Islam sebagai agama bisa dilihat dari berbagai dimensi; sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Apa yang diyakini oleh seorang muslim, boleh jadi sesuai dengan ajaran dan aturan Islam, boleh jadi tidak, karena proses seseorang mencapai suatu keyakinan berbeda-beda, dan kemampuannya untuk mengakses sumber ajaran juga berbeda-beda. Diantara penganut satu agama bisa terjadi pertentangan hebat yang disebabkan oleh adanya perbedaan keyakinan. Sebagai ajaran, agama Islam merupakan ajaran kebenaran yang sempurna, yang datang dari Tuhan Yang Maha Benar. Akan tetapi manusia yang pada dasarnya tidak sempurna tidak akan sanggup menangkap kebenaran yang sempurna secara sempurna. Kebenaran bisa didekati dengan akal (masuk akal), bisa juga dengan perasaan (rasa kebenaran). Kerinduan manusia terhadap kebenaran ilahiyah bagaikan api yang selalu menuju keatas. Seberapa tinggi api menggapai ketingian dan seberapa lama api itu bertahan menyala bergantung pada bahan bakar yang tersedia pada setiap orang. Ada orang yang tak pernah berhenti mencari kebenaran, ada juga yang tak tahan lama, ada orang yang kemampuannya menggapai kebenaran sangat dalam (atau tinggi), tetapi ada yang hanya bisa mencapai permukaan saja.
A. Pengertian Dimensi dan Aliran Pemikiran Islam.
o Dalam penggunaan umum menurut Wikipedia, dimensi berarti parameter atau pengukuran yang dibutuhkan untuk mendefinisikan sifat-sifat suatu objek-yaitu panjang, lebar, dan tinggi atau ukuran dan bentuk. Pengertian dimensi dalam Kamus Oxford yaitu dari kata “dimension” artinya :
-  Ukuran dari panjang, lebar atau berat dari sesuatu.
-  Ukuran dan luas dari suatu situasi.
- Aspek atau cara untuk melihat suatu permasalahan.
o Pengertian aliran dalam Kamus Oxford yaitu “ideology” yang artinya suatu kepercayaan yang dianut oleh  kelompok atau seseorang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) haluan; pendapat; paham (politik, pandangan hidup, dsb).
o Pengertian pemikiran Islam yaitu pandangan atau kepercayaan dari kelompok atau seseorang terhadap Islam. Pemikiran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)adalah proses, cara, perbuatan memikir: problem yg memerlukan dan pemecahan; Dalam proses pemikiran seorang individu mengirimkan hasil penginderaannya terhadap suatu realitas ke dalam otak melalui alat-alat indera, dan kemudian menghubungkan hasil penginderaannya itu dengan informasi awal tentang realitas tersebut, hingga menghasilkan sesuatu yang disebut pemikiran. Suatu pemikiran juga acapkali disandarkan pada kaidah dasar (al-qa’idah al-asasiyyah) yang menjadi landasan pemikiran tersebut sehingga dinyatakan, misalnya pemikiran Islam. Disebut demikian karena kaidah dasar yang membangun pemikiran tersebut adalah aqidah Islam. Pemikiran Islam adalah upaya menilai fakta dari sudut pandang Islam dengan demikian pemikiran Islam mengandung tiga hal, yaitu fakta, hukum, dan keterkaitan fakta dengan hukum.
o Dari pengertian dimensi, aliran dan pemikiran Islam dapat disimpulkan bahwa dimensi pemikiran Islam yaitu aspek atau cara untuk melihat suatu permasalahan pada pandangan atau kepercayaan dari kelompok atau seseorang terhadap Islam. Sedangkan pengertian aliran pemikiran Islam yaitu suatu kepercayaan atau pandangan yang dianut oleh seseorang atau kelompok yang bercorak Islam.
B. Dimensi Islam.
Dimensi Islam terbagi dalam Islam, Iman dan Ihsan.
Di dalam Islam dan iman terkumpul agama secara keseluruhan. Sebagaimana Nabi SAW membedakan Islam, iman dan ihsan. Dalam hadits berikut Bukhori dan Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah,
Pada suatu hari kami (Umar r.a. dan para sahabat r.a.) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Lalu Rasulullah Saw menjawab, 
الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Islam adalah engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya”
Laki-laki itu berkata lagi: Beritahukan aku tentang iman. Rasulullah saw. menjawab:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan qadar (ketentuan) Allah yang baik dan yang buruk.”
