialah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode.Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang tertentu. Serpihan disini dapat berbentuk kata, frasa atau unit bahasa yang lebih besar

Kachru (dalam Suwito, 1983: 76)mendefinisikan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten .

Kridalaksana (2001: 35) berpendapat bahwa campur kode adalah (1 ) interferensi, (2)penggunaan satuanlingual bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atauragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dansebagainya.
 Ciri dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri.

Campur kode memiliki ciri-ciri yakni tidak ditentukan oleh pilihan kode, tetapi berlangsung tanpa hal yang menjadi tuntutan seseorang untuk mencampurkan unsur suatu varian bahasa ke dalam bahasa lain, campur kode berlaku pada bahasa yang berbeda, terjadi pada situasi yang informal, dalam situasi formal terjadi hanya kalau tidak tersedia kata atau ungkapan dalam bahasa yang sedang digunakan.

Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
variasinya
2.      Campur kode ke luar (outer code-mixing):
campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
 
                       a.. sikap (attitudinal type), latar belakang sikap penutur.
b. kebahasaan(linguistik type),latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan..Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.

Di masa orde lama kita sering menyaksikan orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan Belanda bercampur kode dalam komunikasi mereka dengan menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Belanda. Dewasa inicampur kode dilakukan dalam penggunaan bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris; bahkan sempat menjadi trend di Indonesia. Weinreich mengatakan bahwa campur kode ini adalah “mixed grammar”. Salah satu contohnya menurut Paul Ohtuwon (1997):
Ketika berlari pagi melewati hanggar pesawat latih di kompleks pendidikan penerbanagan di Curug ( 8 Juli 1996), saya berpapasan dengan beberapa mekanik.
Tanya: Ngapain pagi-pagi sudah ada disini?
Jawab: pesawatnya perlu di run-up, diinspeksi, dicek oli, busi. Landing gear dibuka.

Potongan singkat percakapan diatas menunjukkan bahwa terdapat campur kode dalam kalimat-kalimat jawaban yang diberikan oleh mekanik. Apakah mekanik-mekanik ini ingin menampilkan diri sebagai kelompok masyarakat elit, lebih tinggi dari rekan-rekan sekampungnya? Agaknya kalimat-kalimat campur kode tersebut sudah merupakan gaya berbahasa sehari-hari diantara sesama mekanik di lingkungan kerja seperti di hanggar pesawat.[3]

E.     Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode

Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode yaitu, di gunkannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa bugis, sehingga tercipta bahasa Indonesia kebugis bugisan.

Perbedaan lain antara alihkode dengan campur kode ialah pertama, alih kode itu mengarah pada terjemahan dan padanan  istilah code switching, sedangkan campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah kodemixing dalam bahasa Inggris. Kedua, dalam alih kode ada kondisi yang menuntut penutur beralih kode, dan hal itu menjadi kesadaran penutur, sedangkan campur kode terjadi tanpa ada kondisi yang menuntut pencampuran kode itu. Dan ketiga, pada alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun dalam bahasa yang berbeda. Pada campur kode yang terjadi bukan peralihan kode, tetapi bercampurnya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh penutur.

Campur kode patut dibedakan dari alih kode. Alih bahasa sepenuhnya terjadi karena perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan dimaksudkan meliputi faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, laras bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang.[4]

Thelander  membedakan alih kode dan campur kode bahwa dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain (alih kode). Tetapi apabila dalam suatu peristiwa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas klausa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri itulah disebut sebagai campur kode.


                       
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ohtuwon, Paul. 1997.  “Sosiolinguistik : Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan”, Jakarta: Visipro.
Internet: sungaibatinku.wordpress.com/2009/03/20/kedwibahasaan-dan-diglosia/ (diakses tanggal: 25 Desember 2011)
Internet: wikipedia.com (diakses tanggal: 25 Desember 2011)


 

[1] Paul Ohtuwon, “sosiolinguistik : memhami bahasa dalam konteks masyarakat dan kebudayaan”, (Jakarta: Visipro, 1997). Hal. 72
[2] Ibid., hal. 69
[3] Ibid., hal 70.
[4] Ibid., hal. 71