Perkawinan sirri adalah perkawinan rahasia, kadang kita kenal dengan Nikah bawah tangan atau mungkin dalam khasanah kajian hukum islam konteks nikah semacam ini mendekati istilah nikah yang kita kenal dengan nikah misy’ar.
Terkadang tidak diketahui oleh orang tuanya, seperti kawin lari, tidak diketahui oleh orang banyak dan tidak diketahui oleh pemerintah yang sah, dalam artian perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah.
Perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat adalah kasus yang lama sekali muncul dan hadir di tengah masyarakat, tetapi selama itu pula jeratan hukum begitu menyiksanya terutama bagi para istri. Hak dan kewajibannya dirampas oleh hukum atau Hakim. kajian perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat termasuk kajian etika terapan, karena perkawinan sirri dipandang menurut norma hukum dan norma agama. Padahal mempelajari norma hukum atau norma agama berarti mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat.
Jelas bagi kita bahwa perkawinan diadakan untuk menyelamatkan moral kebudayaan, sehingga prilaku seksual menyimpang dapat dikikis. Budaya freeseks yang sedang menjadi perhatian orang banyak merupakan budaya barat yang sangat merugikan secara hukum pada perempuan atau anak yang dikandungnya, karena pembelaan hak-hak anak, atau uang belanja istri menurut hukum diakui berdasarkan adanya perkawinan. Jika mereka tidak memiliki akta perkawinan, maka akan hilang begitu saja hak-haknya.
Menurut kajian ilmu hukum pencatatan adalah wajib, hal ini karena pencatatan menjadi alat pembuktian, yaitu pembuktian secara otentik. Sedangkan menurut norma agama pencatatan merupakan kesunatan, keberadaanya bukan menjadi syarat sahnya perkawinan akan tetapi menjadi wajib apabila sudah menjadi qanun atau undang-undang.
A. PENELITIAN, PELAKSANAAN DAN DAMPAK NIKAH SIRRI
Hasil Penelitian Yang Melatar Belakang Melaksanakan Nikah Sirri
Sebagaimana penelitian yang dilakukan melalui wawancara dengan responden yang dimulai dari tanggal 26 Oktober sampai 7 November 2006 yang bertempat di desa Nanggalamekar kecamatan Ciranjang Kab Cianjur dapat diketahui bahwa yang melatar belakangi mereka melaksanakan nikkah sirih yaitu 1) hamil diluar nikah 2) tiadak dapat izin/persetujuan dari istri 3) alasan ekonomi 4) tidak ingin diketahuai oleh istri 5) kurangnya kesadaran dan pemahaman masyrakat tentang pencatatan perkawinan 6) sulitnya aturan hukum berpoligami.
1.Hamil Diluar Nikah
Budaya barat yang merebak dan ditelan mentah-mentah mempunyai pengaruh besar dalam merubah prilaku dan pola pikir seseorang tanpa disaring terlebih dahulu, akibatnya pergaulan yang mereka lakukan terkadang melampaui batas, tidak lagi mengindahakan norma dan kaidah-kaidah agama. Akibatnya ada hal-hal lain yang timbul akibat pergaulan bebas seperti hamil diluar nikah.
Kehamilan yang terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib bagi keluarga yang akan mengundang cemoohan dari masyarakat. Dari sanalah orang tua menikahkan anaknya dengan laki-laki yang menghamilinnya dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga. Dan tanpa melibatkan petugas PPN, tetapi hanya dilakukan oleh mualim tanpa melakukan penctatan.
2.Tiadak Mendapat Izin/Persetujuan Istri
Maksudnya, seorang suami dengan sengaja meminta izin/persetujuan dari istri sebelumnya untuk melakukan poligami. Jika kita melihat aturan hukum undang-undang perkawianan No 1 tahun 1974 pernikahan yang kedua kalinya atau lebih harus mendapat izin dan persetujuan dari istri sebelumnya hal ini sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam pasal 5 undang-undang No 1 tahun 1974 yaitu adanya persetujuan dari istri-istri.
