SENGKETA PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SENGKETA PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Kasus pada Pengadilan Agama di Kota Parepare)


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sengketa dalam rumah tangga (domestik) adalah masalah yang semakin serius dibicarakan di seluruh penjuru dunia.. Bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan juga bervariasi dengan klasifikasi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga, Masalah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada akhir-akhir ini merupakan gejala yang memprihatinkan. Dari tahun 1997 misalnya, dilaporkan perkosaan di Indonesia tercatat 209 kasus. Tahun 1998 meningkat menjadi 338 kasus. Tahun 1999 tercatat 637 kasus perkosaan yang dilaporkan
Sengketa dalam ruang lingkup rumah tangga dapat terjadi pada, ayah, istri dan anak-anak serta mereka yang berada dalam lingkup rumah tangga yang sulit diatasi. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa anggota keluarga itu merupakan milik laki-laki dan masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sementara itu, sistem hukum dan sosial budaya yang ada bukan menjamin perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya mempunyai hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman, bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia berdasarkan azas-azas penghormatan terhadap perempuan, keadilan dan kesetaraan jender serta anti diskriminasi, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 29 tahun 1999 tentang HAM. Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap eksistensi kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi yang harus dihapus karena tidak sesuai dengan deklarasi PBB tentang HAM dan Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Undang-undang perkawinan menganut asas atau prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat terjadi di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Adapun alasan terjadinya perceraian dapat ditemukan di Indonesia akibat karena tidak adanya keharmonisan di dalam rumah tangga, dan pada umumnya perceraian banyak diajukan oleh pihak isteri Perceraian diajukan isteri terhadap suami tidak sedikit dikarenakan terjadinya kekersan dalam rumah tangga, baik pada kekerasan fisik maupun psikis.
Superioritas laki-laki dalam struktur kehidupan masyarakat di Indonesia dapat menimbulkan adanya kekerasan suami terhadap isteri.
Dalam beberapa penelitian ditemukan berbagai macam kasus cerai yang terjadi akibat karena kekerasan dalam rumah tangga,,dengan demikian diperlukan adanya perlindungan hukum berupa terjamirmya hak-hak mereka selama proses cerai atau setelah perceraian tersebut diputuskan oleh Hakim di Pengadilan. Perlindungan yang lain dapat diberikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maupun dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut di atas maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Perceraian menurut hukum syariat Islam?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya sengketa dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama kota Parepare?
3. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara sengketa dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Kota.Parepare?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang cara penyelesaian sengketa dalam perceraian menurut hukum Islam.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan sengketa dalam perceraian di Pengadilan Agama kota Parepare?.
3. Untuk mendeskripsikan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara sengketa dalam rumah tangga di Pengadilan Agama kota. Parepare.
D. Manfaat Penelitian
Adapun mamfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. penelitian ini diharapakan dapat memberi konstribusi pengetahuan kepada masyarakat tentang sengketa dalam rumah tangga dan pertimbangan Hakim dalam mengambil keputusan tentang sengketa tersebut..
2. Sebagai bahan masukan kepaada pihak yang berwenang dalam upaya mengantisipasi terjadinya sengketa dalam rumah tangga
3. Sebagai bahan bacaan dan pengembangan wawasan keilmuan bagi mereka yang berminat terhadap penelitian ini.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian dan Kedudukan Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic Law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi suami isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhak masyarakat dan pembentukan peradaban.
Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (‘aqd), maka pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir batin dengan melahirkan anak cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir batin tidak dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian “ruju’’.
Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak. Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah
حل رابطة الزواج وانھاء العلاقة الزوجیة
Artinya: “melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.