Laki-laki itu berkata lagi: Beritahukan aku tentang Ihsan itu. Rasulullah saw. menjawab:
َنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Pembahasan secara berurutan pengertian istilah-istilah di atas  yaitu Islam, iman dan akhirnya ihsan dilakukan tanpa harus dipahami sebagai pembuatan kategori-kategori  yang terpisah sebagaimana sudah diisyaratkan  melainkan karena keperluan untuk memudahkan pendekatan analitis belaka. Dan  di akhir  pembahasan  ini  kita  akan  mencoba  melihat relevansi nilai-nilai keagamaan dari iman,  Islam  dan  ihsan  itu  bagi hidup  modern,  dengan  mengikuti pembahasan oleh seorang ahli psikologi yang sekaligus seorang pemeluk  Islam  yang  percaya pada  agamanya  dan mampu menerangkan bentuk-bentuk pengalaman keagamaan Islam.
a. Islam
Islam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. berpedoman pada kitab suci Alquran yg diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt. Dimensi Islam mempunyai lima penyangga (rukun): Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa Ramadhan dan Haji, Dimensi Islam dibahas secara mendalam dalam buku-buku tentang Ilmu Fiqh. Ada dua sisi yang kita dapat gunakan untuk memahami pengertian agama islam, yatu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dari segi kebahasan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. 
Senada dengan pendapat diatas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat dan sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat, sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk , patuh, dan taat. Dari pengertian itu, kata islam dekat dengan arti kata agama yang berarti mengusai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.
Rasulullah saw banyak menamakan beberapa perkara dengan sebutan Islam, umpamanya: taslimul qalbi (penyerahan hati), salamat unnas minal lisan wal yad (tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan tangan), memberi makan, serta ucapan yang baik. Semua perkara ini, yang disebut Rasulullah sebagai Islam mengandung nilai penyerahan diri, ketundukkan dan kepatuhan yang nyata.
Ada indikasi bahwa Islam adalah  inisial  seseorang  masuk  ke dalam  lingkaran  ajaran  Ilahi. Sebuah  Ayat Suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah  beriman  tapi Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam,  sebab  iman  belum masuk  ke  dalam  hati  mereka  (QS. al-Hujarat:14). Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam  konteks firman  itu,  kaum  Arab  Badui tersebut barulah tunduk kepada Nabi secara lahiriah, dan itulah  makna  kebahasaan  perkataan "Islam",  yaitu  "tunduk" atau "menyerah." Tentang hadits yang terkenal yang menggambarkan  pengertian  masing-masing  Islam, iman  dan  ihsan,  Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur: Islam, iman  dan  ihsan,  yang  dalam ketiga  unsur  itu  terselip  makna  kejenjangan:  orang mulai dengan Islam, berkembang ke  arah  iman,  dan  memuncak  dalam ihsan. 
Selanjutnya,  penjelasan  yang  sangat  penting  tentang makna "al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakanbahwa  "al-Islam"  mengandung dua makna adalah: pertama, ialah sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong;  kedua,  ketulusan dalam  sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa. Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik, dan  ia  adalah  seorang hamba yang berserah diri hanya kepada Allah.. 
Hukum Islam terwujud dan terbukti dengan dua kalimat syahadat, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa ramadlan dan menunaikan haji ke Baitullah. Ini semua adalah syiar-syiar Islam yang paling tampak. Seseorang yang melaksanakannya berarti sempurnalah penghambaannya. Apabila ia meninggalkannya berarti ia tidak tunduk dan berserah diri. Lalu penyerahan hati, yakni ridla dan taat, dan tidak menggangu orang lain, baik dengan lisan maupun tangan, ia menunjukkan adanya rasa ikatan ukhuwah imaniyah. Sedangkan tidak menyakiti orang lain merupakan bentuk ketaatan menjalankan perintah agama, yang memang menganjurkan kebaikan dan melarang mengganggu orang lain. Ketaatan seseorang dengan hal tersebut merupakan gambaran yang nyata tentang Islam. Hal tersebut mustahil dapat terwujud dengan pembenaran dalam hati (iman). Dan berbagai hal itulah yang disebut dengan Islam.
b. Iman
Menurut bahasa iman berarti pembenaran dalam hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iman adalah  kepercayaan yang berkenaan dengan agama; keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, Nabi, kitab,  yang tidak akan bertentangan dengan ilmu dapat pula berarti   ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin.