Hal senada dikemukakan oleh orang yang melakukan nikah siri di desa Nanggalamekar kecamatan Ciranjang Kab. Cianjur, dirinya melakukan pernikahan siri karena istrinya tidak mau dimadu atau tidak memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Sampai-sampai istrinya mengancam minta bercerai kalau dirinya dimadu. Dan dari sanalah suami timbul hasrat untuk melakukan nikah siri.
3.Alasan Ekonomi
Rukun Nikah yang telah menjadi ijma’ yakni Adanya mempelai laki-laki, Adanya mernpelai perempuan, Ada Wali (bagi si perempuan), Saksi nikah (minimal dua orang laki-laki), Adanya mahar (mas kawin), Ada aqad (ijab dari wali perempuan dan wakilnya dan qabul dari mempelai laki-laki, atau wakilnya).
Apabila pernikahan biasa, seorang pemuda selain harus membayar mas kawin yang mahal, juga menyediakan rumah dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar untuk ukuran kebanyakan.
Karena itu, banyak pria lebih memilih menikah dengan cara diam-diam yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta dengan tamu undangan seperti lumrahnya pernikahan biasa. Salah satu sebab utamanya adalah faktor ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara sirri yang penting halal.
4.Tidak Ingin Diketahui Oleh Istri
Alasanya tidak ingin diketahui oleh istri adalah seorang suami sengaja menikah secara siri tanpa meminta izin sebelumnya atau karena telah terikat janji dengan istri, dengan demikian, sisuami lebih leluasa untuk menikah dengan wanita lain tanpa adanya sepengetahuan istri. Hal ini hamir serupa dengan kejadian diatas.
5.Kurangnya Pemahan Dan Kesadaran Masyarakat Tentang Pencatan Pernikahan
Dengan pemahaman masyarakat yang sangat minim akibatnya kesadaran masyarakat pun mempengaruhi melaksanakan pernikahan siri. Adanya anggapan bahwa perkawinan yang dicatat dan tidak dicatat sama saja. Padahal telah dijelaskan dalam undang-undang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).”
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
6.Sulitnya Aturan Berpoligami
Di Indonesia, masalah poligami telah diatur dalam undang-undang No 1 Thn 1974 undang-undang tersebut menyiratkan betapa sulitnya berpoligami hal tersebut sengaja dilakukan untuk memperkecil kemungkinan adanya poligami dikalangan para pria yang telah menikah. Jika ditinjau dari kacamata agama bahwasannya islam telah mengsyariatkan seorang laki-laki muslim boleh berpoligami dengan syarat adil.
B.Pelaksanaan Pernikahan Sirri
Pelaksanaan nikah sirri yang terjadi didesa Nagalamekar sebenarnya tidak jauh berbeda dari pelaksannan pernikahan sebagaimana mestinya hanya perbedaaannya terletak pada resmi atau tidak resminya pernikahan itu sendiri. Dalam artian pernikahan secara resmi yaitu sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan No 1 Thn 74 sedangkan tidak resmi adalah sebaliknya.
C.Dampak Pernikahan Sirri
Sebenarnya Pernikahan sirri memiliki sisi positif dan negatifnya, hanya saja sisi positf tidak seimbang dengan dampak negatifnya. Menurut masyarakat desa Nanggalamekar pernikahan yang dilakukan selain cepat mudah, praktis dan ekonomis juga dapat menutupi aib dimata masyarakat apabila terjadi hamil diluar nikah. Seperti yang akan diterangkan dibawah ini:
A.Dampak Positf Pernikahan Sirri Dalam Keluarga Dan Masyarakat
Dengan melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka atau salah satunya tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing dengan akta perkawinan tersebut suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
a.Dampak Positif Dalam Keluarga
1.Hak-Hak Individu Dapat Tertutupi
Kepentingan-kepentingan orang yang melatar belakangi melaksanakan pernikahan sirri dapat tertutupi, salah satunya di desa Nanggalamekar misalnya si a dan si b melakuakan pernikahan sirri. Maka pernikahan sirrinya tersebut adalah upaya yang dilakukannya agar aib dalam keluarganya tertutupi sehingga, masyarakat tidak mengetahui seputar kehamilannya diluar nikah yang dialakukan oleh dirinya.
