A.
1. Penjenisan berdasarkan faktor sosiologis
Penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga bredasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan system linguistic lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penjenisan secara sosioligis ini penting untuk menentukan satu system inguistik tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraan, dan sebagainya.
Stewart membagi jenis bahasa secara sosiologis berdasarkan 4 hal, yaitu:
o standardisasi,
o otonomi,
o historisitas,
o vitalitas.
(1) Standardisasi atau pembakuan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar”.
(2) Dasar kedua penjenisan bahasa ini adalah otonomi atau keotonomian. Sebuah sistem
linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau sistem linguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain.
(3) Dasar ketiga penjenisan bahasa ini adalah faktor historisitas atau kesejarahan. Sebuah sistem linguistik dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu. Faktor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu.
(4) Dasar keempat penjenisan bahasa ini adalah faktor vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman, yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apakah sistem linguistik tersebut masih memiliki penutur asli yang menggunakannya atau tidak?
Keempat faktor tu oleh Fishman (1972 : 18) disebut sebagai jenis sikap dan perilaku tehadap bahasa. Secara singkat keempat dasar itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Standardisasi, atau pembakuan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oelh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “ bahasa yang benar “. Jadi. Standardisasi ini mempersoalkan apakah sebuah bahas amemiliki kaidah atau norma yang yang dikodifikasikan atau yang tidak diterima oleh masyarakat tutur dan merupakan dasar dalam pengajaran bahasa, baik sebagai bahasa yang pertama maupun bahas ayang kedua. Siapakah yang harus membuat kodifikasi itu?. Pengkodifikasian pada dasrnya merupakan tugas para pakar dan mereka yang dalam pekerjaan sehari-hari secara professional berurusan dengan bahasa, seperti para pengarang, guru, wartawan, pakar bahasa dan sebagainya. Kodifikasi ini tentunya harus diterima oleh masyarakat berupa penerimaan kaidah-kaidah itu serta dibantu oleh pemerintah untuk memasyarakatkan kaidah-kaidah tadi.
Dasar kedua, dalam penjenisan sosiologis ini adalah otonomi atau keotonomian. Sebuah system linguistic disebut mempunyai keotonomian kalu system yang tidak bekaiatan dengan bahasa lain. Jadi, kalau ada dua sistem linguistikatau lebih tidak mempunyai hubungan kesejarahan, maka berarti keduanya memiliki keotonomian mansing-masing. Umpanya. Bahasa inggris dan bahsa jawa keduanya mempunyai keotonomian sendiri-sendiri. Kalau dua system linguistic atau lebih memiliki hubungan kesejarahan, tetapi keduanya memiliki sejumlah perbedaaan struktur, maka dalam hal ini keotonomiannya masih tampak. Misalnya, bahasa Indonesia (di Indonesia) dan bahasa Malaysia (di Malaysia) mempunyai hubungan kesejarahan, yaitu sama-sama dari bahasa Melayu, namun keduanya mempunyai keotonomian masing-masing. Mengapa?? Karena perbedaan-perbedaan stuktur yang terdapat diantara keduanya sangat jelas. Keduanya mempunyai kodifikasi masing-masing, dan tradisi kesusastraan masing-masing, yang menandai keduanya juga mempunyai pembakuan masing-masing. Bahasa yang telah mengalami usaha pembakuan adalah bahas yang otonom. Perlu ditekankan bahwa keotonomian sebuah bahasa bukan dating sendiri, melainkan harus diusahakan, lebih-lebih untuk ragam baku bahhasa tulis.
