Dzakat

Ditinjau dari aspek bahasa, kata zakat berarti: tazkiyahartinya suci, tathirun artinya bersih, namuww artinya tumbuh atau berkembang, barakah artinya berkah. Nama-nama lain zakat dalam al-Qur’an yaitu shodaqoh (QS.At-Taubah: 103-104), Infaq (QS.Al-Baqarah: 267),al-Haaq (QS. Al-An’am: 141) dan al-‘afwu (al-A’raf: 199). Menurut Yusuf Qardhawi sebagaiaman dikutip oleh Ahmad Azharuddin, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang yang berhak, di samping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.[1]
kajian fiqih klasik, hasil pertanian adalah semua hasil pertanian yang ditanam dengan menggunakan bbit biji-bijian yang hasiknya dapat dimakan oleh manusia dan hewan serta lainnya. Dengan melihat agraris Indonesia, secara sederhana dapat disampaikan bahwa yang dimaksud dengan hasil pertanian yang ditanam masyarakat secara umum seperti padi, jagung, tebu, buah-buahan, sawit, kapas, sayur-mayur, dan lain sebagainya, kecuali ganja dan tumbuhan psikotropika lainnya, karena jenis tumbuhan ini tidak bisa ditanam.[2]
*uqèdurüÏ%©!$#r't±Sr&;M»¨Yy_;M»x©rá÷è¨BuŽöxîur;M»x©râ÷êtBŸ@÷¨Z9$#urtíö¨9$#ur$¸ÿÎ=tFøƒèC¼ã&é#à2é&šcqçG÷ƒ¨9$#uršc$¨B9$#ur$\kÈ:»t±tFãBuŽöxîur7mÎ7»t±tFãB4(#qè=à2`ÏBÿ¾Ín̍yJrO!#sŒÎ)tyJøOr&(#qè?#uäur¼çm¤)ymuQöqtƒ¾ÍnÏŠ$|Áym(Ÿwur(#þqèùÎŽô£è@4¼çm¯RÎ)Ÿw=ÏtäšúüÏùÎŽô£ßJø9$#ÇÊÍÊÈ

Terjemahan:
Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.

Zakat hasil bumi tanpa syarat haul, sebab setiap kali panen harus dikeluarkan zakatnya.sedangkan panen hasil bumi ada yang sekali setahun, dua kali setahun, tiga kali setahun, bahkan ada yang empat kali. Setiap kali panen jika hasilnya ada senisab dikeluarkan zakatnya dan jika tidak cukup senisab tidak usah hasil panen itu dikumpulkan dengan hasil yang lain guna mengejar nisab.[3]
a.      Hukm Zakat Pertanian
Hukum fikih tentang penghitungan zakat pertanian tersaji dalam hal - hal berikut :
1.      Termasuk dalam tempat zakat pertanian adalah semua yang ditanam baik hasil , buah , bunga , dan yang sejenisnya yang mempunyai harga dan manfaat secara syar’i.
2.      Zakat di tunaikan pada waktu panen sesuai dengan firman – Nya ( QS. Al – An ‘am : 141 ) dan tidak disyaratkan haul karena pertumbuhan harta telah sempurna pada jangka waktu pertanian ( waktu tanam sampai panen).
3.      Hukum dasarnya adalah zakat di bayar dalam wujud benda dari jenis yang di hasilkan , tetapai di mungkinkan untuk di bayar dalam bentuk uang selama dalam pembayaran tersebut terdapat maslahat bagi kaum fakir . Hasil pertanian tersebut dihitung berdasar harga pasar waktu tiba kewajiban membayar zakat , dan di mungkinkan juga untuk menghitung zakat atas dasar harga uang tunai , kemudian di terjemahkan dalam bentuk barang dan ditunaikan dalam bentuk benda .
4.      Ada beberapa pendapat tentang pemotongan biaya pertanian dari hasil  produksi. Sebagian besar pendapat tersebut terpengaruh oleh saat mereka hidup serta terpengaruh oleh pandangan mereka terhadap watak aktivitas pertanian.[4]
b.      Syarat-syarat Penunaian Zakat Pertanian
1.      Hasil pertanian tersebut di tanam oleh manusia. Jika hasil pertanian itu tumbuh sendiri karena perantaraan air atau udara maka tidak wajib di zakati.
2.      Hasil pertanian tersebut merupakan jenis makanan pokok manusia yang dapat disimpan dan jika disimpan tidak rusak.