Menurut H.A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak. Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa Pertama; perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan jalan perceraian. Dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah sebagai way out bagi suami isteri demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian terjadi. Kedua; bahwa perceraian itu merupakan sesuatu yang
dibolehkan namun dibenci oleh agama. Berdasarkan sabda Rasulullah Muhammad SAW::
ابغض الحلال عند الله الطلاق )رواه ابو داود والحاكم (
Artinya: “Hal yang halal tetapi paling dibenci menurut Allah adalah perceraian”
Dalam sebuah hadits, ada ancaman khusus bagi seorang isteri yang meminta jatuhnya talak dari suaminya tanpa disertai alasan yang dibenarkan syara. Rasulullah SAW bersabda:
أیما امرأة سألت زوجھا طلاقا من غیر بأس فحرام علیھا رائحة الجنة
)رواه اصحاب السنن والترمذى حسنھ(
Artinya: ”Siapa saja isteri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka ia haram menghirup wanginya surga” .
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama, dalam banyak kesempatan selalu menyarankan agar suami isteri bergaul secara ma’ruf dan jangan menceraikan isteri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip. Jika terjadi pertengkaran yang sangat memuncak di antara suami isteri dianjurkan bersabar dan berlaku baik untuk tetap rukun dalam rumah tangga, tidak langsung membubarkan perkawinan mereka, tetapi hendaklah menempuh usaha perdamaian terlebih dahulu dengan mengirim seorang hakam dari keluarga pihak suami dan seorang hakam dari keluarga pihak isteri untuk mengadakan perdamaian. Jika usaha ini tidak berhasil dilaksanakan, maka perceraian baru dapat dilakukan.
Secara garis besar hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan besar yaitu talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami untuk melepaskan ikatan dengan lafadz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh adalah melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukan oleh isteri. Dari dua golongan perceraian ini, Dr. Abdurrahman Taj sebagaimana dikutip oleh H.M. Djamil Latief, S.H. membuat klasifikasi perceraian sebagai berikut, (1) Talak yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu li’an, perceraian dengan sebab aib suami seperti impoten dan perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam, (2)Talak yang terjadi tanpa putusan Hakim yaitu talak biasa yakni talak yang diucapkan suami baik sharih maupun kinayah dan ‘ila, (3) fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu dengan sebab perkawinannya anak laki-laki atau perempuan yang masih di bawah umur dan perkawinan itu tidak dilakukan oleh wali yaitu bapaknya atau kakeknya, fasakh dengan sebab salah satu pihak dalam keadaan gila, tidak sekufu, kurangnya mas kawin dari mahar mitsil dan salah satu pihak menolak masuk Islam, (4) fasakh yang terjadi tanpa adanya putusan hakim, yaitu fasakh dengan sebab merdekanya isteri, ada hubungan semenda antara suami isteri dan nikahnya fasid sejak semula.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebagai bentuk mempositifkan hukum Islam mengklasifikasi penyebab terjadinya perceraian kepada (1) Kematian salah satu pihak, (2) Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, (3) keputusan Pengadilan.


2. Perkembangan Alasan Sengketa
Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu macam saja yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa yang disebut dengan “syiqaq” sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 35 yang berbunyi:
وان خفتم شقاق بینھما فابعثوا حكما من اھلھ وحكما من اھلھا ان یریدا اصلاحا یوفق الله بینھما ان الله كان علیما خبیرا

Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan di antara keduanya (suami dan Isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga Isteri. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah memberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi”.
Sedangkan menurut hukum Perdata, perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-undang dan harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”.
Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan. Dalam pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) disebutkan Perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami atau isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta
pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4). Perceraian. Sedangkan perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan adalah perceraian yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan ranjang. Tentang hal ini ditentukan dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu (1) Zina baik yang dilakukan oleh suami atau isteri, (2) Meningggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja, (3) Suami atau isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan, (4) Salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami/isteri). Lebih lanjut dalam pasal 208 KUH Perdata bahwa perceraian tidak dapat dilaksanakan berdasarkan atas persetujuan antara suami dan isteri.
Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan . Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri . Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f) Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu:(a) suami melanggar taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Memperhatikan alasan-alasan perceraian yang diterima dalam hukum Perkawinan Nasional, maka dapat diketahui bahwa hukum positif di Indonesia tidak mengenal lembaga hidup terpisah yaitu perceraian pisah meja dan pisah tempat tidur (scheding van tafel end bed) sebagaimana diatur dalam pasal 424 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dalam lembaga hukum keluarga Eropa yang dikenal dengan “separation from bed and board”. Selain dari hal ini, ketentuan yang diatur dalam hukum positif Indonesia hampir sama dengan apa yang tersebut dalam Stb.1933-74 pasal 52 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 208, kecuali apa yang tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut di atas dilakukan dengan menempuh prosedur hukum acara biasa.
3. Bentuk-bentuk Kekerasan (Ketidakadilan Gender).
Berbagai bentuk ketidakadilan gender yang mungkin terjadi dapat berwujud Marginalisasi, peminggiran dan proses pemiskinan peran kaum perempuan di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Kaum perempuan dianggap sebagai warga masyarakat kelas dua. Perempuan sendiri terkadang cenderung enggan menjadi orang nomor satu, alasannya karena takut dijauhi atau dicela kaum pria (Cinderella compleks), perempuan lebih memilih jadi subordinat pria.
Subordinasi Kaum perempuan berada pada posisi subordinat, yaitu tunduk pada laki-laki. Perempuan dianggap sebagai mahluk yang irrasional dan emosional dan hanya layak berada di wilayah domestik karena ketikmampuan dalam memimpin. Pandangan perempuan diistilahkan sebagai kanca wingking, yaitu teman di belakang atau di balik wilayah publik yang ditempati laki-laki. Stereotip adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu yaitu jenis kelamin perempuan. Perempuan diberi label kaum yang lemah, bodoh dan emosional, di mana label ini menyebabkan perempuan sukar untuk meningkatkan kepercayaan dirinya. (Yanti Muhtar, 2006:154). Stereotip Gender membuat kita membatasi pemahaman mengenai apa yang bisa dikerjakan perempuan dan apa yang bisa dikerjakan laki-laki. Misalnya, perempuan hanya di dunia domestik dan laki-laki tugasnya mencari nafkah, padahal tidak selalu keadaan seperti itu. Selain itu, masyarakat juga mempunyai norma tertentu tentang perempuan yang ideal yaitu feminim: lembut, halus, teliti, rajin, patuh, taat, cantik, cermat, dan sebagainya. Sementara kaum laki-laki adalah maskulin: gagah, perkasa, gentleman, kuat, cerdas, kasar, memimpin, macho, dan sebagainya, padahal yang lebih menyehatkan adalah androgen (androgini), yaitu percampuran antara karakteristik feminim sekaligus maskulin dalam kadar yang sangat variatif antara satu orang dengan orang lain. Individu androgini menurut Spence dan Helmreich adalah memilki harga diri yang lebih tinggi, lebih fleksibel, dan lebih efektif dalam hubungan interpersonal.
Beban ganda Pembagian kerja di dunia domestik untuk perempuan, sementara laki-laki di sektor publik sehingga ketika perempuan masuk di sektor publik ada beban ganda yang disandangnya, sementara semestinya ada juga beban ganda untuk kaum laki-laki, karena memang pekerjaan domestik bukanlah kodrat perempuan. Beban perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduksi di rumah tangga, dan pekerjaan produktif untuk mendapatkan penghasilan. Perempuan tidak dinilai ketika melakukan pekerjaan reproduksi dan sosial, sementara kerja produksi yang mereka lakukan hanya dianggap sifatnya membantu saja.
Kekerasan. Perempuan dengan fungsi reproduksinya sering mengalami kekerasan (fisik, psikis, dan seksual), yang dilakukan individu, instansi, dan Negara. Kekerasan dalam rumah tangga; perempuan dianggap tidak produktif, sehingga harus menuruti kemauan laki-laki si pencari nafkah utama (misalnya pemukulan terhadap perempuan, membuat istri sakit hati dan rendah diri, dan pemaksaan hubungan seksual). Dalam dunia publik/tempat kerja, perempuan yang haid, mengandung, melahirkan, dan menyusui, sering tidak memperoleh haknya secara wajar, bahkan sering mengalami intimidasi untuk dikeluarkan. Sementara dalam tingkat Negara, kadang kekerasan yang diderita perempuan sering tidak nampak di mata publik karena terjadi di dunia domestik
Kemiskinan. Kenyataan dalam masyarakat kita, banyak anak di bawah umur meninggal akibat gizi buruk/kekurangan gizi. Selain itu, banyak pula ibu meninggal saat melahirkan, salah satu penyebabnya adalah gizi buruk dan tidak punya akses fasilitas kesehatan. Diskriminasi, pembedaan perlakuan terhadap seseorang atau sekelompok orang dikarenakan jenis kelamin, ras, agama, status sosial, ataupun suku. Misalnya, salah satu bentuk diskriminasi berbasis gender adalah memberikan keistimewaan kepada anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Atau pembedaan upah buruh perempuan dan buruh laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama.
Buta Gender. Perencanaan, kebijakan, program yang buta gender, maksudnya mengabaikan perbedaan gender, peran dan hubungan gender, padahal karena perbedaan-perbedaan itu perempuan dan laki-laki bisa mempunyai perbedaan di dalam akses, di dalam mendapatkan manfaat, di dalam partisipasi, dan di dalam kontrol terhadap sumber-sumber keadilan dan kesetaraan gender. Buta gender ini juga mengabaikan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kebutuhan, kepedulian, dan prioritas yang berbeda. Rumah-tangga (keluarga) adalah unit ekonomi yang mengatur lapangan kerja anggotanya. Bekerja bersama dan saling membantu di bidang produksi, maupun dalam bidang distribusi dan konsumsi.