Sedang iman menurut pandangan para ulama terdahulu, diantaranya adalah pendapat Imam Al-Baghawi r.a., beliau berkata :”Para sahabat, Tabi’in, dan para ulama sunnah mereka bersepakat bahwa amal shalih adalah bagian dari iman. Mereka berkata bahwasannya iman terdiri dari ucapan dan perbuatan serta keyakinan. Iman bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam r.a. berkata:
”Pandangan ahlus sunnah yang kami ketahui adalah apa yang disampaikan oleh para ulama kita yang kami sebutkan di kitab-kitab kami, yakni bahwa iman itu meliputi kumpulan niat (keyakinan), ucapan , dan amal perbuatan”. dimensi Iman memiliki enam penyangga
(rukun) yang harus diyakini, yaitu: Allah, Malikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir dan Taqdir. Dimensi Iman dibahas secara mendalam dalam buku-buku (disiplin) ilmu  Tauhid dan ilmu Kalam.
Pengertian iman secara umum, yaitu sikap percaya, dalam hal ini khususnya  percaya  pada  masing-masing rukun  iman  yang  enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya pada masing-masing rukun iman itu  memang  mendasari  tindakan seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu adalah wajar dan benar.
Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak  cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau eksternalisasinya  dalam  tindakan-tindakan. Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi  bahwa  iman  mempunyai  lebih dari  tujuh  puluh  tingkat,  yang  paling tinggi ialah ucapan Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah  menyingkirkan bahaya di jalanan.
Keterpaduan   antara   iman   dan  perbuatan  yang   baik  juga dicerminkan dengan jelas dalam sabda  Nabi  bahwa  orang  yang berzina,  tidaklah  beriman  ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak tidaklah beriman  ketika  ia  meminum  arak,  dan orang  yang  mencuri  tidaklah  beriman ketika ia mencuri, dan seseorang  tidak  akan  membuat  teriakan  menakutkan    yang mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman.
Berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna  iman  dapat  berarti sejajar  dengan  kebaikan  atau  perbuatan baik. Ini dikuatkan oleh adanya riwayat tentang orang yang  bertanya  kepada  Nabi tentang  iman,  namun  turun  wahyu  jawaban tentang kebajikan (al-birr), yaitu:
Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci dan  sunnah  Nabi  sering  memiliki  makna  yang  sama   dengan perkataan  kebajikan  (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din) pada  Tuhan  (al-din).
Dalam bahasa Inggris, pada umumnya kita tidak bisa membedakan antara istilah faith dan belief  namun, Wilfred, Cantwell Smith menggarisbawahi bahwasanya istilah faith sekalipun tanpa mempertimbangkan konteks bahasa Arab perlu dibedakan dengan istilah belief. Ketika kita mengatakan “people believe in something” yang dimaksudkan adalah bahwasanya mereka memiliki keyakinan bahwa sesuatu tersebut benar, namun kita sering menjumpai bahwasanya mereka salah dan bertentangan dengan bukti yang meyakinkan. Dalam bahasa Islam, istilah Iman  tidak mengandung konotasi negatif seperti itu. Iman melibatkan keyakinan akan sebuah kebenaran sejati, bukan kebenaran prasangka. Selanjutnya istilah faith berarti bahwasanya masyarakat memiliki keyakinan tersebut, maka mereka mengikat diri mereka untuk bertindak berdasarkan kebenaran yang mereka ketahui.
Nabi Muhammad mendefenisikan kata iman dengan sabdanya, “iman adalah sebuah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan dan aktivitas anggota badan”. Jadi, iman melibatkan pengakuan, pengucapan dan perbuatan.
c. Ihsan (kebajikan)
Dalam hadits yang disinggung di atas, Nabi menjelaskan, "Ihsan ialah  bahwa  engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau  tidak  melihat-Nya,  maka sesungguhnya Dia melihat engkau."  Maka  ihsan  adalah  ajaran tentang  penghayatan  pekat  akan  hadirnya Tuhan dalam hidup, melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap  dan  berada di depan hadirat-Nya ketika beribadat. 