2.Hilangnya Kehwatiran Perjinahan
Hilangnya kehwatiran dalam perjinahan, seperti halnya yang terjadi terhadap sepasang remaja yang berada didesa Nanggalamekar. Dikarenakan keduanya sudah memiliki kecocokan dan daripada terjerumus kepada perjinahan. Maka, orang tua mereka segera menikahkan mereka secara sirri, dan dengan dasar faktor ekonomilah maka pernikahan mereka dilakukan dengan cara sirri (tidak dicatat dalam kua). Sehingga tidak ada kehawatiran dari masing-masing keluarga dan pernikahan yang dilakukanpun tidak melanggar agama.
b.Dampak Positif Dalam Masyarakat
1.Terperiharnya Nama Baik Kampung
Masyarakat beranggapan bahwa nikah sirri merupakan sarana yang efektif untuk menutupi aib yang terjadi dimasyarakat supaya tidak menyebar kekampung lain. Jika berita itu tersebar maka warga lain akan mengecap jelek semua warga kampung tersebut.
B.Dampak Negatif Pernikahan Sirri Pada Keluarga Dan Masyrakat
a)Dampak Negatif Dalam Keluarga
1.Adanya Perselisihan
Yang dimaksud perselisihan disini adalah pertengkaran/percekcokan yang terjadi dalam keluarga yang melakukan poligami. Percekcokan tersebut terjadi karena adanya ketidak adilan diantara istri pertama ataupun kedua. Percekcokan tersebut terjadi karena salah satu istri dikarenakan nikah sirri maka suami tidak mendaftarkan perkawian yang telah dilakukan kepada pejabat yang berwenang.
2.Terabaikannya Hak Dan Kewajiban
Terabaikannya hak dan kewajiban, seorang suami yang melakukan poligami mengabaikan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap istri pertamanya. Dikarenakan si suami lebih sering bersama istri mudanya sehingga si suami mengabaikan kewajibannya selaku suami.
3.Adanya Keresahan/Kehawatiran
Adanya keresahan/kehawatiran melaksanakan pernikahan sirri, dikarenakan tidak memiliki akta nikah. Mereka khawatir apabila berpergian jauh atau kemalaman dijalan mereka tidak dapat membuktikan bahwa mereka suami istri, sehubungan dengan banyaknya razia.
b)Dampak Negatif Dalam Masyarakat
1.Adanya Fitnnah
Resiko pernikahan sirri adalah timbulnya fitnah, masyarakat menggap bahwa perkawinan yang dilakuakan secara sirri merupakan upaya dirinya (pasangan yang menikah) untuk menutupi aib seputar kehamilan diluar nikah. Walaupun spekualsi tersebut belum tentu benar adanya.
2.Adanya Anggapan Poligami
Poligami, merupakan salah satu kecurigaan yang timbul di dalam masyarakat akibat pernikahan yang dilakuakan secara sirri. Masyarakat mengagap bahwa pernikahan sirri merupakan upaya untuk menutupi seputar poligami sehingga dengan demikian istri sebelumnnya atau istri pertamanya tidak mengetahui prihal poligami tersebut. Walaupun anggapan tersebut tidak benar adanya.
A. Pengertian Nikah Sirri
Sirri itu artinya rahasia, jadi nikah sirri adalah nikah yang di rahasiakan, dirahasiakan karena takut dan malu di ketahui umum. Padahal nikah itu harus di maklumatkan, di umumkan, di ketahui oleh orang banyak supaya menghilangkan Fitnah dan menjaga nama baik dan kehormatan.