F. Kerangka Pikir






G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif adalah bersifat eksploratif yang memiliki proses tersendiri yang berbeda dengan penelitian kuantitatif.Penelitian kualitatif merupakan rangkaian kegiatan yang sistematis untuk memperoleh jawaban permasalahan yang diajukan. metode ini dimaksudkan untuk memberi gambaran secermat mungkin mengenai bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan sengketa dalam perceraian berdasarkan fakta–fakta yang ada. Suryabrata (1983:18-19) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat pencandraan (pemerian) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dengan demikian, peneliti dalam hal ini akan mengarahkan penelitiannya dengan mengakumulasi data dengan cara deskriptif .
Dalam penelitian kualitatif data merupakan sumber teori atau teori berdasarkan data. Kategori-kategori dan konsep-konsep dikembangkan oleh peneliti di lapangan. Teori juga dapat lahir dan berkembang di lapangan. Data lapangan dapat dimanfaatkan untuk verifikasi teori yang timbul di lapangan. Dan terus-menerus disempurnakan selama proses penelitian berlangsung yang dilakukan secara berulang-ulang.
Selanjutnya Moleong (1994:4-8) mengemukakan “sebelas ciri penelitian kualitatif yaitu; (1) latar alamiah; (2) manusia sebagai alat (instrumen); (3) metode kualitatif; (4) analisis data secara induktif; (5) teori dari dasar (grounded theory); (6) deskriptif; (7) lebih mementingkan proses daripada hasil; (8) adanya “batas” yang ditentukan oleh “fokus”; (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data; (10) disain yang bersifat sementara; (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama”.
2. Variabel dan disain penelitian
Berdasarkan jenis penelitian yang telah ditetapkan di atas, maka variabel yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah percerain akibat kekerasan dalam rumah tangga secara pisik dan psikis yang mengakibatkan sengketa dalam perceraian.
Sedangkan desain penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif meliputi rangkaian kegiatan yang sistematik untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diajukan. Meskipun demikian dalam penelitian kualitatif desain penelitian bisa diubah atau disempurnakan, disesuaikan dengan data yang diperoleh dan disesuaikan pula dengan pengetahuan baru yang ditemukan.
Desain penelitian kualitatif merupakan rencana dan struktur penyelidikan untuk dapat memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian berupa data deskriptif.
Rencana penelitian ini disusun dalam tiga tahap, yaitu: (1). Tahap persiapan, (2). Tahap pengumpulan data, dan (3). Tahap pengolahan data dan hasilnya akan dideskripsikan sebagai laporan hasil penelitian.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Kota Parepare Sulawesi Selatan. Ada 2 (dua) alasan mengapa kota Parepare dijadikan lokasi penelitian. Pertama, alasan startegis, yaitu masalah kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosiologis yang bersifat global serta tidak terbatas pada suatu ruang dan waktu. Kedua praktis, yaitu kota Parepare adalah tempat berdomisili peneliti sehingga memudahkan akses, waktu dan biaya serta alasan-alasan praktis lainnya. Penelitian di lakukan selama kurang lebih Enam bulan.
4. Data dan Sumber data
Menurut Arkuanto (1998) data adalah hasil pencatatan peneliti baik berupa fakta ataupun angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun bahan suatu informasi.
Data yang dimaksud dalam penelitian ini, data yang diperoleh secara garis besar dapat di bagi menjadi dua bagian, yaitu data tertulis dan tidak tertulis. Data tertulis meliputi dokumen, buku petunjuk, atau pedoman. Sementara data yang tidak tertulis meliputi hasil wawancara. Secara umum data adalah seluruh data yang menjadi perhatian dalam suatu lingkup dan waktu yang kita tentukan,
Berdasarkan uraian tersebut, maka data penelitian ini adalah keseluruhan sengketa dalam rumah tangga yang menyebabkan perceraian di pengadilan agama Kota Parepare
Penelitian mengenai sengketa dalam rumah tangga (studi kasus pada pengadilan agama Agama Kota Parepare) peneliti melakukan batasan yaitu sengketa dalam rumah tangga pada tahun 2008 per-Desember sampai sekarang.
5.Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap peristiwa yang relevan dengan masalah yang diteliti.
2. Wawancara mendalam, yaitu bertanya langsung kepada responden, baik menggunakan daftar pertanyaan maupun tidak.
3. Kuesioner, yaitu mengajukan daftar pertanyaan dan pernyataan terhadap hal-hal yang ada relevansinya dengan masalah yang sedang diteliti.
4. Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel dari bahan tertulis berupa dokumen, buku-buku yang berhubungan dengan subyek penelitian.
6. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat yang dipakai untuk mengumpulkan data dan dibuat serta dirancang demikian rupa sehingga menghasilkan data empiris sebagaimana adanya. Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah seluruh aktivitas Pengadilan Agama Kota Parepare yang berhubungan dengan subyek penelitian. Instrumen penelitian dapat berfungsi sebagai informasi unsur metodologis, demikian pula dapat berfungsi sebagai informasi unsur materi dalam melakukan interpretasi dan analisis data.
Pada penelitian yang bersifat kualitatif, peneliti sendiri yang bertindak sebagai instrumen. Didasari oleh adanya potensi manusia yang mempunyai sifat dinamis dan memiliki kemampuan untuk mengamati, menilai, memutuskan dan menyimpulkan secara obyektif tentang sesuatu . Dalam rangka memudahkan penelitian, peneliti pun menggunakan pedoman wawancara dan catatan yang berfungsi sebagai alat pengumpulan data.