Ihsan adalah pendidikan atau latihan untuk mencapai dalam  arti  sesungguhnya.  Karena itu, ihsan menjadi puncak tertinggi keagamaan manusia. Ia  tegaskan  bahwa  makna Ihsan  lebih meliputi daripada iman, dan karena itu, pelakunya adalah lebih khusus daripada  pelaku  iman, sebagaimana  iman lebih  meliputi  daripada  Islam, sehingga  pelaku iman lebih khusus  daripada  pelaku  Islam. Sebab  dalam Ihsan sudah terkandung  iman  dan  Islam,  sebagaimana  dalam  iman   sudah terkandung Islam. Kemudian, kata-kata ihsan itu sendiri secara  harfiah  berarti "berbuat baik." Seorang yang ber-ihsan disebut muhsin, sebagai seorang  yang  ber-iman  disebut  mu'min  dan  yang   ber-Islam disebut muslim. Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah  yang  paling baik  ahlaqnya.
Ihsan dalam arti akhlaq mulia atau pendidikan ke  arah  akhlaq mulia   sebagai  puncak  keagamaan  dan yang  dimasukkan ke dalam surga ialah orang yang bertaqwa kepada Allah dan memiliki keluhuran budi pekerti. 
Ihsan memiliki tiga macam tindakan utama yakni:
Berbuat kebajikan terhadap sesama, baik itu dengan lisan dengan harta maupun dengan tindakan (tenaga) dengan mengintegrasikan agama (dinul Islam) pada seluruh segi kehidupan serta memasukkan kehidupan itu sendiri ke dalam irama-irama ibadah dan tatanan nilai yang ditentukan oleh agama yang melahirkannya. Dalam hal ini, ihsan (kebajikan) telah menciptakan suatu keutuhan yang direfleksikan dalam tindakan dan perbuatannya dengan tanpa pamrih.
Melakukan suatu ibadah dengan penuh kesadaran dan keikhlasan yang senantiasa berhubungan dengan kehadiran Tuhan bersinar di dalam jiwa manusia melalui prinsip-prinsip tentang realitas dan sesuai dengan kebenarannya yang terletak dalam inti ajaran Islam, karena Islam itu sendiri didasarkan pada sifat realitas.
Merenungkan dan memikirkan Tuhan Yang Maha Esa dalam segala sesuatu dan setiap tarikan dan hembusan nafas, karena substansi sesungguhnya dari makhluk Tuhan adalah pengentalan nafas Yang Maha Pengasih (nafas Al'Rahman) yang ditupkan pada pola-pola dasar (al-a'yan al-tsabitah) kemudian melahirkan alam.
Sebetulnya, antara entitas Iman dan  Islam  ini kompleks, karena di situ dilengkapi dengan unsur Ihsan. Unsur Ihsan ini tidak seperti rel kereta api yang tidak saling ketemu antara yang satu dengan yang lain. Sekarang, tugas para ilmuwan, muballigh, dan juga pimpinan masyarakat, bagaimana mencari hubungan ketiganya yang, lebih manusiawi. karena dimensi Ihsan sebetulnya sangat terkait, selain ukhrawi, juga lebih tampak insani. Bukan tidak mungkin ketika dimensi Ihsan kemanusiaan tidak dilengketkan dengan iman dan Islam.
C.  Aliran Pemikiran Islam
Sebagaimana yang telah dipelajari dalam dimensi Islam yakni Iman yang merupakan salah satu dari tiga sendi utama dalam Islam, dalam pembahasan yang mendalam mengenai Iman maka melahirkan salah satu ilmu yang disebut dengan Ilmu Kalam., sedangkan pelajaran yang lebih mendalam mengenai Ihsan maka akan melahirkan salah satu cabang ilmu Islam yang disebut dengan ilmu Tasawuf.
1) . Aliran Kalam.
Agama islam yang diyakini sebagai agama “Rahmatan Lil A’lamiin” oleh penganutnya ternyata tidak selamanya bersifat positif. Salah satu buktinya adalah adanya tahkim. Peristiwa inilah yang membuat islam menjadi terpecah, paling tidak ada 3 kelompok, yaitu :
1. Pendukung Mu’awiyah diantaranya Amr Bin Ash.
2. Pendukung Ali Bin Abi Thalib, diantaranya Musya Al-Asyari.
3. Umat islam yang membelot/menentang terhadap Ali Bin Abi Thalib (Khawarij), pelopornya adalah A’tab bin A’war, Urwah bin Jarir. 