B. Macam-Macam Nikah Sirri
Diantaranya adalah;
Pertama, nikah yang dialakukan tanpa adanya wali. Pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa pernikahan yang dilakuakan tanpa wali adalah tidak sah. Sebab wali merupakan rukun sahnya pernikahan. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Kedua, Adalah pernikahan yang dialakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada dibawah wewenang KUA atau disebut juga nikah dibawah tangan. Pernikahan seperti ini menurut agama hukumnya sah akan tetapi dari segi hukum formal atau undang-undang bahwa perrnikahan tersebut tidak sah.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga pemerintah (KUA/catatan sipil) sebagai berikut:
Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... [QS AL-Baqarah (2):
Ketiga, Adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi, pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa perkawinanya tidak sah. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:
Artinya;
Dari Aisyah bahwa rasul allah saw berkata tidak ada nikah kecuali denagan wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Al-Daraquthniy)
Keempat, Pernikahan yang dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak di I’lankan kekhalayak (penyampaian berita kepada khlayak) atau disebut juga walimah. Sebagian ulama berkata bahwa melaksanakan walimah di dalam pernikahan itu wajib hukumnya. Akan tetapi tidak semua mengatakan bahwa hal tersebut wajib. Seperti halnya hadis dibawah ini:
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim].
C. DASAR-DASAR HUKUM
• AL QURAN
Firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Dari ayat al-qur'an diatas, bahwa setiap trnsaksi/akad utang piutang dalam muamalah harus dicatat. Sesuai dengan firman Allah SWT diatas. Sedangkan, akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
yوَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Jelas halnya apabila akad hutang piutang dalam muamalah dicatat, mestinya akad nikah yang begitu agung dan mulianya lebih utama lagi untuk dicatatkan.
• Fatwa Tarjih Muhammadiyah Hukum Nikah Sirri
Para ulama Muhammadiyyah pada hari jumat tanggal ,8 jumadal ula 1428 hijriah/ 25 mei 2007 M seiring dengan maraknya pernikahan sirri yang terjadi di lingkungan masyarakat pada waktu itu, organisasi masyarakat muhammadiyah melakukan sidang tarjih atas solusi terjadinya pernikahan sirri. Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa nikah sirri tanpa dicatat di kantor urusan agama atau catetan sipil tidak sah.
Atas dasar pertimbangan itu, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di antara sifat Muhammadiyah ialah "mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.
Pertanyaan dari: Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan, disampaikan lisan pada sidang Tarjih (disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadal Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M)
Pertanyaan:
Sampai sekarang masih ada orang Islam yang melakukan nikah sirri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Bagaimana hukum pernikahan seperti ini?
[Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan, disampaikan lisan pada sidang Tarjih]
Jawaban:
Yang menjadi persoalan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
1. Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
1. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.
2. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجة عن عائشة
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
Dalam hal ini, Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Seperti yang sudah terlebih dahulu diterangkan,. Bahwa, akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya
• Pandangan Ulama
Selain itu, di antara ulama terkemuka yang membolehkan pernikahan dengan cara siri itu adalah Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar Muslim kontemporer terkemuka di dunia Islam. Ia berpendapat bahwa nikah ini adalah nikah syar`i (sah) selama ada ijab-qabul dan saksi.
Tetapi menurut mazhab Hanafi dan Hambali, wali itu syarat perkawinan dan bukan rukun perkawinan. Jika sy'arat dan rukun nikah ini dipenuhi ketika nikah siri digelar, maka sah menurut agama (Islam). Namun apabila sebuah perkawinan tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPNIKUA), maka perkawinan itu tidak mendapat perlindungan hukum. Pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif, bahkan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Dimayati, Ayat dan M, Sar’an, Hadits Ahkam Keluarga, Bandung: 2008
Ghojali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Kencana, Jakarta: 2008
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Satria, Bandung: 2000
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah, Pustaka Asmani.,Jakarta: 1989
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1998
Yunus, Muhamad, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: 1958
Terkadang tidak diketahui oleh orang tuanya, seperti kawin lari, tidak diketahui oleh orang banyak dan tidak diketahui oleh pemerintah yang sah, dalam artian perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah.
Perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat adalah kasus yang lama sekali muncul dan hadir di tengah masyarakat, tetapi selama itu pula jeratan hukum begitu menyiksanya terutama bagi para istri. Hak dan kewajibannya dirampas oleh hukum atau Hakim. kajian perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat termasuk kajian etika terapan, karena perkawinan sirri dipandang menurut norma hukum dan norma agama. Padahal mempelajari norma hukum atau norma agama berarti mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat.
Jelas bagi kita bahwa perkawinan diadakan untuk menyelamatkan moral kebudayaan, sehingga prilaku seksual menyimpang dapat dikikis. Budaya freeseks yang sedang menjadi perhatian orang banyak merupakan budaya barat yang sangat merugikan secara hukum pada perempuan atau anak yang dikandungnya, karena pembelaan hak-hak anak, atau uang belanja istri menurut hukum diakui berdasarkan adanya perkawinan. Jika mereka tidak memiliki akta perkawinan, maka akan hilang begitu saja hak-haknya.
Menurut kajian ilmu hukum pencatatan adalah wajib, hal ini karena pencatatan menjadi alat pembuktian, yaitu pembuktian secara otentik. Sedangkan menurut norma agama pencatatan merupakan kesunatan, keberadaanya bukan menjadi syarat sahnya perkawinan akan tetapi menjadi wajib apabila sudah menjadi qanun atau undang-undang.
A. PENELITIAN, PELAKSANAAN DAN DAMPAK NIKAH SIRRI
Hasil Penelitian Yang Melatar Belakang Melaksanakan Nikah Sirri
Sebagaimana penelitian yang dilakukan melalui wawancara dengan responden yang dimulai dari tanggal 26 Oktober sampai 7 November 2006 yang bertempat di desa Nanggalamekar kecamatan Ciranjang Kab Cianjur dapat diketahui bahwa yang melatar belakangi mereka melaksanakan nikkah sirih yaitu 1) hamil diluar nikah 2) tiadak dapat izin/persetujuan dari istri 3) alasan ekonomi 4) tidak ingin diketahuai oleh istri 5) kurangnya kesadaran dan pemahaman masyrakat tentang pencatatan perkawinan 6) sulitnya aturan hukum berpoligami.
1.Hamil Diluar Nikah
Budaya barat yang merebak dan ditelan mentah-mentah mempunyai pengaruh besar dalam merubah prilaku dan pola pikir seseorang tanpa disaring terlebih dahulu, akibatnya pergaulan yang mereka lakukan terkadang melampaui batas, tidak lagi mengindahakan norma dan kaidah-kaidah agama. Akibatnya ada hal-hal lain yang timbul akibat pergaulan bebas seperti hamil diluar nikah.
Kehamilan yang terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib bagi keluarga yang akan mengundang cemoohan dari masyarakat. Dari sanalah orang tua menikahkan anaknya dengan laki-laki yang menghamilinnya dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga. Dan tanpa melibatkan petugas PPN, tetapi hanya dilakukan oleh mualim tanpa melakukan penctatan.
2.Tiadak Mendapat Izin/Persetujuan Istri
Maksudnya, seorang suami dengan sengaja meminta izin/persetujuan dari istri sebelumnya untuk melakukan poligami. Jika kita melihat aturan hukum undang-undang perkawianan No 1 tahun 1974 pernikahan yang kedua kalinya atau lebih harus mendapat izin dan persetujuan dari istri sebelumnya hal ini sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam pasal 5 undang-undang No 1 tahun 1974 yaitu adanya persetujuan dari istri-istri.
