Metodologi study islam

Metodologi Penelitian berasal dari kata ”metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan ”logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun laporan.
Menurut David H.Penny, penelitian adalah pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pmecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta. Menurut Sutrisno Hadi MA, sesuai dengan tujuannya penelitian dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Sedangkan menurut Mohammad Ali, penelitian adalah suatu cara untuk memahami sesuatu dengan melalui penyelidikan atau melalui usaha mencari bukti-bukti yang muncul sehubungan dengan masalah itu, yang dilakukan secara hati-hati sehingga diperoleh pemecahannya.
Metodologi penelitian pada hakikatnya merupakan operasionalisasidari epistemologi ke arah pelaksanaan penelitian. Epistemologi memberi pemahaman tentang cara atau teorimenemukan dan menysun pengetahuan dari ide. Materi dari kedua-duanya serta merujuk pada penggunaan rasio, intuisi, fenomena, atau dengan metode ilmiah(Rusidi, 2004: 3). Sehingga sebagaimana menemukan atau menyusun pengetahuan memerlukan kajian atau pemahaman tentang metode-metode.
Dalam pengertian ini perlu dibedakan antara metode dan tehnik secara keilmuan, metode dapat diartikan sebagai cara berfikir, sedangkan teknik diartikan sebagai cara melaksanakan hasil berfikir. Jadi dengan demikian metodolgi itu diartikan sebagai pemahaman metode-metode penelitian dan pemahaman teknik-teknik penelitian. Makna penelitian secara sederhana adalah bagaimana mengetahui sesuatu yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur yang sistematis.


Studi Islam (Islamic Studies) adalah salah satu studi yang mendapat perhatian dikalangan ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.     

Islam sebagai agama ajaran-ajaran tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan tetapi mencakup pula berbagai persoalan seperti  ekonomi, social, budaya, dan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan Islam masa awal  telah mengalami perkembangan, terkait erat dengan persoalan-persoalan historis cultural. Perkembangan tersebut dapat diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek social keagamaan, sehingga benang merah yang memisahkan antara wilayah agama an sich, dan wilayah-wilayah social dan budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri, menjadi tidak jelas.

Islam seperti agama-agama lainnya pada level historis empiris sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk dan berkait kelindannya “agama” dengan berbagai “kepentingan” social kemasyarakatan menambah rumitnya mengatasi persoalan agama.

Perjalanan panjang sejarah Islam yang terhitung mulai dari abad 7 H sampai dengan abad ke 15 H dewasa ini, menjadikan Islam sebagai agama yang merambah keberbagai wilayah didunia, karena sesuai dengan misinya sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam pun pernah menjadi kekuatan dan  bagian penting dalam sejarah peradaban dunia.

Salah satu persoalan mendesak untuk segera dipecahkan adalah masalah metodologi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan dikalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komperehensif adalah tidak menguasai metodologi. Kelemahan ini semakin terasa manakala umat Islam, khususnya di indonesia, tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi konsumen pemikiran. Jadi kelemahan umat islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi namun lebih pada cara-cara penyajian materi yang dikuasai.

Kedua, ada anggapan bahwa studi Islam dikalangan   ilmuwan telah merambah ke berbagai wilayah. Misalnya, studi Islam sudah masuk kestudi kawasan, filologi, dialog, agama, antropologi, arkeologi, dsbnya.  

Disamping itu juga, perbedaan bentuk ekspresi dan karakteristik Islam antara satu wilayah dengan yang lainnya membuka wacana mengenai hubungan antara hal-hal yang bersifat normatif dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas sangat penting dalam rangka menguraikan esensi atau substansi dari ajaran yang nota benenya sudah terlembagakan, apalagi dalam konteks saat ini.

Selain itu, untuk menghidari terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan secara distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif.
Manfaat mempelajari Metodologi Studi Islam.
  • Dengan mempelajari metodologi studi Islam akan memberikan ruang dalam pemikiran yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap bahwa ajaran Islam klasik dianggap sebagai taken for granted. Hal ini didasari atas adanya  pujian paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam dewasa ini justru disebabkan oleh keberhasilannya yang gilang gemilang pada masa lalu. Baik karena keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan budaya masa lalu yang amat kaya dan menakjubkan, maka seakan tidak ada lagi ruang bagi umat Islam dewasa ini untuk melakukan inovasi, yang ada adalah melakukan konservasi, revitalisasi, dan kembali kepada kaidah-kaidah lama yang dipersepsikan sebagai zaman keemasan. Kuatnya memori of the past yang kemudian menjadi semacam ideologi yang disakralkan, maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki dunia tersendiri. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa melihat dan menerima realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu bukanlah dunia yang kita huni hari ini.  
  • Mengimbangi alur pemikiran keagamaan yang seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan yang bersifat teologis-partikularistik. Hampir semua pengamatan sosial keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan’ umat. Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak dapat terhindarkan. (Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 13) Lebih lanjut Amin Abdullah menjelaskan ada dua ciri menonjol corak pemikiran teologis. Pertama, pemikiran teologis menekankan perlunya personal commintment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Agama adalah persoalan hidup dan mati (ultimate concern). Pemeluk agama tertentu akan akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih hingga rela berkorban. Di sini agama erat kaitannya dengan emosi. Kedua, ‘bahasa” yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku” atau pemain” (actor) bukan bahasa pengamat atau peneliti dari luar (spectator). Karenanya kesetiaan pada agama berimplikasi menyeluruh terhadap kehidupannya (Ibid, 50)
  • Dapat mendialogkan ilmu humaniora klasik seperti Fikih, Hadits, Kalam, Ulumul Qur’an dengan ilmu-ilmu humaniora kotemporer sehingga Islam dapat dijadikan sebagai ajaran yang mampu menjadi obat mujarab dalam mengatasi masalah kekinian.
Objek Pembahasan Metodologi Studi Islam