3.      Sudah mencapai nisab. Dalam hal ini, nisab masing–masing jenis hasil pertanian dihitung sendiri–sendiri , bukan gabungan dari jenis yang satu dengan jenis yang lainnya , misalnya gandum dengan gandum  barlay.[5]

c.       Jenis Hasil Pertanian yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Zakat diwajibkan pada jenis biji – bijian yang menjadi makanan pokok . Makanan pokok itu pada umumnya makanan yang menguatkan badan manusia. Hikmah diwajibkan zakat pada jenis biji – bijian ini karena ia merupakan kebutuhan pokok, oleh karenanya Allah mewajibkan zakat padanya untuk memenuhi pokok tersebut.
            Lain halnya dengan makanan yang dimakan sebagai obat , untuk kesengangan , atau sebagai lauk pauk. Lain halnya pula dengan makanan yang  dimakan pada kondisi sengsara, paceklik, atau kemarau maka tidak wajib zakat pada semua jenis makanan tersebut. Imam Asy – Syafi’I, dalam qaul qodim – nya mewajibkan zakat pada buah zaitun, kunyit (za’faran), wars, qirthim ( safflower ), madu, turmus ( lupine ), dan wijen ( simsim ).[6]
Pendapat ulama tentang jenis zakat pertanian:
a.       Pendapat Imam Abu-Hanifah, bahwa wajib zakat pada setiap jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dari bumi tanpa ada perbedaan antara biji-bijian dan lainnya dengan syarat dapat diketam hasilnya, tanahnya milik sendiri dan tumbuhnya wajar. Dikecualikan kayu, bambu, rumput dan tumbuh-tumbuhan yang tidak berbuah.
b.      Pendapat Imam Malik, bahwa yang dizakati itu semua yang keluar dari bumi, dengan syarat tumbuh-tumbuhan itu tahan ama dan dikerjakan oleh manusia,baik makanan yang menguatkan seprti buah-buahan dan gandum maupun yang lain-lainnya seperti biji jude dan wijen.
Jenis pertanian yang tidak ada zakatnya
            Pada masa Rasulullah saw. Zakat tidak ditetapkan untuk sayuran dan buah buahan, kecuali anggur dan kurma. Atha’ bin saib meriwayatkan bahwa Abdullah bin Mugirah ingin mengambil zakat sayuran dari pertanian Musa bin Thalahah. Akan tetapi, Musa bin Thalhah berkata kepadanya,” kamu tidak berhak mengambilnya Rasulullah telah bersabda, “tidak ada zakat di dalam sayuran”[7]
Tidak wajib zakat pada biji-bijian dan buah-buahan seperti buah pir, delima dan apel.
a.       Pendapat Imam Syafii, wajib zakat pada sesuatu yang keluar dari bumi, dengan syarat makanan yang menguatkan, tahan lama disimpan, dikerjakan oleh manusia, seperti gandum dan syair (jelai).  
b.      Pendapat Imam Ahmad, yang wajib zakat ialah seperti biji-bijian, buah-buahan yang kering dan yang basah, rumput dan di tanam oleh manusia, ditanah mereka sendiri, baik makanan yang menguatkan seperti gandum maupun yang lainnya seperti kapas, rempah-rempah, ketumbar, jinten, atau dari jenis tanaman seperti kapas, semangka, mentimum atau jenis sayuran seperti jude, wijen. Dan wajib zakat juga pada tumbuhnan lainnya apabila terdapat sifat yang sama dengan tamar dan kurma, mismis, buah tin, buah badan dan mengkudu.
d.      Nizab Zakat Pertanian
Mayortitas fuqaha berpendapat bahwa zakat hasil pertanian dan perkebunan tidak wajib di keluarkan kecuali telah mencapai nisab tertentu yaitu 5 sha. sedangkan bagi hasil  bumi yang tidak dapat di timbang seperti kapas , linen , dan sayur , maka nisabnya adalah senilai harga  5 sha ‘ atau yang setara dengan 200 dirham. Nisab tersebut dihitung setelah panen dan keringnya buah . untuk beberapa jenis buah tertentu di perbolehkan untuk melaksanakan penaksiran sebelum masa panen tiba.[8]
Hasil pertanian tidak wajib dikeluarkan zakatnya sebelum mencapai nishab, yaitu 5 wasq, 1 wasq adalah 60 sha’, sedangkan 1 sha’ sama dnegan 2,2 kg. jadi, 1 wasq kurang lebih sama dengn 132,6 kg. jadi, kadar nishab hasil  pertanian adalah 5 wasq x 132,6 kg = 663 kg.