Hal senada dikemukakan oleh orang yang melakukan nikah siri di desa Nanggalamekar kecamatan Ciranjang Kab. Cianjur, dirinya melakukan pernikahan siri karena istrinya tidak mau dimadu atau tidak memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Sampai-sampai istrinya mengancam minta bercerai kalau dirinya dimadu. Dan dari sanalah suami timbul hasrat untuk melakukan nikah siri.
3.Alasan Ekonomi
Rukun Nikah yang telah menjadi ijma’ yakni Adanya mempelai laki-laki, Adanya mernpelai perempuan, Ada Wali (bagi si perempuan), Saksi nikah (minimal dua orang laki-laki), Adanya mahar (mas kawin), Ada aqad (ijab dari wali perempuan dan wakilnya dan qabul dari mempelai laki-laki, atau wakilnya).
Apabila pernikahan biasa, seorang pemuda selain harus membayar mas kawin yang mahal, juga menyediakan rumah dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar untuk ukuran kebanyakan.
Karena itu, banyak pria lebih memilih menikah dengan cara diam-diam yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta dengan tamu undangan seperti lumrahnya pernikahan biasa. Salah satu sebab utamanya adalah faktor ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara sirri yang penting halal.
4.Tidak Ingin Diketahui Oleh Istri
Alasanya tidak ingin diketahui oleh istri adalah seorang suami sengaja menikah secara siri tanpa meminta izin sebelumnya atau karena telah terikat janji dengan istri, dengan demikian, sisuami lebih leluasa untuk menikah dengan wanita lain tanpa adanya sepengetahuan istri. Hal ini hamir serupa dengan kejadian diatas.
5.Kurangnya Pemahan Dan Kesadaran Masyarakat Tentang Pencatan Pernikahan
Dengan pemahaman masyarakat yang sangat minim akibatnya kesadaran masyarakat pun mempengaruhi melaksanakan pernikahan siri. Adanya anggapan bahwa perkawinan yang dicatat dan tidak dicatat sama saja. Padahal telah dijelaskan dalam undang-undang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).”
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
6.Sulitnya Aturan Berpoligami
Di Indonesia, masalah poligami telah diatur dalam undang-undang No 1 Thn 1974 undang-undang tersebut menyiratkan betapa sulitnya berpoligami hal tersebut sengaja dilakukan untuk memperkecil kemungkinan adanya poligami dikalangan para pria yang telah menikah. Jika ditinjau dari kacamata agama bahwasannya islam telah mengsyariatkan seorang laki-laki muslim boleh berpoligami dengan syarat adil.
B.Pelaksanaan Pernikahan Sirri
Pelaksanaan nikah sirri yang terjadi didesa Nagalamekar sebenarnya tidak jauh berbeda dari pelaksannan pernikahan sebagaimana mestinya hanya perbedaaannya terletak pada resmi atau tidak resminya pernikahan itu sendiri. Dalam artian pernikahan secara resmi yaitu sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan No 1 Thn 74 sedangkan tidak resmi adalah sebaliknya.
C.Dampak Pernikahan Sirri
Sebenarnya Pernikahan sirri memiliki sisi positif dan negatifnya, hanya saja sisi positf tidak seimbang dengan dampak negatifnya. Menurut masyarakat desa Nanggalamekar pernikahan yang dilakukan selain cepat mudah, praktis dan ekonomis juga dapat menutupi aib dimata masyarakat apabila terjadi hamil diluar nikah. Seperti yang akan diterangkan dibawah ini:
A.Dampak Positf Pernikahan Sirri Dalam Keluarga Dan Masyarakat
Dengan melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka atau salah satunya tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing dengan akta perkawinan tersebut suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
a.Dampak Positif Dalam Keluarga
1.Hak-Hak Individu Dapat Tertutupi
Kepentingan-kepentingan orang yang melatar belakangi melaksanakan pernikahan sirri dapat tertutupi, salah satunya di desa Nanggalamekar misalnya si a dan si b melakuakan pernikahan sirri. Maka pernikahan sirrinya tersebut adalah upaya yang dilakukannya agar aib dalam keluarganya tertutupi sehingga, masyarakat tidak mengetahui seputar kehamilannya diluar nikah yang dialakukan oleh dirinya.