Islam sebagai agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-praktik kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, namun sebaliknya inheren di dalam diri mereka standar nilai dan moralitas.

Kemudian Dalam perjalanan panjang Islam, Islam mengalami asimilasi, perkembangan-perkembangan akibat adanya berbagai macam pemahaman yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh agama, ulama, pemikir-pemikir Islam. Dalam istilah Komarudin Hidayat Wahyu  ketika dilangit bersifat maskulin (tunggal), namun ketika membumi bersifat feminis. Hal ini berarti bahwa penafsiran terhadap wahyu al-Qur’an mengalami perkembangan  tidak hanya tekstual tetapi memahami wahyu al-Qur’an secara kontekstual.

Oleh sebab itu, Obyek kajian dalam Islam tidak hanya membahas tentang persoalan trasedental namun membahas hal lain yang menyangkut persoalan-persoalan ketika agama membumi. Berikut obyek kajian dalam studi Islam :
  • Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja, masjid, ummah) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat beriman ke dalam suatu konteks global.
  • Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek; penyembahan yang terus menerus, sakramen, dan upacara-upacara. Sakramen biasanya berkaitan dengan perjalanan kehidupan yang luar biasa, kelahiran, inisiasi (upacara tapabrata), perkawinan dan kematian. Upacara-upacara sering merayakan tanggal kelahiran atau peristiwa-peristiwa besar lainnya dari kehidupan tokoh-tokoh-tokoh besar seperti yesus, Musa, Muhammad, Krishna dan Budha. Aktivitas penyembahan, sangat beragam dari segi frekuensi, watak, dan signifikansinya namun seluruh agama memilikinya.
  • Etika; seluruh tradisi memiliki keinginan mengkonseptualisasikan dan membimbing kearah kehidupan yang baik, dan  semua menyepakati persoalan-persoalan dasar seperti keharusan menghindari kebohongan, mencuri, pembunuhan, membawa aib keluarga, mengingkari cinta. Tradisi-traisi monoreistik menyerukan agar mencintai manusia dan Tuhan, sedang tradisi-tradisi timur lebih cendrung menyerukan concernetis kepada alam.
  • Keterliban social dan politis; komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat dalam masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaftasi dengannya kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti dalam agama-agama primal.
  • Kajian teks dan Kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci dalam kitab suci atau tradisi oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengenyampingkan agama-agama primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebagai suatu canon (peraturan-peraturan). (Di Jerman, hingga hari ini, kajian-kajian terhadap bahasa, budaya dan agama merupakan inti dari studi Islam yang dipelajari, dan di universitas lebih dikenal sebagai Orientalische Seminar. Diantara pemula pakar bahasa Arab dari Jerman adalah Johan Jokab Reiske (1716-1774). Kajian-kajian bahasa Arab berkembang secara luas di Eropa sejak permulaan abad ke-19. Salah satu dari ahli-ahli dalam bidang ini adalah seorang sarjana Perancis A.I. Sylvestre de Sacy. Lihat Jacques Waardenburg, Studi Islam di Jerman, dalam Azim Nanji (ed),  Peta Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 2003), 3)
  • Konsep atau doktrin
  • Estetika; dalam tingkat akar rumput di sepanjang sejarah, estetika merupakan hal yang signifikan. Ikonografi di taj mahal dan parmadani di Persia
  • Spiritualitas yang menekankan sisi dalam (batin) dari agama. (Frank Whaling, Pendekatan Teologis, dalam Peter Connoly (ed.) Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKIS, 1999), 321) Spritualitas Muslim dalam makna luas dengan jelas mengekpresikan dirinya dalam berbagai cara dan bentuk yang sangat berbeda, dari kesalehan yang lebih tradisional kepada bentuk-bentuk pengalaman mistik pribadi, dalam berbagai ekspresinya yang berbeda, dari pengalaman Hadis kepada puisi yang mengisyaratkan pada yang absolut. Meskipun selalu ada banyak referensi bagi ‘’isyarat-isyarat” Tuhan, isyarat-isyarat tersebut memainkan peran yang sangat berbeda dalam berbagai cara yang berbeda pula. (Lihat Jacques Waardenburg, Studi Islam dan sejarah Agama-Agama, Sebuah Evaluasi, dalam Azim Nanji (ed),  Peta Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 2003), 308)
bacaan lebih lanjut: SARJANAKU