            Inilah ketentuan nishab wajib zakat hasil pertanian. Kadar nishab ini sebenarnya tidak bnyak mengurangi hasil panen. Namuan banyak manuasia sekarang yang kikir untuk mengeluarkan zakat, Karena kebodohan dan ketamakannya sehingga Allah mencabut keberkahan dari harta mereka.
            Dengan demikian jelaslah bahwa harta yang kurang dari ukuran nishab tersebut tidak wajib zakat. Namun, harus diperhatikan bahwa jenis biji-bijian, sebagian ada yang berat, misalnya padi (beras), ada pula yagn ringan seperti gandum. Apabila kita mengambil ukuran berat sebagai ukuran standarnya, maka akan ada perbedaan pada takaran. Oleh karena itu, dalam  hal ini kita harus mempertimbangkan takaran sebagaimana yang terdapat dalam hadist.[9]
            Mayoritas ulama berpendapat bahwa tanaman dan tumbuh-tumbuhan tidak wajib dizakati, kecuali telah mencapai lima wasq setelah dibersihkn dari jerami dan kulitnya. Jika tidak dibersihkan dari jerami dan kulitnya,nishabnya adalah sepuluh wasaq.
            Berkaitan dengan nishab zakat pertanian, ada dua hadist berikut ini.
1.      Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“hasil pertanian yang kurang dari lima wasaq tidak wajib dizakati.”
2.      Abu said al-Khudri r.a.meriwayatkan bahwa Nabi saw. Bersabda,
“kurma dan biji-bijian yang kurang dari lima wasaq tidak wajib dizakati.”
Satu wasaq adalah enam puluh sha sesuaia dengan kesepakatan ulama. Hal ini juga ada di dalam hadist riwayat Abu Said, namun kualitas hadist ini dhaif.[10]
            Dalam menentukan nishab pertanian, ada beberapa pendapat tentang kadar nishab-nya ada yang menyebutkan 520 kg beras, 750 kg,bahkan komite tetap fatwa dn peneliatian Islam Saudi Arabia menetapkan 900 kg. Akan tetapi, dalam penghitungan ini, penyusun menggunakan dasar penelitian dan penghitungan Yusuf Al-qardhawi dalam Fiqhuz zakah,yang menetapkan nishab hasil pertanian adalah 5 wasaq atau setara dengan 653 kg beras. Apabila hasil pertanian termasuk mkanan pokok, seprti beras, jangung, gandum, dan kurma, nishabnya-nya adalah 653 kg dari hasil pertanian tersebut.
            Akan tetapi ,jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayuran-sayuran, daun, dan  bunga, nishabnya disetarakan dengn harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita adalah beras).[11]
e.       Kadar Zakat yang Wajib Dikeluarkan
            Kadar yang wajib dikeluarkan dari hasil pertanian karena zakat berbeda-beda sesuai dengan perbedaan cara penyiramannya. Suatu pertanian yang mendapat siraman air tanpa dengan menggunakan alat, misalnya kincir air, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar sepuluh persen. Adapaun pertanian yang mendapat siraman air dengan bantuan alat atau dengan air yang dibeli, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar lima persen.   
            Kadar zakat─hasil pertanian jika diairi dengan air hujan atau sungai / mata air yang tanpa biaya─adalah 10%. Sebaliknya, jika diari dengan cara disiram atau irigasi (ada biaya tambahan), zakatnya adalah 5%.
            Pada system pertanian saat ini biaya pertanian tidak sekadar air, melainkan ada biaya lain, seperti pupuk dan insektisida. Oleh karena itu, untuk mempermudah penghitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida,dan sebgainya diambildari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dri nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (bergantung pada system pengairannya). Dengan demikian, hsil panen padi baru dizakati jika telah mencapai 653 kg. apabila seorang petani panen padi, gabahnya dinilai dengan harga beras, lalu setelah dikurangi biaya operasionalnya, zakatnya menjadi 10 % jika menggunakan air hujan atau air sungai yang tanpa biaya, dan 5 % jika menggunakan air yang diperoleh dengan pembiayaan, baik dengan irigasi maupun menggunakan air sungai atau mata air yang pengmbilannya dengan disel.[12]  
            Yang dimaksud dengan pengairan dari langit adalah air hujan, salju, dan embun. Sedangkan yang termasuk mata air adalah air sungai yang mengairi sawah tanpa menggunakan tenaga, alat, maupun biaya.