2.Hilangnya Kehwatiran Perjinahan
Hilangnya kehwatiran dalam perjinahan, seperti halnya yang terjadi terhadap sepasang remaja yang berada didesa Nanggalamekar. Dikarenakan keduanya sudah memiliki kecocokan dan daripada terjerumus kepada perjinahan. Maka, orang tua mereka segera menikahkan mereka secara sirri, dan dengan dasar faktor ekonomilah maka pernikahan mereka dilakukan dengan cara sirri (tidak dicatat dalam kua). Sehingga tidak ada kehawatiran dari masing-masing keluarga dan pernikahan yang dilakukanpun tidak melanggar agama.
b.Dampak Positif Dalam Masyarakat
1.Terperiharnya Nama Baik Kampung
Masyarakat beranggapan bahwa nikah sirri merupakan sarana yang efektif untuk menutupi aib yang terjadi dimasyarakat supaya tidak menyebar kekampung lain. Jika berita itu tersebar maka warga lain akan mengecap jelek semua warga kampung tersebut.
B.Dampak Negatif Pernikahan Sirri Pada Keluarga Dan Masyrakat
a)Dampak Negatif Dalam Keluarga
1.Adanya Perselisihan
Yang dimaksud perselisihan disini adalah pertengkaran/percekcokan yang terjadi dalam keluarga yang melakukan poligami. Percekcokan tersebut terjadi karena adanya ketidak adilan diantara istri pertama ataupun kedua. Percekcokan tersebut terjadi karena salah satu istri dikarenakan nikah sirri maka suami tidak mendaftarkan perkawian yang telah dilakukan kepada pejabat yang berwenang.
2.Terabaikannya Hak Dan Kewajiban
Terabaikannya hak dan kewajiban, seorang suami yang melakukan poligami mengabaikan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap istri pertamanya. Dikarenakan si suami lebih sering bersama istri mudanya sehingga si suami mengabaikan kewajibannya selaku suami.
3.Adanya Keresahan/Kehawatiran
Adanya keresahan/kehawatiran melaksanakan pernikahan sirri, dikarenakan tidak memiliki akta nikah. Mereka khawatir apabila berpergian jauh atau kemalaman dijalan mereka tidak dapat membuktikan bahwa mereka suami istri, sehubungan dengan banyaknya razia.
b)Dampak Negatif Dalam Masyarakat
1.Adanya Fitnnah
Resiko pernikahan sirri adalah timbulnya fitnah, masyarakat menggap bahwa perkawinan yang dilakuakan secara sirri merupakan upaya dirinya (pasangan yang menikah) untuk menutupi aib seputar kehamilan diluar nikah. Walaupun spekualsi tersebut belum tentu benar adanya.
2.Adanya Anggapan Poligami
Poligami, merupakan salah satu kecurigaan yang timbul di dalam masyarakat akibat pernikahan yang dilakuakan secara sirri. Masyarakat mengagap bahwa pernikahan sirri merupakan upaya untuk menutupi seputar poligami sehingga dengan demikian istri sebelumnnya atau istri pertamanya tidak mengetahui prihal poligami tersebut. Walaupun anggapan tersebut tidak benar adanya.
A. Pengertian Nikah Sirri
Sirri itu artinya rahasia, jadi nikah sirri adalah nikah yang di rahasiakan, dirahasiakan karena takut dan malu di ketahui umum. Padahal nikah itu harus di maklumatkan, di umumkan, di ketahui oleh orang banyak supaya menghilangkan Fitnah dan menjaga nama baik dan kehormatan.