7. Teknik analisis data
Setelah pengumpulan data dilakukan, selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan deskripsi atau uraian yang bersifat pemaparan dengan menggunakan kata-kata untuk membantu dan mempermudah pemahaman terhadap hasil analisis data mengenai hasil temuan terhadap sengketa dalam rumah tangga yang mungkin terjadi, akibat sosio-psikologis yang menyebabkan perceraian, serta upaya yang dilakukan sebagai solusi untuk mengantisipasi dan melindungi orang-orang yang terlibat dalam sengketa tersebut..
H. Jadwal Kegiatan Penelitian
Penelitian ini direncanakan sekitar enam bulan. Adapun jenis kegiatan dan alokasi waktu pelaksanaan dapat dilihat pada tabel berikut:


DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Leila. Wanita dan Gender dalam Islam, Akar-akar Historis dan Perdebatan Modern. Cet. I; Jakarta: Lentera, 2000.

Al-Qur’an al-Qarim

al- Asykar, Umar Sulaiman. Surga dan Neraka. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000

Onions, C.T. (ed), The Oxford Dictionary Etimology. Oxford at the Clarendon Press,1979.

al-Sun’aniy, Muhmmad Ibnu Ismail. Subul Al Salam. Jilid.III, Beirut : Dar al-Fikr,1960

asy- Syak’ah, Dr. Mustafa Muhammad. Islam Tidak Bermazhab. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Shaleh, Syaikh bin Fauzan Abdillah al Fauza’, Sentuhan Nilai Fikiran Untuk Wanita beriman. Cet.II; Jakarta : Sofwa Pressindo,2003.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilm Ushul Al Fiqh, diterjemahkan oleh Noer Iskandar al Barsaniy dengan judul, Kaidah Kaidah Hukum Islam. Cet.VI; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Bantaniy, Muhammad Ibn Umar. Syarh Uqud Al Lujjain Fiy Huquqi Al Zaujaiyn. Surabaya : Al Hidayah, T.Th.

Bakri, As-Sayyid al-Makki. Merambah Jalan sufi Menuju surga. Cet. I; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995
Yafie, Alie. Menggagas Fiqh Sosial : Dari soal linkungan Hidup Asuransi Hingga Ukhuwah. Cet. II ; Bandung : Mizan,1994.

Bakri, As-Sayyid al-Makki. Merambah Jalan sufi Menuju surga. Cet. I; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995

Hasan Sadili, John M. Echols. Kamus Inggris Indonesia Cet. XII; Jakarta: Gramedia: 1983

Kansil, C.S.T. Pancasila dan UUD 1945 dan Falsafah Negara Cet. IV ; Jakarta : Paradya Paramitha, 1997.

Mahmud, Ali Abdul Halim. Karakteristik Umat Terbaik, Telaah Manhaj, Akidah dan Harakah. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Mulia, Siti Musdah dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender, Perspektif Islam.Cet. II; Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2003.

Mulia, Sitti Musdah. Muslimah Perempuan Pembaru Keagamaan Reformis. Cet.1 ; Bandung : Mizan , 2005.

Muslim, Imam. Shohih Muslim. Juz. I, Mesir : Isa al-Babiy al Halabiy wa syirkahu, t.th

Onions, C.T. (ed), The Oxford Dictionary Etimology. Oxford at the Clarendon Press,1979

Roscoe. “An Introduction to the philosophy of law”, oleh Muhammad Radjab dengan Judul Pengantar Filsafat Hukum. Cet.IV Jakarta : Bharata, 1989.

Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Cet.1 ; Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1999.

Shaleh, Syaikh bin Fauzan Abdillah al Fauza’, Sentuhan Nilai Fikiran Untuk Wanita beriman. Cet.II; Jakarta : Sofwa Pressindo,2003.

Umar, Nasaruddin., Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an Cet. 1; Jakarta: Paramadina, 1999.

Yunus, Muhammad. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta : Al hidaya.h ; 1956