            Hasil pertanian yang diairi dengan menggunakan tenaga hewan / manusia / mesin yang menganggkut air dari sungai atau sumur, maka zakatnya adalah 5 %. Sementara yang diairi dengan irigasi alami atau air hujan zakatnya adalah 10 %, sebab ia tidak menanggung bebean kelelahan maupun biaya pengairan. Apabila tanah itu diairi dengan mesin penyedot dan penyiraman air atau dengan menggunakan tenaga hewan / manusia / mesin maka zakatnya 5 %.
            Jika kondisinya berbeda-beda mengikuti perbedaan waktu, yakni dalam beberapa waktu ladang pertanian mendapat pengairan tanpa biaya dan di waktu yang lain dengan menggunakan biaya, maka kadar zakatnya disesuaikan dengan mempertimbangkan masa hidup tanaman, atau masa berbuah dan tumbuhnya. Jika rentang waktu sejak tanam, lalu tumbuh, hingga matang adalah 8 bulan, lalu selam 4 bulan tanaman diairi dengan air hujan, sementara 4 bulan sisanya diari dengan menggunakan tenaga hewan / manusia / mesin, maka kadar zakat yang wajib adalah 7,5 %.
            Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah mana di antara keduanya yang paling banyak, sementara yang lebih kecil dihapus. Dengan demikian, jika irigasi yang paling banyak adalah air hujan, maka ia wajib mengeluarkan 10 % sebagai zakatnya. Sementara jika yang lebih banyak adalah irigasi buatan, maka yang wajib hanya 5 %. Namun, pendapat yang pertama, yaitu 7,5%.[13]
1.      Muallaf     
Muallaf adalah orang yang masih lemah imannya, karena baru memeluk agama Islam atau orang yang mempunyai kemauan kuat untuk memeluk agama Islam tetapi masih ragu-ragu (lemah) kemauannya itu.
Pendapat-pendapat tersebut pada dasarnya tidak terjadi perbedaan jauh dan sama-sama merujuk pada kesimpulan bahwa orang yang keislamannya belum terpatri kuat perlu diberi motivasi dengan insentif pemberian zakat, seolah-olah ia menjadi senjata penakluk selain jihad peperangan.
Orang yang dapat dikategorikan sebagai muallaf (orang yang perlu dipikat hatinya dengan diberi zakat agar Islamnya semakin kuat) ada empat macam, yaitu sebagagai berikut:
a.       Para orang terhormat kaum muslimin yang memiliki para pengikut atau teman dari orang-orang kafir. Dengan diberikannya zakat mereka, orang-orang kafir itu dapat diharapkan masuk Islam.
b.      Orang-orang muslim yang imannya lemah, tapi dihormati dan ditaati oleh kaumnya.
c.       Kelompok muslimin yang berada di perbatasan negeri musuh. Dengan diberikannya zakat kepada mereka, diharapkan mereka gigih dalam membantengi kaum muslimin ketika musih menyerang negeri Islam.
d.      Kaum muslimin yang dibutuhkan tenaganya untuk mengambil zakat dari orang-orang yang tidak mau membayarnya, kecuali melalui kekuatan dan pengaruh kaum muslimin tersebut.[14]
2.      Riqab (Memerdekan Budak)
Yang dimaksud dengan budak disini mencakup:
a.       Budak mukattab, yaitu yang telah dijanji oleh tuannya akan merdeka apabila melunasi harga dirinya yang telah ditetapkan.
b.      Budak-budak biasa.
Budak mukattab dibantu dengan harta zakat untuk membebaskan mereka dari belenggu perbudakan, sedangkan budak biasa dibeli dengan harta itu lalu dibebaskan.
3.      Gharimin (Orang-orang yang Berutang)
Gharimin adalah orang yang berhutang dan sukar untuk membayarnya.[15]Orang yang berutang ada dua macam. Pertama, orang yang berutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri atau membebaskan diri dari maksiat, misalnya untuk nafkah, pakaian, melaksanakan perkawinan, mengobati orang sakit, mendirikan rumah, mengawinkan anak dan mengganti barang orang lain yang dirusaknya karena kesalahan atau lupa. Kedua, orang yang berutang untuk kemaslahatan orang lain maksudnya ia berutang untuk melayani kepentingan masyarakat.[16]
Besarnya zakat yang diberikan pada gharimin adalah sesuai kebutuhannya atau sebesar utang yang harus dibayarnya. Apabila utang tersebut sudah dilunasi olehnya bukan dari zakat maka ia wajib mengembalikan zakat tersebut.