B. Macam-Macam Nikah Sirri
Diantaranya adalah;
Pertama, nikah yang dialakukan tanpa adanya wali. Pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa pernikahan yang dilakuakan tanpa wali adalah tidak sah. Sebab wali merupakan rukun sahnya pernikahan. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Kedua, Adalah pernikahan yang dialakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada dibawah wewenang KUA atau disebut juga nikah dibawah tangan. Pernikahan seperti ini menurut agama hukumnya sah akan tetapi dari segi hukum formal atau undang-undang bahwa perrnikahan tersebut tidak sah.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga pemerintah (KUA/catatan sipil) sebagai berikut:
Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... [QS AL-Baqarah (2):
Ketiga, Adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi, pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa perkawinanya tidak sah. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:
Artinya;
Dari Aisyah bahwa rasul allah saw berkata tidak ada nikah kecuali denagan wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Al-Daraquthniy)
Keempat, Pernikahan yang dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak di I’lankan kekhalayak (penyampaian berita kepada khlayak) atau disebut juga walimah. Sebagian ulama berkata bahwa melaksanakan walimah di dalam pernikahan itu wajib hukumnya. Akan tetapi tidak semua mengatakan bahwa hal tersebut wajib. Seperti halnya hadis dibawah ini:
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim].
C. DASAR-DASAR HUKUM
• AL QURAN
Firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Dari ayat al-qur'an diatas, bahwa setiap trnsaksi/akad utang piutang dalam muamalah harus dicatat. Sesuai dengan firman Allah SWT diatas. Sedangkan, akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
yوَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Jelas halnya apabila akad hutang piutang dalam muamalah dicatat, mestinya akad nikah yang begitu agung dan mulianya lebih utama lagi untuk dicatatkan.
• Fatwa Tarjih Muhammadiyah Hukum Nikah Sirri
Para ulama Muhammadiyyah pada hari jumat tanggal ,8 jumadal ula 1428 hijriah/ 25 mei 2007 M seiring dengan maraknya pernikahan sirri yang terjadi di lingkungan masyarakat pada waktu itu, organisasi masyarakat muhammadiyah melakukan sidang tarjih atas solusi terjadinya pernikahan sirri. Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa nikah sirri tanpa dicatat di kantor urusan agama atau catetan sipil tidak sah.
Atas dasar pertimbangan itu, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di antara sifat Muhammadiyah ialah "mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.
Pertanyaan dari: Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan, disampaikan lisan pada sidang Tarjih (disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadal Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M)
Pertanyaan:
Sampai sekarang masih ada orang Islam yang melakukan nikah sirri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Bagaimana hukum pernikahan seperti ini?
[Pengurus salah satu BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan, disampaikan lisan pada sidang Tarjih]
Jawaban:
Yang menjadi persoalan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
1. Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
1. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.
2. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجة عن عائشة
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
Dalam hal ini, Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Seperti yang sudah terlebih dahulu diterangkan,. Bahwa, akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya
• Pandangan Ulama
Selain itu, di antara ulama terkemuka yang membolehkan pernikahan dengan cara siri itu adalah Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar Muslim kontemporer terkemuka di dunia Islam. Ia berpendapat bahwa nikah ini adalah nikah syar`i (sah) selama ada ijab-qabul dan saksi.
Tetapi menurut mazhab Hanafi dan Hambali, wali itu syarat perkawinan dan bukan rukun perkawinan. Jika sy'arat dan rukun nikah ini dipenuhi ketika nikah siri digelar, maka sah menurut agama (Islam). Namun apabila sebuah perkawinan tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPNIKUA), maka perkawinan itu tidak mendapat perlindungan hukum. Pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif, bahkan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Dimayati, Ayat dan M, Sar’an, Hadits Ahkam Keluarga, Bandung: 2008
Ghojali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Kencana, Jakarta: 2008
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Satria, Bandung: 2000
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah, Pustaka Asmani.,Jakarta: 1989
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1998
Yunus, Muhamad, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: 1958