Dasar ketiga, dalam penjenisan sosiologi bahasa adala faktor historisitas atau kesejarahan. Sebuah system linguistic dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembbangna uang normal pada maa yag lalu. Faktor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu. Jadi, faktor historisitas ini mempersoalkan, apakah system linguistic itu tumbuh melalui pemakaian oleh kelompok etnik atau sosial tertentu atau tidak. Para penutur suatu system linguistic yang nenliki unsure kesejarahan mempunyai kemungkinan untuk menguasai bahasa yang kedua, yaitu bahasa lain yang bukan bahasa ibunya. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia mempunyai unsur kesejarahan. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda jelas ada unsur kesejarahannya dan jelas ada kelompok etnik yang mendukungnya. Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahwa bahsa Indonesia memiliki unsur kesejarahan dapat kita lihat dari kebijakan yang ada dalam pedoman pembentukan istilah. Dalam oedoman itu disebutkan bahwa untuk menciptakan istilah baru pertama-tama kita harus mencari dari kosakata bahasa Indonesia yang ada sekarang, kalau tidak ada harus dicari dari kosakata bahasa Indonesia yang sudah lama, yang sudah tidak dipakai.
Dasar keempat, adalam penjenisan bahasa secara sosiologis adalah faktor vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian system linguistic oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apaka system linguistic tersebut memiliki penutur asli ayng amsih menggunakan atau tidak. Bahas Jawa dan bahasa Bali dewasa ini jelas masih ada penutur aslinya. Tetapi bahasa Latin dan bahasa sansekerta dewasa ini tidak ada penutr aslinya lagi. Dengan demikan dapat dikatakan bahasa Jawa dan bahasa sansekerta tidak memiliki vitalitas lagi. Sebuah bahasa bisa saja kehilangan vitalitasnya kalau para penutur aslinya telah musnah atau telah meninggalkannya. Namun bisa juga sebuah bahasa yang sudah kehilangan vitalitasnya menjadi mempunyai vitalitas lagi kalau ada kesadaran dan usaha dari para “ahli waris” untuk menggunakannya kembal. Misalnya, bahasa Ibrani di Israel.
2. Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa Negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat dengan kepentingan kebangsaan. Ada kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu pada sebuah system linguistic yang sama, dan ada kemungkinan pula pada system yang berbeda. Di Indonesia keempat jenis bahasa itu mengacu pada satu system linguistic yang sama, sedangkan di India, di Filipina, dan di Singapura tidak.
Sebuah system linguistic disebut sebagai bahasa nasional, seringkali juga disebut bahasa nasional, seringkali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau system linguistic itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Sebuah bahasa nasional adalah suatu bahasa (atau varian bahasa, contohnya dialek) yang memiliki sejenis hubungan—de facto atau de jure—dengan seseirang dan mungkin melalui perluasan teritori yang mereka duduki. Sebutan ini digunakan bermacam. Sebuah bahasa nasional bisa mewakili identitas nasional suatu bangsa atau negara. Bahasa nasional secara alternatif bisa merupakan sebuah penetapan yang diberikan pada satu bahasa atau lebih yang dituturkan sebagai bahasa pertama di teritori sebuah negara.[1]
C.M.B. Brann, merujuk Afrika, menyatakan bahwa ada "empat arti berbeda" untuk bahasa nasional:
· "Bahasa teritorial" (ktonolek) dari suatu masyarakat tertentu
· "Bahasa daerah" (koralek)
· "Bahasa umum atau masyarakat" (demolek) digunakan di sebuah negara
· "Bahasa sentral" (politolek) digunakan oleh pemerintah dan mungkin memiliki nilai simbolis.
Bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa melayu, adalah bahasa nasional bagi bangsa Indonesia, bahasa Pilipino adalah bahasa nasional bagi bangsa Pilipino. Bahasa Malaysia adalah bahasa nasional bagi bangsa Malaysia, dan bahasa melayu adalah bahasa bahasa nasional bagi bangsa singapura. Jadi, bangsa Indonesia dikenal sebagai suatu bangsa adalah, antara lain : karena bahasa Indonesianya dan bangsa Filipina dikenal sebagai suatu bangsa adalah karena bahasa Piliinonya. Pengangkatan sebuah system linguistikmenjadi bahas anasioanl adalah berkat sikap dan pemikiran politik, yaitu agar dikenal sebagai sebuah bangsa (dengan Negara yang berdaulat dan berpemerintahan sendiri) berbeda dengan bangsa lainnya. Pengangkatan sebuah system limguistik, yang ada pada masyarakat multilingual, menjadi sebuah bahasa nasional, bisa berrjalan dengan mulus, tetapi juga bisa penuh dengan hambatan.