4.      Fi Sabilillah (Orang yang Ada di Jalan Allah)
Yang dimaksud dengan jalan Allah adalah jalan yang menyampaikan sesorang kepada keridhaan-Nya berupa ilmu dan amal.[17]Bagian zakat fi sabilillah ini diperuntukkan bagi para pejuang sukarelawan yang tidak memiliki gaji dari negara, meskipun mereka orang-orang kaya. Bagian zakat ini juga dapat dimanfaatkan untuk menyiapkan segala keperluan pejuang, membangun rumah sakit, membuat jalan umum, meluaskan infrastruktur militer, membina dan mengirimkan para da’i, serta mengurus jama’ah haji dan umrah, sebab haji dan umrah termasuk fi sabilillah.
Adapun alokasi yang paling tepat untuk menditribusikan bagian fi sabilillah pada masa sekarang ini adalah apa yang disebutkan oleh Sang Reformasi Muslim Sayyid Rasyid Ridha, sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz, mengatakan: “Bagian fi sabilillah dari zakat perlu dialokasikan untuk usaha mengembalikan hukum Islam dan menjaganya dari sentimen orang kafir, dan ini lebih penting dari jihad. Alokasi lainnya adalah untuk kegiatan dakwah Islamiyyah dan mempertahankannya dengan pena maupun lisan jika kekuatan pedang tidak memungkinkan lagi digunakan.”[18]
5.      Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah mereka yang kehabisan belanja dalam perjalanan dan tidak dapat mendatangkan belanjanya dari kampungnya, walaupun ia orang yang berharta di kampungnya.[19]Para ulama sepakat bahwa musafir yang kehabisan bekal dijalan, boleh diberi sebagian dari zakat sekedar dapat mencakup keperluannya selama perjalanan kembali,sekalipun ia adalah orang kaya di tempat tinggalnya.Mereka menysaratkan perjalanan itu hendaklah dalam melakukan ketaatan atau tidak dalam kemaksiatan. Orang yang termasuk golongan ibnu sabil:
a.       Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, baik karena salah perhitungan, tersesat, hilang dicuri atau dirampok, dan lain-lain, sedangkan ia sendiri tidak mendapatkan suatu cara untuk mendapatkan bekal yang ia butuhkan.
b.      Musafir yang bermaksud hendak mengadakan perjalanan untuk kemaslahatan Islam dan umatnya bukan untuk maksiat, akan tetapi tidak mendapatkan biaya.
c.       Orang yang diusir dan minta suaka.
d.      Tuna wisma, yaitu orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak, sehingga mereka menjadikan pinggir-pinggir dan lorong-lorong jalan sebagai rumahnya. Mereka antara lain anak jalanan.
e.       Anak buangan, yakni anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya (keluarganya).[20]




[1] Ahmad Azharruddin Latif, dkk, Pengantar Fiqih, (Jakarat: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 67
[2]Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 80.
[3]Syukri Ghozali dkk, Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, 1991/1993), h. 141.
[4] Husayn Syahatah, Akuntansi Zakat, (Jakarta: Pustaka Progressif, 2004), h. 128
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzan dan Abdul Wahhab Al-Hakam Sayyed Hawwas , Fiqh Ibadah,  (Jakarta: Amzah, 2009),  h. 370.
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzan dan Abdul Wahhab Al-Hakam Sayyed Hawwas , Op. Cit,  h. 367.
[7] Muhammad Ssyyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009), h. 627.
[8] Arif Mufraini, Op. Cit, h. 81.
[9] Abdul Aziz Muhammad Azzan dan Abdul Wahhab Al-Hakam Sayyed Hawwas , Op. Cit, h. 372.
[10] Muhammad Ssyyid Sabiq, Op. Cit, h. 631-632.
[11] Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat, (Surakarta: Tiga Serangaki, 2008), h. 212
[12] Al-Furqon Hasbi,  Ibid , h. 212-213
[13] Abdul Aziz Muhammad Azzan dan Abdul Wahhab Al-Hakam Sayyed Hawwas , Op. Cit, h. 373
[14] Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 677-678
[15] Sayyid Sabiq, Op. cit., h. 683
[16] Farida Prihatini dkk, Op. cit., h. 83
[17] Sayyid Sabiq , Op. cit., h. 685
[18] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Op. cit., h. 417
[19] Farida Prihatini dkk, Op. cit., h. 85
[20]Ibid., h. 85-86