Khawarij memiliki ajaran memiliki ajaran dan menjadi ciri utama ajaran ini, yaitu ajaran tentang pelaku dosa besar (Murtakib Al-Kabair). Menurut aliran ini, orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil hakim telah melakukan dosa besar, orang yang telah melakukan dosa besar menurut pandangan mereka berarti telah kafir, kafir setelah memeluk islam berarti murtad dan orang murtad halal dibunuh, berdasarkan sebuah hadits Nabi Muhammad saw: “Man Baddala Dinah faktuluuh”. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Amr bin Ash dan sahabat-sahabat lain yang yang menyetujui tahkim, namun yang berhasil yang mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib. Disamping itu mereka mencela Umar bin Khattab, orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan perang siffin.
Kesimpulannya mereka beranggapan kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang “diperintahkan” oleh agama, bagi mereka pembunuhan terhadap orang-orang yang dinilai telah kafir adalah “ibadah”. Khawarij merupakan aliran teologi pertama dalam islam.
Amir Al-Najjar berkesimpulan bahwa penyebab tumbuh dan berkembangya aliran kalam adalah pertentangan dalam bidang politik, yakni Imamah dan Khilafah. Kelompok Murji’ah yang dipelopori oleh Ghilam Al-Dimasyqi berpendapat mereka bersifat netral dan tidak mau mengkafirkan para sahabat yang terlambat dan menyetujui tahkim dalam ajaran aliran ini, orang islam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukum kedudukannya dengan hukum dunia. Mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga, kedudukan mereka ditentukan di akhirat.
Dan bagi mereka Iman adalah pengetahuan tentang Allah secara mutlak. Sedangkan kufur adalah ketidaktahuan tentang Tuhan secara mutlak, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang..Qodariah adalah aliran yang memandanga bahwa manusia memiliki kekuatan (qudrah) untuk menentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan perbuatannya.
Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya. Mereka hidup dalam keterpaksaan (Jabbar). Dengan demikian kita sudah mengenal 4 aliran kalam, yaitu Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan Jabariyah. Qadariyah dan Jabariyah pada dasarnya lebih mendekati paham, bukan aliran, sesab kedua ajaran itu karena yang bersifat antroposentris dan bersifat teosentris disebarkan oleh penganut Khawarij.
Setelah empat aliran itu, muncul aliran yang berdasarkan Analisis Filosofis, kelompok ini banyak menggunakan kekuatan akal sehingga diberi gelar “Kaum Rasionalis Islam” dan dikenal dengan nama “Muktazilah” yang didirikan oleh Washil bin Atha.
Aliran ini ditentang oleh orang Muktazilah itu sendiri yang kemudian membentuk aliran Asy ariyah oleh Imam Al-Asy’ari, menurut Abu Bakar Ismail Al-Qairawani adalah seorang penganut muktazilah selama 40 tahun, kemudian menyatakan diri keluar dari muktazilah. Setelah itu mengembangkan ajaran yang berhubungan terhadap gagasan-gagasan muktazilah yang dikenal dengan aliran As ‘ariyah..
2) . Aliran Tasawuf.
Menurut etimologi , yaitu Ahlu suffah  kelompok orang pada zaman rasulullah hidupnya banyak di serambi serambi mesjid mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alah. Ada lagi mengatakan Tasawuf berasal dari kata shafa ( fi’il mabni majhul) orang yang bersih dan suci, orang yang menyucikan dirinya Dihadapan Allah.. Ada yang mengartikan berasal dari bahasa Yunani saufiI yang berarti kebijaksanaan. shuf yang berarti bulu domba (wol).
Tasawuf berdasarkan istilah, (1) menurut Al-Jurairi, Memasuki segala budi (Akhlak) yang bersifat suni dan keluar dari budi pekerti yang rendah. (2) Menurut AlJunaidi , ia memberikan rumus bahwa tasawuf adalah bahwa yang hak adalah yang mematikanmu dan Hak-lah yang menghidupkanmu. Ada beserta Allah tanpa adanya penghubung.
Dari segi kebahasan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos(bahasa Yunani:hikmah), dan suf (kain wol kasar).
Jika diperhatikan secara saksama, tampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan kedekatan dengan Tuhan. Kata ahl al-suffah misalnya menggambarkan keadaan orang yang mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lainnya sebagai kekayaan, harta benda dan sebagainya yang ada di Makkah untuk ditinggalkan karena ikut hijrah bersama nabi ke Madinah. Tanpa ada unsur iman dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidaklah mungkin hal demikian mereka lakukan.