Di Indonesia pengangkatan bahasa nasional itu beerjalan mulus, dalam arti, tidak ada keberatan dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal ini karena bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa nasional itu, telah berabad –abad lamanya menjadi lingua franca diseluruh wilayah Nusantara.
Bahasa resmi adalah satu atau lebih bahasa yang dipakai oleh pemerintah dalam menerbitkan maklumat-maklumat dan juga bahasa yang dipakai oleh warganya untuk berhubungan dengan instansi pemerintah secara resmi. Bahasa resmi juga yang dipakai dalam pengajaran di instansi pendidikan.[2]
Seringkali (salah satu) bahasa resmi suatu negara bukan bahasa asli negara tersebut melainkan bahasa warisan dari kaum penjajah. Bahkan seringkali bahasa resmi tidak memiliki penutur asli. Hal ini terjadi antara lain di beberapa negara di Afrika bekas jajahan Perancis, Singapura dengan bahasa Inggris, Suriname dengan bahasa Belanda dan Timor Leste dengan bahasa Portugis.
Yang dimaksud dengan bahasa Negara adalah sebuah system linguistic yang secara resmi dalam undang–undang dasar sebuah Negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, adminstrasi kenegaraan, dan kegiatan kenegaraan dijalankan dengam menggunakan bahasa iut. Pemilihan dan penetapan sebuah system limguistik menjadi bahasa Negara biasanya dikaitkan dengan keterpakaian bahasa itu yang sudah merata di seluruh wilayah Negara itu. Misalnya, di Indonesia yang dijadikan bahasa Negara (ditetapkan dalam undang – undang dasar 1945) adalah bahasa Indonesia, yang pada mulanya ketika masih bernama bahasa Melayu telah dipakai secara luas, sebagai lingua franca, di seluruh wilayah Indonesia. Bagi bangsa Filipina meraka tidak mengangkat bahasa Tagalo, karena bahasa Tagalog itu tidak dipakai secara merata di seluruh wilayah Filipina.
3. Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
Dari proses pemerolehannya, bahasa bisa dipilah menjadi bahasa ibu atau bahasa pertama, bahasa kedua, dan bahasa asing. Penamaan bahasa ibu dan bahasa pertama mengacu pada sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah adalah bahasa yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibunya atau dari keluarga yang memeliharanya. Biasanya bahasa ibu sama dengan bahasa daerah orang tuanya. Akan tetapi pada masa sekarang, banyak orang tua yang berbicara dengan anaknya menggunakan bahasa Indonesia tidak menggunakan bahsa daerah asal kedua orang tuanya sehingga bahasa Indonesia itulah yang dikuasai anak , maka bahasa Indonesia itu walaupun bukan bahasa daerah ibu atau bapaknya, adalah bahasa ibu anak tersebut.
Bahasa ibu lazim disebut bahasa pertama, karena bahasa itulah yang pertama dipelajari anak. Meskipun tidak selalu bahasa pertama yang dikuasai anak sama dengan bahasa pertama yang dikuasai ibunya. Atau, si anak belajar bahasa pertama tidak dari ibunya tetapi dari orang tua asuhnya. Jika kemudian hari anak tersebut mempelajari bahasa lain, maka bahasa lain tersebut disebut bahasa kedua. Tidak jarang seorang anak mempelajari bahasa lainnya lagi sehingga ia bisa menguasai bahasa ketiga, maka bahasa tersebut disebut bahasa ketiga. Begitu seterusnya.
Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu system linguistic yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu system linguistic yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak. Umpamanya, bahas aibu penduduk asli penduduk di lereng Gunung Merapi adalah bahsa Jawa dan bahasa ibu penduduk asli di tepi Danau Batur adalah bahasa Bali. Bahas ibu tidak mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, melainkan mengacu pada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya. Dewasa ini di kota – kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta dan Surabaya, banyak trjadi dimana ayah dan ibu menggunkan bahasa daerah jika bercakap-cakap berdua, tetapi mnggunakan bahasa Indonesia bila becakap denag anak mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahasa ibu si anak adalah bahasa Indonesia, karena bahasa itulah yang dipelajri si anak dari ibunya atau keluarganya.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama karena bahasa itulah uang pertama –tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua. Andaikata kemudian si anak mempelajari bahasa lainnya lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga. Begitu pula selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak mempelajari bahasa keempat, kelima, dan seterusnya. Pada umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing – masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru dipelajari ketika masuk sekolah, dan ketika dia sudah menguasai bahasa ibunya, kecuali mereka yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya.
Peran bahasa kedua tidak sama dengan bahasa pertama. Menurut Richard, Bahasa kedua selalu digunakan bersama-sama dengan bahasa pertama atau yang lainnya. Umumnya digunakan dalam kegiatan pendidikan, pemerintahan atau untuk bisnis. Penuturnya sering menganggapnya sebagai bahasa lokal (sendiri), dan bukan bahasa asing. Contoh penggunaan bahasa kedua dapat dilihat pada penggunaan bahasa Inggris di Nigeria, India dan Singapura. Bahasa Indonesia, sering diperlakukan sebagai bahasa kedua, sdmentara bahasa daerah adalah bahasa pertama.
Yang disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Disamping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Maka itu bahasa Malaysia, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Cina adalah asing bagi bangsa Indonesia. Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) dapat menjadi bahasa kedua. Kalau dipelajari setelah menguasai bahasa ibu seperti pada kebanyakan penutur di India, di Malaysia, dan di Filipina. Bisa juga menjadi bahasa Negara kalau bahasa asing itu digunakan untuk menjalankan administrasi kenegaraan dan kegiatan kenegaraan lainnya. Sebuah bahasa asing dapat juga menjadi bahasa pertama bagi seorang anak kalau anak itu “tercerabut” dari bumi negaranya dan menggunakan bahasa itu sejak bayinya.
Istilah bahasa asing ini sebenarnya lebih bersifat politis mengingat namanya diambil dari negara atau bangsa lain pemilik bahasa tersebut. Dari sisi urutan pemerolehan, bahasa Inggris bisa saja adalah bahasa kedua, bahasa ketiga, atau bahasa ke sekian. Akan tetapi karena bahasa Inggris berasal dari negara asing menurut orang Indonesia, maka istilah bahasa asing lebih populer digunakan untuk mengklasifikasikan bahasa Inggris dibanding disebut bahasa kedua.
4) Lingua Franca
Yang dimaksud dengan lingua franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda. Sebuah bahasa lingua franca karena adanya keterpahaman atau kesalingpengertian dari para partisipan yang menggunakannya.
Banyak kawasan di muka bumi ini dihuni oleh orang-orang yang berbicara bahasa-bahasa yang sangat berbeda satu sama lain. Di kawasan demikian dimana kelompok-kelompok masyarakat dituntut berkomunikasi demi kepentingan sosial dan komersial, biasanya digunakan satu bahasa berdasarkan kesepakatan bersama (lingua franca).
Pada abad-abad pertengahan satu bahasa perdagangan digunakan di pelabuhan-pelabuhan di perairan mediterranea. Bahasa tersebut ialah bahasa Italia yang dicampurbaurkan dengan bahasa Perancis, Spanyol, Yunani dan Arab, dan diberi nama Lingua Franca (Frankish Language). Situasi serupa muncul di Singapura dengan bahasa Inggris sebagai Lingua Franca.
REFERENSI
· Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
· Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. London: Cambrigde University Press. Bab II.