Dengan demikian dari segi kebahasan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan. Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan al-quran.
Dalam  kaitannya  dengan  pendidikan akhlaq mulia kita melihat hubungan ihsan dengan ajaran kesufian  atau  tasawuf.  Menurut K.H.  Muhammad  Hasyim  Asy'ari, dengan mengutip Kitab Futuhat al-Ilahiyyah, ada delapan  syarat  yang  harus  dipenuhi  oleh orang  yang  bakal  menjalankan  thariqat: 
   Qashd   shahih, artinya, dalam  menjalani  thariqat  itu  ia  harus   mempunyai tujuan  yang benar, yaitu niat menjalaninya sebagai ubudiyyah, yakni penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar (al-Haqq), dan  berniat  memenuhi  haqq al-rubbiyyah, yakni hak Ketuhanan Allah Ta'ala, bukan untuk meraih keramat  atau  pangkat,  juga bukan untuk memperoleh hasil yang bersifat nafsu seperti ingin dipuji orang lain dan seterusnya;  
   Shidq  sharif,  artinya kejujuran  yang tegas, yaitu bahwa murid harus membenarkan dan memandang gurunya sebagai memiliki rahasia keistimewaan  (sirr al-khushushiyyah) yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi atau  hadlrat  al-ilahiyyah;  
   Adab  murdliyyah, artinya, tata krama  yang  diridhai,  yaitu  bahwa  orang yang mengikuti
thariqat harus menjalankan tatakrama  yang  dibenarkan  ajaran agama,  seperti  sikap  kasih  sayang  kepada orang yang lebih rendah,  menghormati  orang  lain  sesamanya  dan  yang   lebih tinggi, sikap jujur, adil dan lurus terhadap diri sendiri, dan tidak memberi  pertolongan  kepada  orang  lain  hanya   karena kepentingan  diri  sendiri; 
  Akwal zakiyyah artinya, tingkah laku yang bersih, yaitu bahwa orang  masuk  thariqat      tersebut tingkah lakunya  dan  ucapan-ucapannya  harus  sejalan dengan syari'at Nabi Muhammad  saw.;  
   Hifz  al-hurmah, artinya, menjaga  kehormatan, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat harus menghormati gurunya, hadir atau  gaib,  hidup  atau  pun mati, dan menghormati sesama saudara pemeluk Islam, tabah atas sikap-sikap permusuhan saudara, dengan menghormati orang  yang lebih  tinggi  dan cinta kasih kepada orang yang lebih rendah;
   Husn al-khidmah, artinya, orang yang masuk  thariqat  harus mempertinggi   mutu  pelayanannya  kepada  guru,  pada   sesame saudara  pemeluk  Islam,  dan   kepada   Allah swt. Dengan menjalankan segala perintah-Nya  dan menjauhi  segala larangannya al-shiddiq-un  dan  itulah  al-maqshud  al-a'dzham (tujuan agung) mengikuti thariqat; 
   Raf' al-himmah, artinya, mempertinggi mutu tekad hati, yaitu bahwa orang masuk thariqat tidak  karena  tujuan-tujuan  dunia  dan  akhirat  tapi karena hendak mencapai ma'rifat khashshah (ma'rifat atau  pengetahuan khusus   atau   istimewa)   tentang   Allah   swt.;  
   Nufudz al-'azimah, artinya, kelestarian tekad dan tujuan, yaitu bahwa orang  yang masuk thariqat harus menjaga kelestarian tekad dan tujuannya, memelihara kelanjutan menjalankan thariqatnya, demi meraih  ma'rifat  khashshah  tentang  Allah  Ta'ala,  dan bila melakukan  kebajikan  maka  ia  melakukannya  dengan lestari sehingga berhasil.
KH. Hasyim Asy'ari juga menegaskan bahwa tujuan menjalankan thariqat ialah mempertinggi  tata krama, abad atau akhlaq.
DAFTAR PUSTAKA
Madjid, Nurcholish, “Islam , doktrin dan peradaban”, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Su’ud, Abu, “ Islamologi”, Renika, Jakarta, 2003.
Mubarak, Jaih, “ Metodologi study islam”, Erlangga, Jakarta, 1999.
Muhaimin, dkk., “ Metodologi study islam”, Renaka, Jakarta, 2000.
Murata, Sachiko, “Trilogi islam ( Islam, iman, dan Ihsan)”, Raja Grafindo Persada, 
Jakarta, 1997.
